Cerpen
Disukai
28
Dilihat
2,972
Jangan kirimi aku Cinta, kirimi aku Kepastian
Romantis

🕌 Jangan Kirimi Aku Cinta, Kirimi Aku Kepastian


oleh: Arkana Jiwa


Namaku Ningrum.

Mahasiswi semester akhir jurusan Manajemen, sekaligus karyawan shift malam di sebuah pabrik pengemasan minuman. Hidupku padat merayap, bukan karena drama percintaan, tapi karena aku ngejar dua hal sekaligus: gelar sarjana dan penghasilan halal.


Jam 6 pagi aku udah siap di kampus, kadang dengan mata masih berat karena baru tidur dua jam. Pulang kuliah, lanjut kerja mulai jam 2 siang sampai malam. Di sela-sela itu, aku tetap aktif di grup dakwah kampus. Kadang nyempetin nulis caption panjang di Instagram tentang adab perempuan muslimah. Followers-ku pelan-pelan naik sejak aku posting “Kenapa Perempuan Harus Jaga Pandangan”.


Tapi semakin aku menjaga, semakin banyak yang ‘menjaga’ juga. Maksudku, menjaga peluang buat nyepam chat.



---


Contohnya: @BangHijrah_2019 Pesannya:


> “Assalamualaikum ukhti… saya kagum sama tulisan-tulisan anti. Boleh lanjut ta’aruf?”




Lanjut? Kita belum mulai, Bang. 😑


Terus ada juga si “Akhi Tersesat tapi Lurus Niat”, yang hobi ngirim voice note 1 menit:


> “Aku pengen serius, tapi kamu kayaknya terlalu tinggi untuk aku daki.”




Lah, saya manusia, bukan gunung.



---


Puncaknya: ada yang kirim Google Form. “Formulir Taaruf Cepat, Aman, dan Halal.” Ada bagian:


> Sebutkan makanan kesukaan akhwat yang ingin antum nikahi:

Apakah siap langsung akad? Ya/Tidak (Jika tidak, mengapa?)




Sumpah, aku merasa sedang dilamar pakai Excel.


Dan aku mulai sadar...


> Cinta bukan cuma niat baik. Tapi juga waktu yang tepat, cara yang benar, dan mental yang siap.





---


Hari itu, aku curhat ke sahabatku, Nayla, satu-satunya orang yang tahu semua isi hati dan jadwal hectic-ku.


“Rum, jangan GR dulu. Kadang akhi-akhwat sok shalihah kayak kita cuma jadi tempat pelampiasan niat yang belum mateng.”


Aku ketawa.

“Tapi aku cape, Nay. Dikirimin cinta terus tapi gak ada kepastian.”


Nayla nyeletuk sambil makan cilok:


> “Makanya, jangan kirim aku cinta, kirim aku proposal.”





---


Waktu terus jalan. Aku mulai jarang balas chat asing. DM-DM random kujadikan ladang sabar. Aku fokus lulus, bantu orang tua, dan menabung.


Sampai suatu hari, datanglah dia. Rifqi.


Dia bukan yang paling rajin komen, bukan juga yang aktif share kajian setiap hari. Tapi setiap kali bicara—kalimatnya utuh. Pendek, jelas, berisi.


Dia datang… bukan dengan basa-basi, tapi dengan bismillah.


Awalnya kami diskusi tugas di grup dakwah. Lalu aku mulai memperhatikan: dia nggak pernah ngelucu yang kelewatan, nggak pernah melempar kode. Tapi... tutur katanya bikin nyaman. Dalam cara yang Islami.


Suatu sore, setelah kajian Zoom selesai, dia kirim pesan pribadi:


> “Assalamualaikum Ningrum. Maaf sebelumnya. Aku pernah baca tulisan-tulisanmu. Kalau kamu sedang jaga hati, aku ingin bantu jagain, bukan gangguin.”




Aku terdiam.

Tasbih: bergetar

Hati: istighfar

Nafas: sholawat


Pesannya nggak romantis. Tapi penuh kejelasan. Dia gak nanya “lagi ngapain?”

Dia langsung tanya:


> “Kalau kamu belum ada yang datang ke orang tua, bolehkah aku yang datang lebih dulu?”





---


Tiga hari aku diam. Bukan karena galau. Tapi karena aku takut menaruh harap lagi, lalu kecewa. Tapi dia sabar. Tidak menekan. Tidak menuntut.


Akhirnya aku jawab:


> “Kalau serius, temui ibuku. Aku gak mau banyak janji kalau belum ada bukti.”




