Cerpen
Disukai
4
Dilihat
2,873
The (Not So) Fake Friend
Slice of Life

“Lo yakin di sini, Ya?” tanya Valin ragu-ragu saat dia, Maya, dan dua sahabat mereka, Vinda dan Rena, sudah tiba di sebuah restoran pizza siang itu. Maya senyum-senyum sendiri. “Ya! Ditanyain malah senyum-senyum sendiri! Gimana, sih?”

Maya tersenyum lebar, “Yakin, kok!”

“Gitu, ya?” imbuh Vinda tak minat seperti biasanya. “Jadi, yang mana orangnya?”

“Kayaknya belum datang, deh,” jawab Maya sambil memberi isyarat kepada sobat-sobatnya untuk mulai duduk di salah satu meja. Ketiga temannya mengikutinya.

“Nah, sambil nunggu, gimana kalau kita pesan dulu?” Maya menyarankan sambil tersenyum.

“Gue nggak pesan, deh. Lagi nggak ada duit,” kata Vinda spontan.

“Oow, jangan khawatir! Biaya makan kita hari ini gue semuanya yang tanggung!” seloroh Maya sigap.

“Beneran, lo?” Valin mendelik tak percaya.

“Of course! Sejak kapan gue jadi seorang pembohong? Lagian bokap gue baru aja dapat komisi dari kerjaannya di London kemarin-kemarin itu. Lihat, nih...” tanpa diminta, Maya menunjukkan segepok uang ratusan ribu. Semua temannya mendengus kagum, kecuali Rena yang memandang biasa saja. “Jadi, mau pada pesen apaan, nih?”

Dalam sekejap mata, empat porsi pizza ukuran kecil dan empat gelas minuman sudah tersedia di atas meja mereka. Terlihat masing-masing gadis memilih pizza dan minuman yang berbeda, menunjukkan betapa mereka adalah sekumpulan gadis dengan berbagai karakter yang beragam.

Maya, yang berkulit putih dan cantik, tampak sedang menikmati extra pepperoni pizza dan caramel macchiato. Valin, yang berkulit kuning langsat dan langsing, sedang menyantap chicken favourite pizza dan milkshake vanila. Rena, yang berkulit sawo matang dan chubby, sedang melahap cheese pizza dan lemon squash. Last but not least, Vinda, yang berkulit kuning langsat dan sedikit pendek, sedang asyik memakan vegetarian pizza dan diet coke. Sejenak suasana hening saat mereka tengah menyantap hidangan masing-masing.

“Orangnya belum datang juga, Ya? Emang lo janjian jam berapa sama dia? Lo yang kepagian apa dia yang jam karet?” tanya Valin bertubi-tubi dengan mulut masih penuh pizza. Maya melengos jijik.

“Habisin dulu, 'napa! Kayak nggak ada waktu lain aja,” cerocosnya pedas.

“Iya, iya! Rese banget, sih! Jadi...?” sambar Valin masih penasaran.

“Jadi...?” Maya menyeropot caramel macchiato-nya dengan ekspresi agak tak sabar. “Jadi apa?”

“Ya, cowok itu! Cowok internet yang mau lo temui itu! Gue kan pengen tahu! Kenapa dia sampai sekarang belum datang?”

“Dia janji datang jam tiga lewat sepuluh! Pakai baju merah, celana jins belel, topi, sneakers hitam, terus bawa bunga mawar kuning sebagai tanda! Lo udah ngerti, Miss Serba Ingin Tahu? Sekarang masih jam tiga! Can you see the watch, please?”

Valin terdiam dengan muka sangat sebal. Maya melengos puas.

“Gue mau ke toilet dulu,” kata Rena dengan mulut kepedasan.

“Ikut, dong!” Maya mengekor.

Valin saling delik dengan Vinda. Keduanya pergi begitu saja setelah menitipkan tas pada Vinda.

“Lo pikir mungkin, nggak, sih, si Maya bakalan ngegosipin gue?” bisik Valin setelah Maya dan Rena berlalu. Vinda yang memang pendiam itu memilih mengangkat bahu. “Lo kayak nggak tahu Maya aja! Kalau dia udah pergi bareng Rena, pasti yang diomongin itu satu: gosip! Lo masa nggak tahu?! Dia itu berba...”

“Eh, bukannya itu... bukannya itu... orang yang ditunggu... si Maya?” potong Vinda.

“Hah?” Valin mengikuti arah telunjuk Vinda.

