Masukan nama pengguna
☕️ Kopi dan Cowok yang Bilangnya “Slow” Tapi Telat Terus
oleh: Arkana Jiwa
“Gue OTW ya.”
Kalimat legendaris yang keluar dari mulut Dimas... padahal baru buka lemari.
Kalau ada gelar Raja Ketelatan Nasional, Dimas pasti udah 3 kali menang. Anaknya kalem, wajahnya damai, gayanya chill abis. Tapi... di balik itu semua: tukang telat yang terorganisir.
Hari itu jam nongkrong ditentukan jam 16.00. Raka, Alya, dan Fikri udah ngumpul di warung Bang Komar sejak jam 16.05.
Alya nyeruput kopi susu. “Udah jam 17.12, Dimas mana?”
Fikri ngelirik HP. “Dia tadi jam 16.40 bilang OTW. Gue rasa dia baru kelar mandi tuh.”
Raka nyengir. “Lo tau gak, ‘OTW’ buat Dimas itu bukan On The Way. Itu Otak Tenang Walau belum siap sama sekali.”
Semua ngakak. Karena emang bener. Dimas tuh bukan sekadar telat. Dia tuh filosofis soal telat.
Jam 17.45, Dimas nongol. Jalan santai, bawa tote bag, pakai kacamata hitam walau mendung. “Sorry ya, macet,” katanya.
Fikri jawab: “Macet di mana? Di niat?”
Alya udah males ngomel. Dia cuma nyeletuk, “Lo tau gak Dim, kita nunggu lo tuh kayak nunggu mantan sadar. Lama, dan sering gak terjadi.”
Dimas nyengir. “Eh, tapi kan gue dateng. Pelan itu bukan berarti gak jalan.”
Masalahnya, ini bukan pertama kalinya. Dimas telat pas buka puasa bareng, pas surprise ulang tahun Fikri (padahal dia yang ngusulin), dan bahkan pas ujian TOEFL—datang pas semua orang udah keluar ruangan.
Dan tiap ditanya kenapa, jawabannya selalu bijak tapi ngeselin:
> “Tenang... hidup jangan buru-buru.” “Gue menikmati proses.” “Yang penting niatnya sampai.” “Yang buru-buru tuh mie instan. Gue kan manusia.”
Tapi sore itu beda.
Mereka lagi duduk, ngopi, ngobrolin kerjaan dan rencana ke depan. Dimas tiba-tiba diem. Dia mandang langit, lalu ngomong pelan:
> “Lo tau gak... kadang gue telat bukan karena sengaja. Tapi karena gue bingung mulai dari mana.”
Raka ngangkat alis. “Hah? Maksud lo?”
Dimas narik napas.
> “Gue tuh sering ngulur waktu karena takut. Takut salah, takut gagal. Jadi gue bikin alasan ‘slow’ biar gak keliatan panik.”
Fikri dan Alya saling pandang.
> “Gue keliatan santai, padahal kadang gue ngerasa hampa. Banyak hal yang pengen gue kerjain, tapi kepala gue penuh. Jadi ya... gue diem, nunda, telat... bukan karena gak peduli, tapi karena kebingungan yang gak gue ngerti.”
Warung mendadak sunyi.
Alya narik napas.
> “Dim, lo boleh kok bilang kalau lo lagi berat. Gak usah ngumpet di balik ‘slow’. Kita gak akan nge-judge.”
Dimas senyum kecil. “Gue takut dikira drama.”
Fikri jawab, “Lo lebih drama pas bilang macet padahal belum mandi.”
Mereka ketawa. Tapi hangat.
Hari itu mereka belajar: kadang orang kelihatan santai karena dia terlalu takut untuk gerak. Kadang yang kita kira males... ternyata sedang penuh tekanan tak terlihat.
Semenjak itu, Dimas mulai berubah.
Masih telat, tapi kali ini dia bilang jujur, “Gue lagi ngerasa drop. Gue butuh waktu lebih.” Dan teman-temannya belajar menerima ritme masing-masing.
