Masukan nama pengguna
Judul: Kenangan di Krom Vespa
Bagian 1: Suara Mesin dan Detak Jantungku
Langit pagi belum sepenuhnya terang ketika deru mesin Vespa membelah jalanan kecil menuju PT Menbie. Suaranya serak dan kasar—seperti batuk kronis yang justru terdengar gagah. Dan dari balik helmnya, duduk tegak sosok yang membuat jantungku berdebar lebih kencang dari ritme mesin pengepakan: Akbar.
Dia selalu datang lima belas menit sebelum jam masuk, duduk sebentar di parkiran motor bagian belakang, lalu pelan-pelan melepas helmnya seperti di film. Semua terasa slow motion di mataku. Rambutnya sedikit berantakan, jaket jeans lusuh, dan tatapan yang... ah, tatapan itu. Tatapan yang tenang, dalam, dan bikin aku salting setengah hidup kalau tanpa sengaja ketemu pandang.
“Awas Ra, air liurnya netes tuh,” bisik Lia, temanku dari bagian Final Inspection, yang memang paling cerewet kalau udah urusan gebetan.
Aku mendelik malu, lalu cepat-cepat masuk ke ruang ganti sambil menahan senyum.
Akbar bukan cowok biasa. Dia anak Vespa—dan bukan sembarang anak Vespa. Vespa-nya orisinil, tipe Super 74, katanya hasil restorasi bareng pamannya. Warnanya krem klasik dengan lis krom mengilap. Bukan cuma motornya yang klasik, gaya Akbar pun begitu. Pendiam, nggak banyak omong, tapi... ada aura yang bikin dia sulit diabaikan.
Untungnya—atau sayangnya—aku dan Akbar satu line di Line 3 Visual Check. Jadi tiap hari bisa ngeliat dia dari dekat, tapi... juga harus jaga diri biar nggak malu-maluin. Apalagi kalau udah shift bareng dan posisi kami berdampingan.
Aku nggak tahu kapan persisnya rasa ini tumbuh. Mungkin sejak pertama kali dia meminjamkan botol minumnya waktu aku kehabisan air dan hampir pingsan. Atau waktu dia diam-diam bantuin aku ngangkat dus ke rak atas, terus cuma bilang, “Hati-hati, jangan maksa.”
Datar. Tapi dalam.
“Ra, lu liat tuh si Akbar lagi ngelap Vespa-nya. Coba deh jalan lewat depan dia, pura-pura kunci lu jatuh gitu,” goda Lia lagi pas jam istirahat.
“Yaelah Lia, nggak semua cinta diawali dari jatuh kunci,” jawabku setengah sebal, setengah menahan senyum.
“Ya tapi kalo jatuhnya ke hatinya, kan nggak apa-apa,” celetuk Dhiki, rekan satu line kami yang terkenal suka nyamberin apa pun yang bisa dijadikan bahan ketawa.
Aku cuma bisa menggeleng pelan. Tapi jujur, hati ini makin nggak karuan tiap detik bareng Akbar.
Bagian 2: Satu Line, Satu Getaran
Hari itu, tim shift kami kebagian lembur malam. Seperti biasa, ada kumpul kecil di sela istirahat. Duduk melingkar di ruang istirahat belakang, sambil ngopi dan makan mi instan yang dibagi rame-rame.
Akbar duduk agak menyendiri di ujung sofa, matanya sesekali menatap ke arah luar jendela. Tapi telinga dan senyumnya masih nyambung ke obrolan kami. Pendiam, tapi nggak asing.
“Eh, ngomong-ngomong... siapa yang masih jomblo di line kita?” goda Dhiki, sambil sengaja melirik ke arahku.
“Dhik, nggak usah mulai aneh-aneh,” protesku pelan, tapi dia justru makin menjadi.
“Gue mah nggak aneh. Nih contohnya Akbar. Lu jomblo juga kan, Bar?” tanyanya sambil cengengesan.
Akbar cuma angkat bahu. “Santai aja.”
“Santai tuh artinya belum ada pasangan. Nah, Rara juga santai. Udah deh, cocok!”
Lia langsung nyeletuk, “Dari dulu gue udah bilang, cinta itu sederhana. Liat aja tuh Akbar, Vespa-nya tua, tapi yang naksir baru!”
Tawa meledak. Wajahku memanas luar biasa. Tapi Akbar? Dia cuma senyum tipis dan meneguk kopinya pelan. Dingin, tapi... aduh, keren banget.
Waktu lembur selesai, aku keluar duluan ke parkiran. Udara malam lembab, dan lampu-lampu jalan berembun. Aku nyalakan motor—tapi... mati. Beberapa kali dicoba, hasilnya nihil. Panik mulai merayap.
“Waduh...” aku menggerutu.
Suara knalpot Vespa yang khas mendekat. Aku menoleh. Akbar berhenti tepat di sampingku.
“Kenapa?” tanyanya.
“Lampu mati total... motor nggak mau nyala.”
