Masukan nama pengguna
☕ Kopi dan Anak Pertama yang Gak Pernah Boleh Bilang Capek
oleh: Arkana Jiwa
📍 Lokasi: Ruang tamu rumah kontrakan
🕒 Waktu: Jam 23.41 malam minggu, tapi rasanya kaya Senin pagi
📶 Sinyal: Ada, tapi sinyal ke hati sendiri suka gangguan
---
Namanya Raka. Anak pertama dari tiga bersaudara.
Anak kebanggaan keluarga.
Anak yang... gak pernah ditanya, “Kamu mau jadi apa?” tapi langsung disuruh jadi contoh.
Sejak kecil, Raka terbiasa ngerasa harus tangguh. Pas adiknya demam, dia yang disuruh jaga. Pas ibunya sakit, dia yang belanja dan masak. Pas bapaknya kehilangan kerjaan, dia yang bantu jualan gorengan keliling. Masih pake seragam sekolah.
Raka gak pernah ngeluh. Atau mungkin... udah lupa gimana caranya. Karena yang dia tahu:
> Anak pertama harus ngerti. Harus kuat. Harus jadi tiang.
---
Sekarang dia kuliah sambil kerja part time.
Jadi tukang desain freelance, kadang bantu-bantu kedai kopi kenalan. Uangnya? 70% dikirim ke rumah. Sisanya buat hidup dan beli kuota.
Kalau lapar, dia makan mie instan dua hari berturut-turut. Tapi kalau ibunya minta tambahan buat bayar listrik? Dikirim. Langsung.
Dan anehnya, dia gak pernah ngerasa itu beban.
Sampai satu malam... tubuhnya tumbang.
---
Malam itu, jam 01.22.
Dia lagi ngerjain desain untuk klien yang cerewetnya minta ampun.
Deadline-nya besok pagi, tapi otaknya udah ngambang. Matanya sepet, tangannya tremor.
Sambil ngopi sachet murah, dia tiba-tiba ngerasa sesak.
Bukan fisik... tapi batin. Kayak ada beban yang makin berat dan dia udah gak sanggup tahan.
Dia berdiri, jalan ke depan kontrakan. Duduk di bangku semen. Liat langit. Kosong.
Hidupnya juga terasa gitu malam itu. Kosong.
---
Esoknya dia tetap berangkat kuliah.
Masuk kelas sambil nyengir. Bercanda tipis.
Tapi tiap lihat wajah temennya yang carefree, dia ngerasa... iri.
Dito, temen sekelasnya, nyeletuk,
> “Rak, lo tuh keren ya. Kayak bisa semua. Gak pernah ngeluh. Selalu tenang.”
Raka cuma senyum.
Padahal dalam hati dia nanya:
> “Tenang dari mana? Gue nyimpen amarah dan tangis kayak granat tanpa pin.”
---
Pulang ke kos, dia buka grup keluarga. Ibunya nanya:
> “Rak, bulan ini bisa kirim lebih gak? Adek kamu mau bayar kursus.”
Raka buka dompet digital. Sisa: 63 ribu.
Tapi tetap dia jawab:
> “Iya, Ma. Aman kok.”
Dan dia transfer. Habis.
Malam itu dia tidur tanpa makan. Lagi.
---
Di jurnal digitalnya dia nulis:
> “Kalau semua orang bersandar padaku, aku bersandar ke mana?”
---
📍 Beberapa hari kemudian
Di sebuah warung kopi pinggiran kampus, dia duduk bareng Galang, temen lama. Galang ini anak bungsu, santai, tapi surprisingly peka.
Lagi ngobrol ngalor-ngidul, Galang mandangin Raka lama-lama. Terus bilang:
> “Lo tuh cape banget ya, Rak. Tapi kok gak pernah ngomong?”
Raka kaget.
Biasanya gak ada yang notice.
“Gue anak pertama, Lang. Emang harus kuat.”
Galang ngangguk, terus balas pelan:
> “Tapi kuat juga manusia. Lo juga berhak istirahat. Lo juga boleh bilang: gue gak sanggup.”
Dan malam itu, Raka nangis.
Untuk pertama kalinya... di depan orang lain. Bukan karena lemah. Tapi karena akhirnya, dia gak sendirian.
---
Beberapa minggu kemudian, Raka mulai belajar pelan-pelan. Dia bikin batas kerjaan. Mulai nolak klien yang ngasih deadline mepet. Dia juga mulai jujur ke adik-adiknya:
> “Bang Raka sayang kalian. Tapi kadang Bang Raka juga butuh istirahat.”
Dan yang mengejutkan... adiknya gak marah.
Malah bilang:
> “Maaf ya Bang, kita kadang egois.”
---
Hari Minggu, Raka ke kafe sendirian.
Bawa buku yang udah lama dia pengen baca tapi selalu ditunda. Dia pesan kopi panas. Bukan sachet, bukan buat bergadang.
Tapi buat dinikmati. Tanpa beban.
Dia buka jurnal digitalnya dan nulis:
> “Gue gak harus selalu kuat. Tapi gue harus jujur pada diri sendiri. Itu jauh lebih sehat.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, kopi itu terasa pahit... tapi menenangkan. Karena dia sadar:
> “Menjadi anak pertama bukan berarti kehilangan hak untuk dimengerti.”
---
✨ Quotes Penutup:
> “Anak pertama bukan manusia super. Kadang dia cuma anak kecil yang dipaksa cepat dewasa.”
“Kuat bukan berarti gak pernah lelah. Tapi tahu kapan harus berhenti pura-pura.”
“Yang ngalah terus, lama-lama bisa hilang rasa.”
---
Ditulis oleh: Arkana Jiwa
Untuk kamu yang diam-diam menanggung banyak hal.
