Masukan nama pengguna
“Kamu yakin mau ketemuan sama cowok itu, Mey?” tanyaku pada seorang gadis berkacamata siang itu, sepulang sekolah, di pelataran parkir sekolah yang luas.
Memey, gadis yang kumaksud, mendesah, kemudian bersandar lemas pada mobilnya, “Gimana, ya? Aku kan sudah janjian...”
“Ya udah, terserah kamu, tapi aku nggak bisa ikut, oke? Hari ini jadwalku ke les bahasa Inggris, karena itu aku nggak…”
“Kalau sepulang les gimana?” Memey menawarkan setengah merajuk. Aku berpikir-pikir sejenak.
“Gimana, ya?”
“Ayo, dong, Ros! Sari mau nganterin mamanya belanja ke plaza, Via ada kursus privat Matematika, masa kamu juga...” rayu Memey lagi.
“Aku kan juga ada acara, Mey. Masa selain kita-kita ini, nggak ada temen lain yang bisa diajak?”
“Ada, sih, tapi kan nggak seenak kalau barengan kamu-kamu semua! Nggak bisa bebas curhat, ntar disebarin sama anak satu kelurahan! Ayo, dong, Ros...”
*******
“Nah, gitu dong, Ros!” cetus Memey penuh kemenangan saat kami sudah melaju cepat dengan mobil sedan hitam milikku, membelah kota menuju mall yang jadi tempat janjian Memey.
“Nggak nyangka kamu sampai bela-belain jemput aku di les bahasa Inggris. Sebenarnya sih malu-maluin,” kataku agak bete tapi memaksakan diri untuk tetap ceria. Gadis berkulit putih itu cuma nyengir.
Setibanya di mall yang dimaksud, Memey langsung mengajakku ke suatu kafe di lantai tiga yang dijadikan tempat mereka bertemu. Aku sampai diseret-seret segala saking bersemangatnya gadis itu.
“Iya... iya... tunggu, dong! Emangnya 'napa, sih? Dia bakal ngebunuh kamu kalau telat?” kataku jengah, tak sabar lagi dengan sikapnya yang berlebihan.
“Bukannya gitu, Rosa, tapi aku nggak mau dapat imej jelek di hadapan cowok idamanku!” jawabnya berapi-api.
“Jangan terlalu pede gitu, deh! Belum ketemuan aja udah menyebutnya cowok idaman!” sambarku sadis. Memey menoleh dengan ekspresi tak senang.
“Kamu nggak tahu, sih! Gaya bahasanya kalau lagi chatting tuh manis banget! Intelek! Romantis! Dia pasti cakep, keren, manis, atau paling enggak, ya, tipe-tipe standar, lah!”
“Oke, tapi tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, Mbak, apalagi kamu nggak tahu wajahnya! Lagian kenapa nggak video call dulu, sih?”
“Katanya biar surprise,” jawab Memey manyun.
“Ah, alasan aja tuh!” aku mendebat.
“Aku juga bilang gitu, tapi mau bagaimana lagi?”
“Tapi dia enak diajak chatting! Sudah, deh!”
Tanpa terasa, Memey dan aku sudah tiba di kafe yang dimaksud. Kafe itu tampak cozy dengan nuansa cokelat muda dan kursi-kursi bersandaran empuk berwarna senada. Kami mengambil tempat sedikit di pojokan. Baik aku dan Memey sama-sama memesan segelas milkshake stroberi.
“Yang mana orangnya, Mey?” tanyaku sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kafe.
“Mmm... mana, ya?” Memey juga ikut memandangi se-antero kafe. “Kayaknya belum datang, deh.”
“Emangnya dia janji mau pakai baju apa?” tanyaku, tak berminat sebenarnya.
“Kaos hijau dengan celana panjang cokelat,” Memey menjawab. “Mana dia, ya?”
“Tak kusangka dia ternyata jam karet,” tebakku kritis.
“Nggak, lagi! Kita yang kepagian!” bantah Memey.
Aku cuma angkat bahu melihat sebegitu pedulinya Memey dengan laki-laki tak dikenal itu. Tapi aku tak berhak ikut campur, cuma bisa menasehati saja, selanjutnya terserah dia. Kami diam sejenak. Kulihat Memey gelisah mengaduk-aduk milkshake-nya.
“Kalau gitu aku ke apotek dulu, ya! Mau nyari obat titipan adikku, nih!” aku sudah berancang-ancang hendak beranjak, tapi Memey menahan tanganku.
“Jangan gitu, dong, Ros! Masa aku ditinggal sendirian? Aku mau ikut!”
“Lho? Katanya mau nunggu si... siapa itu?” aku mengingatkan.
“Iya, tapi barengan, dong! Nervous, nih! Jangan ditinggal, dong!” mohon Memey. Aku menghela napas bosan.
“Iya, deh!” akhirnya aku duduk kembali dengan muka ditekuk. Boring!