Ternyata benar. Pemuda berbaju merah, bercelana jins belel yang agak pudar, bersepatu hitam, dan bertopi tampak sedang memasuki restoran malu-malu. Bukti yang terpenting adalah setangkai mawar kuning di tangannya yang membuatnya jadi tampak mencolok di antara pengunjung lainnya. Gara-gara mawar itu, dia jadi bahan rumpian mendadak sebagian besar pengunjung.

Valin dan Vinda saling pandang ngeri ketika melihat “keadaan” pemuda itu.

OMG, kasihan banget Maya! pikir Valin dalam hati.

“Emang... emang... beneran... itu... si...?” tiba-tiba saja Valin jadi kehabisan kata-kata. Vinda nyengir, seolah ini adalah sesuatu yang menarik. “Gimana mungkin...? Kamu... kamu... pikir, coba...”

Vinda tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia meneguk habis minumannya, sebelum meluncurkan pendapat, “Mawar kuning, mawar kuning, Lin! Lo coba lihat!”

“Haha...” Valin jadi kelihatan seperti orang yang akan dipecat dalam waktu dekat. “So...?”

“So what...?”

Mereka berdua saling pandang sejenak, kemudian meledaklah tawa keduanya. Valin malah sampai tertawa terbungkuk-bungkuk, sampai-sampai separuh pengunjung restoran menoleh pada gadis itu. Tawa mereka segera berhenti begitu menyadari bahwa Maya dan Rena sudah ada tepat di samping mereka.

“Apa? Pada ngetawain apa, lo?” tanya Maya tertarik. Valin dan Vinda langsung mingkem secara refleks. “Apa? Apa? Hah? Hah?” Maya terus mendesak seraya mengunyah potongan pizza terakhirnya. Valin dan Vinda masih tetap diam, tapi parahnya, Rena rupanya menyadari fakta itu.

“Ya, ada mawar kuning, tuh...”

“Hah? Mana? Mana? Ma... na...”

Seperti yang sudah diduga Valin dan Vinda, Maya tampak amat sangat shock. Mereka berdua pura-pura tertarik pada hidangan masing-masing (Vinda malahan terpaksa mencomot pizza Valin karena pizza dan minumannya sendiri sudah habis) dan tidak memerdulikan reaksi Maya, tapi rupanya mereka tidak bisa lepas tangan begitu saja.

Maya kelihatan seperti mau menangis. Ia menoleh minta petunjuk pada Rena, yang menanggapinya dengan pandangan bego.

“Nggak! Gue nggak mau ketemu sama dia! Udah kelihatan dari mukanya, dia itu pasti anak dari kampung!” Maya mencak-mencak.

“Maksud lo apa? Lo mau ngecewain temen chatting lo itu? Bukannya kalian sudah sepakat mau ketemuan? Nanti dia kecewa, lho,” timpal Valin dengan muka tanpa dosa.

“Enak aja lo bilang gitu, Lin! Coba lo jadi gue! Lo nggak tahu sih gimana perasaan gue!” cetus Maya.

“Lagian kenapa lo nggak minta fotonya dulu, sih, sebelum ketemuan? Ini kan zaman sudah canggih, Maya,” kritik Vinda sambil menyuap potongan pizza terakhir Valin.

“Katanya dia benci difoto. Pengen ketemu langsung aja,” sahut Maya.

“Ya, udah sana temuin!” desak Valin.

“Nggak!”

“Jadi gimana, tuh, cowok? Mau lo biarin nunggu di situ sampai gosong?”

Maya tampak berpikir-pikir sejenak, kemudian dia menoleh ke arah Vinda penuh arti.

“Apa?” secara spontan, Vinda menyadari nasibnya.

“Vin, please dong, gantiin gue buat ketemuan ama cowok itu!” mohon Maya.

“Apa?!” Vinda memekik agak keras.

“Lo udah gila, ya?” sela Valin kaget.

“Udah, diam lo, Lin! Ini urusan gue sama Vinda! Ya, kan?” Maya senyum-senyum penuh rayu pada Vinda, yang tampak bingung.

“Sebaiknya lo temuin cowok itu sendiri, Ya. Atau lo perlu kita temenin?” saran Rena.

“Jangan jahat gitu, deh! Lo suruh gue nemuin tipe-tipe cowok model gitu? Sori, deh! Lewat!” cetus Maya angkuh.

“Lo jangan gitu, Ya!” Rena memperingatkan.

“Udah, deh, nggak usah ributin masalah nggak penting ini! Vin, mau, ya?”