Dan dia datang. Sendiri. Dengan kemeja putih, wajah penuh gugup, dan suara pelan penuh keyakinan.


Ibuku, yang awalnya skeptis, bilang:


> “Nak, laki-laki seperti ini jarang. Datang bukan dengan janji, tapi bukti.”





---


Sekarang, kami masih dalam proses mengenal. Tapi bedanya, proses ini bukan sekadar saling sapa di chat, tapi saling bantu dalam doa dan rencana.


Dia tahu aku kerja keras. Dan dia gak minder. Justru dia bilang:


> “Aku bukan datang untuk menyelamatkanmu dari lelah. Tapi ingin menemani lelahmu agar lebih ringan.”





---


✨ Quotes Penutup:


> “Cinta yang baik itu gak banyak janji, tapi banyak bukti. Dan bukti pertama: niat ketemu wali.”

“Jangan DM aku cinta, kalau kamu belum DM orang tuamu soal kesiapan.”

“Taaruf itu bukan game cepat-cepat klik, tapi doa yang butuh iman, akal, dan keberanian.”

“Kalau benar cinta, ia akan datang tepat waktu. Tanpa maksa, tanpa drama, dan tanpa harus ngelucu berlebihan.”





---


Ditulis oleh: Arkana Jiwa


Untuk kamu, perempuan pekerja keras yang menjaga hati meski lelah luar biasa. Yang sabar di antara shift kerja dan tugas kuliah. Yang tetap istiqomah di tengah godaan DM manis penuh kode. Percayalah... Allah tak pernah tidur. Doamu yang lirih itu, sedang disusun menjadi jawaban.


Setelah Menikah...


Kami menikah secara sederhana. Di ruang tamu kecil rumah ibuku. Tanpa pelaminan megah. Hanya akad, doa, dan air mata syukur.


Pagi setelah akad, aku bangun dan melihat Rifqi di ruang tamu, membaca Al-Qur’an dengan suara pelan. Rumah ini terasa lebih hangat.


Pagi kami bukan kopi dan roti panggang. Tapi teh tubruk dan sisa nasi semalam. Kami bukan pasangan ala Instagram, tapi kami belajar menertawakan kekurangan bersama.


Aku tetap kerja. Ia tetap kuliah sambil freelance. Kadang kami hanya bisa makan bareng saat weekend, atau tengah malam di dapur sambil goreng tempe.


Tapi justru di situlah romantisnya.


Kadang dia nyeletuk:


> “Rum, kamu kayaknya lebih cocok jadi HR deh. Soalnya kamu selalu ngecek hatiku layak diterima apa enggak.”




Aku nyengir:


> “Iya, tapi kayaknya kamu juga cocok jadi logistic. Soalnya kamu selalu ngejaga stabilitas emosi rumah tangga.”




Kami ketawa. Saling ejek. Tapi selalu saling rawat.


Dan dalam kelelahan kerja, konflik kecil, dan tagihan bulanan… kami belajar bahwa:


> Cinta itu bukan sekadar taaruf yang manis. Tapi nikah yang realistis. Bukan sekadar ibadah berjamaah. Tapi juga sabar berjamaah.




Kadang aku lelah. Kadang dia malas. Tapi kami selalu ingat: ini bukan tentang aku dan kamu. Tapi tentang ridho Allah dalam setiap peluh dan pelukan.


Malam-malam kami dipenuhi suara panci, sholawat, dan tawa lelah. Kadang kami bertengkar soal hal sepele, seperti siapa yang lupa jemur baju. Tapi kami berdua selalu punya satu kalimat untuk menutup konflik:


> “Gak papa salah hari ini, asal kita tetap benar arahnya.”




Dan kami pun saling memeluk, saling meminta maaf. Dalam sederhana, kami belajar menjadi d

ewasa.

---


✨ Quotes Penutup:


> “Menikah bukan happy ending. Tapi starting point dua orang yang mau saling sabar, saling sadar, dan saling shalat berjamaah.”

“Yang halal itu bukan selalu indah, tapi selalu berkah kalau dijalani bersama.”

“Kalau cinta itu ibadah, maka rumah tangga adalah ladang jihad yang paling sunyi tapi paling mulia.”





---


Ditulis oleh: Arkana Jiwa


Untuk kamu yang percaya bahwa taaruf bukan finish, tapi titik mula perjuangan. Untuk kamu yang tak menuntut pesta mewah, tapi menjemput sakinah d engan ikhlas. Kamu kuat, kamu layak bahagia.



---


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)