Rasanya sudah satu jam lebih kuhabiskan sia-sia dengan memainkan berbagai game di smartphone-ku untuk membunuh bosan, ketika akhirnya Memey berteriak sangat keras di telingaku yang baru sembuh dari sakit kuping parah ini, “Ros! Dia datang, Ros! Dia datang!”
Aku mendongak, sambil secara refleks menutup telingaku, “Woy, hargain, dong, orang baru sembuh dari sakit telinga ini! Kalau sakit lagi gimana?”
“Iya... iya... sori...” Memey mengusap-usap telingaku penuh perhatian, tapi sedetik kemudian kembali menatap sosok yang ditunggunya. Aku ikut mengamati laki-laki itu secara seksama.
Laki-laki berciri-ciri seperti yang disebutkan Memey itu tengah berjalan celingak-celinguk di pintu kafe, seperti sedang mencari orang. Aku tidak bisa melihat wajahnya karena ditutupi topi sampai ke bawah. Lagipula aku memandangnya dari jarak yang cukup jauh.
Memey sepertinya berhasil membuat kontak isyarat dengan laki-laki itu, sehingga dia akhirnya melangkahkan kakinya ke arah kami. Sejenak kulihat wajah Memey sangat sumringah, kelihatan gembira sekali. Ia berulangkali melambai penuh semangat pada laki-laki itu, seakan menyuruhnya untuk cepat datang, dan dia benar-benar cepat menghampiri kami. Di tengah jalan, akhirnya dia membuka topinya dan tersenyum lebar sekali pada kami, khususnya pada Memey. Aku langsung shock seketika itu juga, tapi kulihat Memey tampak jauh lebih terpukul.
Senyum memudar dari wajahnya, lambaian tangannya melemas seketika itu juga, dan dalam sekejap dia jadi kelihatan seperti orang yang baru ditimpa musibah. Dia menatapku hampir menangis, nyaris tak bisa lagi berkata-kata. Aku berusaha mati-matian untuk membuat wajahku se-memprihatinkan mungkin untuk memahami nasibnya, tapi rasanya sangat susah karena dorongan geli di perutku sangat besar.
Laki-laki itu sudah tiba di depan kami, bahkan menarik kursi tepat di hadapan Memey. Dia tersenyum lebar lagi, memperlihatkan taring kuningnya yang penuh selipan sayur dan cabai.
“Hai! Sudah lama? Maaf, vespa saya mogok! Kamu Memey, kan? Apa kabar?”
Aku nyaris saja ngakak dan karena tak tahan, kututup mulutku dan tertawa diam-diam di bawah meja. Memey tampak sangat lemas (kurasa sebentar lagi dia akan pingsan) dan kudengar dia menjawab sangat pasrah, “Aku baik-baik aja, kok.”
Kulihat dari bawah meja bahwa celana laki-laki itu ternyata sangat kedodoran. Aku ngakak lagi, tapi tetap secara diam-diam. Setelah puas tertawa, aku kembali menegakkan diri untuk menghadapi “laki-laki idaman Memey” itu.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan laki-laki itu. Kalaupun ada, paling-paling hanya usianya yang kelihatannya sudah di atas kepala empat. Pertanyaannya adalah bagaimana mungkin selama ini Memey bisa enjoy chatting dengan om-om seperti ini? Belum lagi kalau melihat senyum lebarnya yang menampilkan sederetan gigi kuningnya yang penuh dengan “irisan” sayur, cabai, atau entah apalagi itu, dan nafasnya yang lamat-lamat agak “berbau”.
“Wah, Memey, seperti yang saya bayangkan, kamu ternyata cantik sekali. Persis seperti Saodah, anak Pak Camat di kampung saya! Saya sudah minta restu Bapak saya. Kalau mau, minggu depan kita bisa kawin, lho, Mey,” kata laki-laki itu tanpa sungkan-sungkan.
“Apa?!” Memey memekik luar biasa kaget. “Ka... kawin? Tapi saya kan masih sekolah! Lagipula saya...”
“Ah, tidak usah sungkan, Memey Sayang. Kalau cuma urusan sekolah, sih, sekolah saja di kampung saya! Di sana ada sekolah khusus, Mey! SLB! Gimana? Asyik, kan? Kakak saya aja lulusan sana dan tambah pintar, Mey! Udah, deh, kawin aja sama saya, ya! Nggak usah sekolah juga nggak 'pa-'pa! Biar... cepat-cepat punya anak, Mey...”
“Haaah?!”
“Mey, aku mau ke toilet dulu!” aku tak tahan dengan orang aneh ini. Mendengarku bicara, laki-laki itu mendadak menahan tanganku. “Hei!”
“Kamu mau kemana? Mey, teman kamu cantik juga. Gimana kalau jadi istri kedua saya? Kamu nggak marah, kan?”
“Apa?!” aku terkaget-kaget. Laki-laki itu nyengir tanpa rasa berdosa.
“Ah, kamu tambah cantik aja kalau marah...”
“Minggir!”
Brak!
Kutendang pangkal pahanya dan untunglah it works.