*******

“Jadi gimana?” Valin menanyai Vinda keesokan harinya, ketika mereka berdua bertemu di kantin sekolah. Maya dan Rena kabur berdua lagi, seolah melupakan keberadaan Valin dan Vinda. Nampaknya mereka berdua memang punya hubungan yang lebih akrab daripada dengan kedua anak lainnya, padahal mereka berempat satu gank. Maya memang sulit dimengerti dan terlalu suka seenaknya sendiri.

“Sebenarnya nggak jelek-jelek amat, Lin. Dia enak diajak ngomong meskipun bukan tipe prince charming yang dicari Maya,” komentar Vinda singkat.

Mereka berdua sama-sama membeli gorengan, kemudian melanjutkan pembicaraan sambil duduk di satu-satunya bangku kosong yang tersisa di kantin sekolah yang sangat ramai.

“Yah, si Maya kan maunya cowok kayak artis Korea yang kulitnya putih, tampan, dan kaya. Cowok berkulit gelap pasti nggak masuk hitungan dia, meskipun menurutku dia lumayan manis, sih,” timpal Valin.

“Dia minta ketemu sekali lagi di Barnabas Cafe! Katanya mau ngomong sesuatu sama gue. Gimana, nih?” tanya Vinda bingung.

“Ya, lo bilang aja sama Maya!” ujar Valin dengan nada rada naik.

“Dia pasti nggak mungkin mau, deh! Lagian Rio kan udah nganggap gue ini Maya, jadi mau gimana lagi, dong?” tanya Vinda.

“Oh, jadi namanya Rio?” Vinda mengangguk cepat. Valin menghela napas. “Ya udah, temuin aja! Ngobrol ngalur-ngidul gitu. Ya, gimana enaknya, lah.”

“Gue emang nggak pernah lihat orang dari tampangnya, tapi... Lin, temenin gue, dong!”

“Hah? Temenin elo? Gimana, ya? Gue ada tugas jurnalistik!”

“Apa?”

“Ngewawancarain Ketua OSIS SMA Harapan Jaya!”

“Gitu?”

“Yo'i! Gimana, ya?”

“Ya udah, deh, gue berangkat sendiri aja...” Vinda pasrah.

“Nggak 'pa-'pa, lagi, Vin! Lo bisa dapat pahala yang banyak!”

*******

“Hai! Apa kamu Ketua OSIS SMA Harapan Jaya?” Valin menyapa seorang pemuda yang sedang memainkan smartphone-nya di ruang sekretariat OSIS SMA Harapan Jaya. Kata seorang siswa yang ditanyainya di luar, Ketua OSIS mereka sedang berada di ruangan besar itu sendirian.

“Ya, saya memang Ketua OSIS SMA Harapan Jaya. Kamu siapa? Ada perlu apa?” jawab pemuda yang ditanya Valin sambil menoleh. Wow, luar biasa cakepnya! Mirip dengan artis Korea!

“Boleh gue... eh, maksudnya saya... mewawancarai kamu? Saya ini wartawan sekolah dari SMA Bhakti Luhur. Saya ditugaskan untuk mewawancarai kamu terkait dengan kesuksesan acara penggalangan dana besar-besaran yang diadain sekolah kamu minggu lalu. Boleh, ya? Please? Ini surat izin dari sekolah saya,” Valin menyerahkan selembar amplop dengan lambang resmi dari sekolahnya.

“Oh, boleh, sih, tapi apa nggak bisa ditunda?” dia menawar.

“Kenapa?” senyum Valin memudar.

“Sebentar lagi saya harus pergi karena ada acara yang sangat penting. Bagaimana, ya?”

“Bukannya bermaksud ngatur kamu atau apa, tapi tolong ngertiin kondisi majalah sekolah kami. Besok tuh majalahnya udah naik cetak, terus kalau kamu nunda wawancaranya, berarti kita nggak bakal wawancara sama sekali. Tahu kenapa? Karena kalau nunggu hari lain, berarti wawancara kamu harus nunggu terbitan berikutnya. Itu artinya minggu depan dan berita kamu minggu depan tuh udah basi banget. Jadi, kalau bisa hari ini. Emangnya acaranya penting banget, ya?” Valin jadi menyerocos panjang-lebar.

Pemuda berkulit putih itu mengerutkan keningnya, tampak menimbang-nimbang.

“Penting banget sih nggak, cuman... udah janji, nih. Gimana, ya?” katanya bimbang.