Karena gak semua orang bisa cepat. Dan gak semua yang pelan berarti gak niat.
Kadang kita cuma butuh satu tempat untuk bilang:
> “Gue gak baik-baik aja.”
Hari itu, Dimas pulang dan nulis di kertas kecil yang dia tempel di meja belajarnya: "Slow bukan berarti salah. Tapi harus tahu kapan berhenti nyari alasan."
Besoknya, dia mulai nyusun ulang jadwal. Gak ribet. Gak lebay. Cuma satu target: dateng 15 menit lebih awal ke semua janji.
Hari pertama? Gagal. Hari kedua? Hampir.
Hari ketiga? Dia dateng tepat waktu, dan itu jadi salah satu kemenangan batin yang paling absurd tapi paling berharga dalam hidupnya.
---
"Sedikit gerak lebih baik dari ratusan rencana yang nganggur."
Karena hidup itu bukan kontes siapa yang paling banyak wacana, tapi siapa yang paling berani ngelangkah walau kakinya gemeteran.
Kadang, keberhasilan gak datang dari lompatan besar. Dia muncul dari kebiasaan kecil yang dilakuin terus-terusan, meskipun males, meskipun takut, meskipun kadang pengen nyerah.
Langkah kecil itu mungkin gak langsung bikin lo viral, tapi dia bisa nyelametin lo dari rasa stuck yang bikin batin sepi.
Inget, lo bukan robot yang harus langsung jadi versi sempurna. Lo manusia. Lo berproses.
Dan proses itu... dimulai dari satu gerak hari ini. Bukan besok. Bukan nanti.
---
✨ Quotes Penutup:
> “Yang terlihat santai, belum tentu tenang. Kadang dia cuma terlalu takut buat jujur.”
“Pelan bukan berarti gak peduli. Bisa jadi dia sedang melangkah hati-hati, karena luka sebelumnya terlalu dalam.”
“Jangan langsung nilai yang telat. Bisa jadi dia sedang nyusun keberanian buat muncul.”
---
Ditulis oleh: Arkana Jiwa Untuk kamu yang sering telat... Entah karena bingung, cemas, atau masih nyari alasan buat melangkah.
☕ Kopi dan Cewek yang Suka Bikin Story ‘Healing’ Padahal Habis Nangis Semalaman
oleh: Arkana Jiwa
📍 Lokasi: Kamar kos ukuran 3x3 meter
🕒 Waktu: Jam 01.47 dini hari
📶 Sinyal: Stabil, tapi hati lagi buffering
---
Namanya Laras. Bio Instagram-nya:
> “Just a girl trying to heal in silence ☁️”
Story-nya selalu estetik: foto kopi hitam, langit senja, lagu indie mellow, caption ala-ala:
> “You can’t pour from an empty cup.”
Padahal dua jam sebelumnya... dia barusan habis berantem sama dirinya sendiri. Nangis sambil nutup mulut pakai bantal, takut kedengeran tetangga kos.
“Gue capek jadi kuat terus,” gumam Laras, ngeliatin langit-langit kamar.
Dia scroll HP, buka galeri, pilih satu foto lama: kaki di atas bean bag, ada secangkir kopi, dan buku yang cuma dibuka halaman isinya doang. Edit. Tambah filter warna coklat vintage. Upload ke story. Kasih caption:
> “Healing... pelan-pelan.”
Temannya reply story itu dengan stiker daun dan emoji peluk. Ada yang bilang, “wah estetik bgttt 😍” Ada juga yang DM: “ikutan healing dongggg”
Laras senyum. Tapi tipis.
Karena... yang orang lihat cuma kopi dan filter. Yang mereka gak tahu: tangisannya belum kering.
---
Pagi harinya, Laras masuk kerja seperti biasa. Di depan cermin kantor, dia pasang wajah ramah. Tapi matanya masih merah samar.
Teman sekantornya, Risa, nyeletuk, “Lar, kok mata lo kayak habis nangis? Gapapa, kan?”