“Wadao!”
“Ayo, Mey!” aku mengamit Memey pergi dan tidak seperti biasanya, Memey menurut saja ketika kutarik.
“Memey!” dia berusaha mengejar, tapi kami lebih cepat dari dia.
*******
“Bisa-bisanya sih orang kayak gitu kamu sebut intelek!” cetusku di dalam mobil yang membawa kami menjauhi mall itu. Aku mau kabur sejauh-jauhnya dari pria aneh itu!
“Tapi... tapi... tapi...” hanya itu yang bisa keluar dari mulut Memey.
Kami terdiam selama beberapa menit. Kepalaku masih penuh dengan orang aneh itu. Sekonyong-konyong, dering ponsel Memey menyalak nyaring. Memey mengangkatnya, masih dalam keadaan shock berat.
“Halo...”
Aku memperhatikan dan raut wajah Memey tampak berubah sedikit demi sedikit. Ia beberapa kali mengatakan “ya” pada peneleponnya. Tak lama kemudian teleponnya ditutup dan dia menatapku dengan bola mata hampir keluar.
“Yang tadi itu ternyata memang bukan Kevin, tapi salah satu sanak saudaranya yang memang agak kurang waras! Dia ngerjain Kevin sampai nggak bisa datang ke sana, trus dia nyamar jadi Kevin!” jelasnya sumringah.
“Tunggu, Mey...”
“Apa?”
“Gini, kalau misalnya dia saudaranya Kevin, berarti Kevin itu... penampilannya kurang lebih kayak gitu juga, dong?” dugaku kritis.
“Nggak mungkin!” bantah Memey, tapi kali ini dia tampak agak lemah.
“Ya, mungkin saja! Buktinya...”
“Kevin mau ketemuan! Di jalan Marina gang Camar nomor 56! Lihat, dia kirim pesan!” Memey memotong. Aku jadi bete seketika.
“Jadi kita mau ke sana, nih?”
“Iya!”
*******
Ternyata kawasan yang dimaksud Kevin adalah daerah yang cukup terpencil. Memang gangnya cukup untuk dimasuki mobil, tapi ternyata sangat lecek dan penuh lubang pula. Aku jadi merasa terombang-ambing. Belum lagi mobilku sempat dikerubuti anak-anak kecil. Waduh!
Aku bergidik, tapi Memey masih semangat walaupun kawasan ini dikelilingi tumpukan sampah dimana-mana. Mobilku cuma bisa masuk sampai gang Merpati dan untuk sampai ke gang Camar, menurut Pak Hansip, harus jalan kaki sekitar 200 meter dan berkelok-kelok pula. Weih!
Setelah menitipkan mobilku di pos hansip terdekat, aku dan Memey mulai berjalan kaki menyusuri peta yang dibuatkan Pak Hansip. Setelah perjuangan yang lumayan membikinku jera, kami sampai juga di sebuah rumah kecil yang terbuat dari bambu yang terletak di tengah rawa-rawa.
Aku memandang Memey ragu, tapi Memey rupanya punya semangat membara dan banyak kemungkinan (dia bilang siapa tahu Kevin itu mahasiswa yang sedang mengadakan penelitian di daerah sini).
“Permisi,” Memey memberi salam pelan. Tak perlu menunggu lama, seorang pemuda berkulit sawo matang yang tampaknya ganteng juga langsung muncul.
Inikah Kevin?
“Cari siapa, ya?” tanyanya dengan logat Jawa yang kental.
“Kevin ada?” tanya Memey sopan.
“Kevin? Kev... oooh... Saprin? Saprin ada! Tunggu, ya!”
“Tu... tung...”
Dia sudah berlalu. Memey memandangku sangat bingung. Pikirannya mungkin sama denganku: apa kami salah rumah?
Sekonyong-konyong seorang laki-laki kurus kerempeng dengan rambut kriwil keluar. Dia langsung menyapa,
“Memey, ya?”
“Haaah?”
“Saya Kevin. Di sekitar sini memang saya dipanggil Saprin, tapi sebenarnya nama say... lho, mau kemana? Hei... hei...!”
“Maaf, salah rumah!” kata Memey keras, sambil menarikku menjauh. Kami kembali ke mobilku (yang dikerubuti orang hampir satu kampung) dan cepat-cepat pergi dari tempat itu.
“Tuh, kan! Aku bilang juga apa! Mimpi itu nggak selamanya jadi kenyataan!” kataku ketika kami sudah di dalam mobil.
“Iya... iya... sori...” rajuk Memey. “Habis, berdasarkan cerita, orang yang mau berusaha kan selalu berakhir happy ending!”
“Itu kan cerita, beda dengan realita!”
“Tapi kan nggak semuanya berakhir suram, Ros. Kamu masih mau, kan, nemenin aku ketemuan sama Galih
?”
Aku menghentikan mobilku shock.
“Memeeey!” pekikku nyaring, “Kamu kok belum sadar-sadar juga!”