Dia turun tanpa banyak bicara, ngecek sebentar, lalu geleng pelan. “Udah, naik Vespa aja. Gue anter.”
Aku sempat bengong. “Hah? Yakin?”
“Daripada nunggu subuh di parkiran pabrik.”
Dalam hati aku berteriak kegirangan, tapi luarannya tetap sok kalem. “O-oke deh.”
Naik Vespa bareng Akbar malam itu seperti mimpi absurd yang jadi kenyataan. Jalanan sepi, dan kami nggak banyak bicara. Tapi ada keheningan yang justru nyaman. Angin malam lewat di antara kami, tapi rasanya hangat... mungkin karena aku lagi duduk di jok belakang cowok yang selama ini cuma bisa kupandangi diam-diam.
Di depan rumahku, aku turun pelan. “Makasih ya, Bar…”
Dia hanya mengangguk. “Bawa ke bengkel besok. Biar aman.”
Aku mengangguk balik, tapi sebelum dia balik arah, aku nekat.
“Bar... Vespa lu keren.”
Dia menoleh sebentar, lalu tersenyum tipis. “Makasih. Tapi nggak sekeren yang duduk di belakang tadi.”
Deg.
Kata-kata itu lebih nyaring dari suara knalpotnya. Dia langsung balik arah dan pergi. Tapi sejak malam itu, aku tahu... dia mungkin pendiam, tapi hatinya nggak sepi.
Bagian 3: Nyamannya Diam-Diam
Sejak malam itu, hubungan kami berubah. Bukan secara terang-terangan, tapi... ada pergeseran kecil yang terasa. Tatapannya lebih lama, senyumnya lebih sering, dan kalau lagi kerja bareng, dia kadang iseng dorong pelan bahuku pakai dus kosong. Iseng yang hangat.
Tapi semua tetap tak berlabel. Kami seperti dua orang yang sadar sedang berjalan ke arah yang sama, tapi belum ada yang berani mengucapkan tujuannya.
Lia tentu jadi orang pertama yang curiga. “Lo kayaknya makin bening ya sekarang. Akbar makin rajin juga kerjanya. Jangan-jangan ada cinta berunsur shift siang nih.”
Aku cuma bisa senyum malu.
Lalu muncul momen kecil yang bikin hatiku campur aduk. Suatu sore, saat pulang bareng, ada cewek dari bagian lain yang ngelirik Akbar sambil bilang, “Bar, besok jangan lupa ya, barengan ke baksosnya.”
Aku diam. Jelas bukan siapa-siapa, tapi rasanya... nyesek. Malamnya aku pulang naik ojek, pura-pura sibuk ngecek HP waktu dia nawarin boncengan.
Besoknya, dia nyamperin aku ke meja makan siang.
“Kenapa kemarin nggak bareng?”
Aku pura-pura cuek. “Baterai HP low, buru-buru.”
Dia diam sebentar, lalu berkata, “Kalau lo cemburu, bilang aja.”
Deg. Aku menatapnya kaget.
Dia senyum lagi. “Gue nggak ada niat sama dia. Biasa aja.”
Aku masih diam. Tapi jantungku seolah berkata lebih dulu dari mulutku: iya, aku cemburu.
Bagian 4: Ceng-cengan Akhir Tahun
Divisi kami punya tradisi kumpul akhir tahun. Sederhana, makan bareng dan tukeran kado. Tapi tahun ini, ada hal baru: lomba nyanyi antar-line. Dan entah setan mana yang merasukiku, aku daftar. Tanpa tahu, ternyata Akbar juga.
Dan kami... dijodohin duet.
Latihan demi latihan justru jadi ruang tumbuh rasa. Kadang dia salah lirik, aku ketawa. Kadang aku fals, dia tetap senyum. Sampai akhirnya hari H datang.
Kami nyanyi lagu lama, "Untukku" dari Chrisye. Saat bagian akhir, suara kami nyatu. Dan saat tepuk tangan meriah, aku melirik ke arahnya. Dia menatapku. Lama. Dalam. Lalu bisik pelan:
"Kalo kayak gini terus, gue nggak yakin kita cuma temen."
Aku bengong. Tawa teman-teman makin riuh. Tapi dunia rasanya diam saat itu.
Bagian 5: Jadian di Jok Belakang
Malam itu, aku pulang naik Vespa lagi. Kali ini, kami nggak banyak bicara, tapi ada genggaman di jok belakang yang sebelumnya nggak pernah ada.
Sampai di gang rumahku, aku turun, tapi dia menahan pergelangan tanganku.
“Ra.”
Aku menoleh.
“Ayo jadian.”
Langsung. Lugas. Ala Akbar.
Aku ketawa, gugup. “Serius?”
Dia angguk. “Vespa ini butuh boncenger tetap.”
Dan malam itu, di atas jok Vespa tua berlapis krom mengilap, kami menyepakati satu hal: cinta kami sederhana, tapi nyata.
Bukan karena ceng-cengan, bukan karena Vespa, tapi karena di antara bisingnya mesin pabrik, kami menemukan ketenangan di detak yang sama.
TAMAT