Laras ketawa kecil, “Iya nih, semalam nonton drama Korea. Terenyuh.”
Padahal semalam dia bukan nonton drama. Dia cuma duduk diam di lantai, mikirin hidup yang rasanya makin blur.
---
Malam berikutnya, dia nongkrong sendiri di kafe baru yang lagi hits. Pesan kopi latte, duduk deket jendela. Ambil angle bagus. Foto. Edit. Upload.
Caption-nya:
> “Reset. Recharge. Repeat.”
Padahal isi kepalanya penuh dengan pertanyaan yang gak pernah dia jawab:
> “Gue ini sebenarnya bahagia gak sih?”
“Gue capek kerja tapi takut berhenti.”
“Kenapa kayaknya semua orang tahu arah hidupnya, sedangkan gue cuma muter-muter di titik yang sama?”
---
Di kafe itu dia ketemu Maya, temen lama dari SMA. Mereka ngobrol basa-basi, terus Maya nyeletuk:
> “Eh gue ngikutin story lo lho. Enak ya hidup lo. Healing mulu, ke kafe mulu, sendunya dapet banget. Lo kayaknya udah damai bgt deh.”
Laras diem. Nyengir.
> “Iya sih… kelihatannya.”
Dia gak kuat lama-lama basa-basi. Setelah Maya pamit, Laras ambil tisu, ngelap air mata yang gak sadar netes. Bukan karena Maya jahat, tapi karena dia baru sadar:
> “Gue udah terlalu lama pura-pura kuat.”
---
Besoknya, Laras pulang kerja dan langsung ke kos. Dia buka galeri lagi. Banyak foto kopi, senja, kaki di taman, buku setengah terbuka, dan senyum setengah palsu. Dia scroll terus. Lalu berhenti. Diam. Lalu hapus satu per satu.
Malam itu, Laras bikin story baru. Bukan kopi. Bukan filter. Cuma tulisan di latar hitam:
> “Kalau lo capek, gak apa-apa kok. Nangis gak bikin lo gagal jadi manusia.”
Yang reply? Bukan emoji. Tapi banyak teman yang bilang:
> “Thanks Lar... gue juga lagi capek.”
“Kok ini gue banget ya?”
“Akhirnya lo jujur juga. Peluk dari jauh.”
---
Laras gak nyangka, kejujuran kecilnya bisa bikin banyak orang merasa ditemani. Dan dari situ dia mulai pelan-pelan belajar:
> Bahwa jadi estetik itu gak salah.
Tapi jadi jujur lebih menyembuhkan.
---
Beberapa hari kemudian, dia ngopi bareng Risa di kantor.
Risa nyeletuk:
> “Story lo sekarang... beda ya. Kayak lebih real. Lebih hidup.”
Laras senyum. “Karena sekarang gue gak cuma pengen dilihat... tapi pengen didengar juga.”
---
Malam itu, Laras duduk di kosnya.
Dia bikin secangkir kopi hitam. Tanpa foto. Tanpa filter. Cuma ditatap. Dihirup. Dirasakan.
Dan untuk pertama kalinya... kopi itu terasa hangat. Bukan karena suhu, tapi karena batinnya udah mulai pulih.
---
✨ Quotes Penutup:
> “Kadang ‘healing’ cuma jadi topeng dari luka yang belum sempat kita hadapi.”
“Banyak orang kelihatan tenang di story, padahal lagi retak di dalam diri.”
“Dan kopi, seperti kita, gak harus selalu disajikan dengan estetika. Kadang pahit pun perlu dirasakan utuh.”
---
Ditulis oleh: Arkana Jiwa
Untuk kamu yang sering terlihat baik-baik aja.
Bukan karena kamu kuat, tapi karena kamu belum nemu tempat buat jujur.
Hari ini, coba gak upload apa-apa.
Coba ngobrol sama dirimu sendiri. Tanpa filter. Tanpa takut.
Dan biar kopi... benar-benar jadi teman, bukan hanya properti story.
Hari ini, tenang aja. Yang penting... kamu tetap jalan.