“Emangnya, kalau boleh saya tahu, acara apa?” tanya Valin sopan.

“Cuman ketemuan sama teman, kok...”

“Gini aja, bagaimana kalau saya wawancaranya di sana saja? Jadi, sekalian kamu ketemu teman kamu, saya bisa wawancara kamu!” saran Valin. Pemuda itu tampak memandang Valin dengan pandangan menilai. Valin langsung mengerti. “Saya nggak akan macem-macem. Swear, deh! Kalau saya ikut campur, berarti wawancara kita batal. Deal?”

“Mmm...” dia kelihatan berpikir-pikir, tapi setengah menit kemudian dia menyahut, “Oke, deh. Di Barnabas Cafe jam tujuh malam ini, ya!”

“Hah? Barnabas Cafe? Itu kan..”

“Apa?”

“Nggak apa-apa.”

“Kenalin, gue Rio.”

“Gue Valin.”

“Valin? Kayaknya pernah dengar, deh...”

“Oh, ya? Dimana?”

“Dimana, ya? Lupa, tuh. Pokoknya pernah dengar, somewhere!”

*******

“Lin! Ngapain lo di sini?” Vinda yang memakai gaun berumbai berwarna kuning segera menghampiri Valin begitu melihatnya dari kaca jendela Barnabas Cafe.

“Gue... gue mau wawancara!” jawab Valin, yang beda dengan Vinda yang berdandan, hanya memakai pakaian kasual. Kini pakaiannya kebasahan karena malam itu memang hujan.

“Wawancara? Di kafe ini juga?”

“Yap! Narasumber gue rupanya mau ketemu temannya malem ini. Gue bisa apa, dong? Lagian emang salah gue, wawancara pas malam Minggu gini...”

“Lo di meja berapa?” tanya Vinda seraya mengiringi Valin masuk ke dalam kafe yang separuhnya sudah terisi.

“Nomor lima, rasa-rasanya...” sahut Valin berusaha mengingat-ingat.

“Hah? Itu kan meja gue! Gue janjian gue dengan Rio di meja itu!” cetus Vinda kaget.

“Lho, kok ketepatan gue mau wawancara dengan orang yang namanya Rio juga, ya? Tapi Rio gue beda, dia cakep banget dan tajir banget pula!”

“Masa, sih?”

“Iya! Lagian...”

“Lho? Kalian berdua udah datang?”

Kedua gadis itu menoleh. Ternyata sudah ada pemuda yang sangat tampan di belakang mereka.

“Dia ini Rio yang mau gue wawancara, Vin! Kenalin, nih!” ucap Valin spontan.

“Lho, kamu bukannya Maya?” tanya pemuda itu secara mengejutkan.

“Hah?! Lho... kok... kok lo tahu?!” Valin sangat kaget.

“Lho, emangnya lo kenal Maya juga? Maya Rivandalia yang tinggal di Jalan Mawar nomor enam...”

“Iya! Dia itu sahabat gue! Dia... dia juga sahabat gue...” Valin menoleh ke arah Vinda, yang speechless saking kagetnya.

“Hahaha... Kok bisa sekebetulan ini, ya? Jangan kaget, girls... Let me explain what has happened here...”

*******

“Maya! Mati, lo! Mati, lo! Lo bakal nangis bombay seumur hidup!” Valin menyerbu Maya habis-habisan pada hari Senin di kelas saat bel masuk belum berbunyi.

“Hah? Nangis bombay? Ngapain?” muka Maya tampak mengejek.

“Lo nggak tahu, sih! Lo nggak tahu!”

“Emangnya ada apa? Jangan ngelindur, deh. Ini masih pagi!”

“Iya, tapi... tapi… Rio itu...”

“Rio…?”

“Lo tenang dulu, deh, Lin. Coba jelasin dengan tenang dan nggak dengan tergesa-gesa gini. Lo dikejar siapa?” Rena menyela.

“Udah, deh! Gini, gue mau ngasih tahu lo tentang fakta sebenarnya mengenai Rio!”

“Hah? Rio? Lo ngomong apa, sih?”

“Gini, Maya, Rena...” Valin memulai. “Lo berdua udah pada baca profil ekslusif majalah sekolah?”

“Ya udah, lah! Siapa yang nggak baca profile of the week kali ini? Rio Janus Sudjardi, kan? Cowok perfect, Ketua OSIS dari SMA Harapan Jaya yang pintar, ganteng banget, anak salah satu pengusaha tersukses di Indonesia, jagoan di segala bidang... please, gitu, loh! Siapa yang bakalan lewatin dia?” cerocos Maya tanpa beban sama sekali. Malahan ada gurat-gurat kekaguman di wajahnya.