Yang selalu dianggap sanggup, padahal kadang kamu juga pengen ditanya, “Gimana kabarmu hari ini?”
Hari ini, tarik napas.
Kalau lelah, istirahat.
Kalau butuh cerita, tulis.
Kalau butuh nangis... nangis aja.
☕ Kopi dan Adik yang Tumbuh Tanpa Tahu Kakaknya Pernah Lapar
oleh: Arkana Jiwa
📍 Lokasi: Sudut kamar kos sempit di Bandung
🕒 Waktu: Sabtu malam, saat semua orang sibuk update story, dia sibuk mengenang
📶 Sinyal: Kuat, tapi kenangan masih lemah sinyalnya
---
Namanya: Nara.
Anak bungsu dari tiga bersaudara.
Anak yang katanya paling dimanja, paling bebas, paling nggak perlu mikirin beban.
Dan malam itu, sambil duduk sendiri di kamar kosnya, dia baru sadar:
> “Kayaknya gue nggak pernah benar-benar kenal kakak gue.”
---
Dia buka galeri lama. Scroll-scroll, dan nemu satu foto waktu mereka kecil. Dia—duduk di atas kursi plastik warna merah, ketawa sambil makan ayam goreng.
Di sebelahnya ada Raka, kakaknya. Cuma senyum, megang nasi tanpa lauk.
> “Kenapa baru sekarang gue ngeh?”
Dia tarik napas panjang. Kepalanya muter balik ke masa kecil—momen-momen yang dulu dia anggap biasa:
Saat Raka bilang, “Lo duluan aja deh makannya.”
Saat dia nangis pengen mainan dan Raka yang ngasih uang jajan dia sendiri.
Saat dia marah karena Raka gak ajak main, padahal kakaknya lagi ngerjain tugas sambil nahan lapar.
---
Nara ngerasa sesak.
Bukan karena makanan... tapi karena memori yang tiba-tiba bikin perih.
Dulu, tiap lebaran dia yang dibeliin baju baru. Raka? Pakai baju yang digulung biar muat.
Tiap ulang tahun, dia yang dapat kue. Raka? Cuma senyum dan mastiin lilinnya nyala.
Dulu... dia pikir itu hal biasa. Sekarang dia sadar, itu pengorbanan diam-diam.
---
Dia pegang HP, tangan agak gemetar. Kirim chat:
Nara:
> “Bang... Dulu lo pernah kelaparan karena gue, ya?”
Lama gak dibalas. Tapi akhirnya muncul notifikasi:
Raka:
> “Pernah.” “Tapi gue juga pernah kenyang cuma karena liat lo ketawa.” “Jadi ya... nggak papa.”
Nara langsung tutup muka pake bantal. Air mata ngalir. Berat. Tapi hangat.
---
Paginya, dia ke warung kopi pinggir jalan. Duduk sendiri.
Buka jurnal. Nulis:
> “Selama ini gue hidup enak karena ada orang yang gak pernah milih enak.” “Dan parahnya, gue gak sadar.”
Dia lihat gelas kopi di depannya. Dulu, tiap ngopi kayak gini dia suka mikir soal masa depan.
Tapi kali ini, dia mikir soal masa lalu—tentang kakak yang terlalu diam, terlalu sabar, dan terlalu kuat.
---
Flashback beberapa tahun lalu... Nara masih SMA. Lagi heboh minta uang buat beli sepatu. Bukan karena butuh, tapi karena pengen ikut tren. Raka diem aja. Malam itu dia kerja lembur nambah order desain.
Tiga hari kemudian, sepatu itu datang. Nara senang. Gak sempat bilang makasih.
Sekarang, sepatu itu udah disumbangin. Tapi rasa bersalahnya masih nempel di hati.
---
Beberapa hari kemudian, Nara pulang ke rumah. Raka lagi masak mie. Senyum liat adiknya datang.
Nara peluk Raka mendadak. Raka kaget, “Eh kenapa nih?”
Nara jawab pelan:
> “Maaf ya, Bang... Dulu aku gak ngerti. Sekarang aku baru ngerti.”
Raka ketawa, ngacak rambut adiknya.
> “Yaelah. Gitu aja dipeluk. Lo kira gue mau pensiun jadi kakak?”
---
Malamnya mereka ngopi bareng di teras.
Bukan kopi mahal. Cuma kopi sachet dua rebuan. Tapi rasanya... jujur.
Kayak obrolan mereka malam itu.
Nara nanya:
> “Bang, kok lo gak pernah cerita sih? Tentang susahnya dulu.”
Raka jawab sambil nyeruput kopinya:
> “Karena tugas gue bukan bikin lo ngerasa bersalah. Tapi bikin lo tetap bisa senyum.”
Dan di situ, Nara tahu...
Ada cinta yang gak pernah terucap, tapi selalu terasa lewat tindakan.
---
✨ Quotes Penutup:
> “Beberapa orang gak pernah minta terima kasih. Tapi tanpa mereka, kita gak akan pernah bisa tumbuh.” “Kakak bukan cuma gelar. Kadang dia adalah tembok sunyi yang nahan semua badai, supaya adiknya bisa tidur tenang.” “Dan kopi... kadang pahitnya mengajarkan kita: siapa yang diam-diam menenangkan kita sejak awal.”
---
Ditulis oleh: Arkana Jiwa
Untuk kamu yang tumbuh dengan nyaman, karena ada orang lain yang memilih gak nyaman.
Hari ini, kirim pesan ke orang itu. Bilang: “Aku baru sadar, makasih ya.” Karena gak semua cinta butuh kata-kata. Tapi kalau sempat, ucapkan juga.
Biar kopi malam ini... bukan cuma pahit. Tapi penuh rasa syukur.
Karena yang kuat pun, berhak untuk rapuh.