“Justru itu...” cetus Valin.

“Justru itu apa?” sergah Maya melotot.

“Lo masih ingat Rio... Rio temen chatting yang batal lo temuin itu?”

“Nggak! Emang 'napa?! Cowok dari kampung macam dia ngapain gue ingat-ingat terus? Emang gue nggak punya kerjaan lain?!” seloroh Maya dengan nada merendahkan.

“Lo nggak tahu siapa sebenarnya dia, sih...”

“Emangnya dia siapa?” Maya tertawa bersama Rena. “Pangeran? Atau jangan-jangan anak milyuner?”

“Bukan gitu, tahu! Dia itu... cowok yang kemarin itu... ternyata bukan Rio yang asli!”

“Apa?!”

*******

“Vin, maafin gue, ya!” Maya menghampiri Vinda yang tengah senyum-senyum sendiri sambil memencet-mencet ponselnya sepulang sekolah di dekat gerbang.

“Gue... gue nggak tahu kalau ternyata Rio lagi nguji gue! Gue nggak nyangka sama sekali kalau ternyata... kalau ternyata... dia itu bukan Rio, tapi... si... si… Han… Had... aduh, siapa, ya, namanya...”

“Hasan?” Vinda membantu, tersenyum sinis pada Maya.

“I… iya... Si Hasan atau siapa, lah...”

“Lo selalu begitu, Ya! Ngeremehin orang lain yang nggak bernasib sebaik lo! Lo emang cantik, pintar, dan kaya, tapi itu bukan alasan bagi elo untuk merendahkan orang lain yang nggak seberuntung lo!”

“Gu… gue tahu...” kata Maya memelas, tapi Vinda malah melengos.

“Lo tahu siapa Hasan? Dia itu juara olimpiade Fisika yang diadain salah satu universitas di Tokyo dan dapat beasiswa untuk sekolah di sana! Meski dia tergolong siswa nggak mampu, tapi otaknya brilian banget! Lo tuh nggak ada apa-apanya sama sekali dibanding dia! Dia juga sahabat baik Rio!”

“Iya... iya... terus Rio-nya gimana?” tanya Maya. Vinda melengos lagi. “Vin...”

“Dia udah tahu gimana sifat lo yang sebenarnya, tanpa gue beritahu. Semuanya terbongkar kemarin malem. Gue nggak sanggup buat ngebohong lebih jauh lagi. Gue takut dosa. Gue terpaksa jujur, kalau gue ini Vinda, bukannya Maya.”

“Lo kok gitu, sih?! Sama temen juga...!” protes Maya.

“Lo bukan temen sejati gue yang pantas gue bela mati- matian, Ya! Buktinya lo lebih sering milih gaul sama Rena, kan, daripada sama gue dan Valin? Mentang- mentang kita berdua nggak setajir lo dan Rena! Lo kira kita berdua nggak pantas, kan, buat jalan ama lo? Tahu, deh!”

“Vinda!”

“Terserah, tapi itu pendapat gue, Ya! Kalau lo mau marah, itu hak elo!”

“Vin...”

Tililit! Tililit! Tililit!

Ponsel jadul Vinda yang bukan berjenis smartphone seperti milik Maya dan Rena berbunyi. Vinda segera mengangkatnya tanpa memerdulikan Maya. Setelah selesai berbicara denganvsi penelepon, ia kembali menghadapi Maya.

“Siapa tuh? Kayaknya akrab banget...” tanya Maya agak tidak senang.

“Itu Rio,” jawab Vinda jelas dan tegas.

“Apa?! Rio?! Jadi kalian...”

“Gue rasa bukan salah Vinda kalau sekarang dia dekat sama Rio,” Valin ikutan nimbrung.

“Lo ngapain ikut campur, Lin?!” bentak Maya.

“Gue nggak ada urusan sama elo! Gue cuma mau konfirmasi sama Vinda, dia nanti mau ke mall naik apa. Sori, tapi gue, Vinda, sama Rio udah menjalin persahabatan dan kita nanti mau hang out bareng. Ayo, Vin!”

Maya tercengang melihat tingkah sahabat-

sahabatnya, tapi ia tidak bisa apa-apa karena ini adalah salahnya sendiri. Kini ia hanya bisa menggigit bibir dan berjanji bahwa tidak boleh begini lagi lain kali.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)