Cerpen
Disukai
7
Dilihat
1,287
Keflavik 2020: Cinta, Curhat dan Cokelat
Slice of Life

“Aku bosan.”

Waktu masih menunjukkan pukul dua siang di musim dingin. Di liburan akhir tahun begini, keluarga Olsen biasanya akan pergi ke sebuah negara yang eksotis, tapi kondisi pandemi corona yang sedang melanda seluruh dunia membuat mereka tidak bisa kemana-mana. Sudah seminggu lebih keluarga mereka stay at home saja karena lockdown dan anak-anak mulai resah saking bosannya. 

Wajar saja karena semua permainan indoor dan tontonan streaming rasanya sudah mereka mainkan namun pandemi ini belum berakhir juga. Padahal mereka sudah sengaja mengungsi ke kampung halaman sang ayah, sebuah kota kecil di Islandia yang bernama Keflavik, setelah sebelumnya berdomisili di Jakarta, Indonesia. Tapi ternyata pandemi juga melanda negara kecil di Skandinavia ini.

“Mau bantu Mama masak?” Nisha, ibu muda berusia 29 tahun berkebangsaan Indonesia, menawarkan pada anaknya yang tadi mengeluh dalam posisi rebahan di atas karpet empuk di ruang tengah. 

Yup, kini ruangan yang terletak di antara ruang tamu dan dapur itu seolah disulap jadi area serba bisa. Smart TV layar datar besar menghadap karpet tebal berwarna putih yang digelar di lantai. Tadinya ruangan itu, sama seperti ruang tamu, memiliki sofa nyaman berwarna putih. Sekarang sofa itu dipindahkan untuk sementara ke gudang. 

Selain penyesuaian tadi, juga ada banyak mainan anak yang kini berserakan beserta rak buku milik sang ayah yang sengaja dipindahkan ke sana dari ruang kerja. Konsol game versi terbaru terdapat di depan TV. Beberapa gadget seperti tablet, smartphone dan laptop juga ada disana, berikut meja lipat dan colokan besar dengan kabel panjang yang kini dihuni oleh berbagai jenis pengisi daya. Benar-benar area social distancing yang representatif.

“Aku mau jalan-jalan ke hutan dengan Papa,” ucap anak itu manja. Rumah mereka, yang tadinya adalah rumah nenek suaminya, memang terletak di tepi hutan yang sering dijelajahi baik oleh mereka atau warga kota kecil itu. 

“Papa lagi kerja di ruangannya, Sayang, jangan diganggu,” cetus Nisha. Suaminya yang adalah blasteran Islandia-Denmark memang sekarang tengah melakukan work from home karena kondisi lockdown yang sedang dianjurkan pemerintah. 

“Kakak mana?” tanya sang anak belum puas sambil berguling-guling sendiri beberapa kali untuk menghilangkan kebosanannya. Ia berusia empat tahun dengan rambut pirang yang panjang bergelombang. Matanya gelap dengan kulit putih pucat dan wajah yang mirip dengan sang ibu.

“Kakak lagi tidur.”

“Adik juga lagi tidur. Kenapa mereka kompakan?” sang anak menggerutu seraya mengubah posisinya jadi tengkurap.

“Nanti pusing, Sayang,” Nisha menghampiri sang putri dan mengelus rambutnya yang modelnya sama dengan dirinya hanya saja berbeda warna. Ia sendiri memiliki mata berwarna gelap, wajah yang sangat cantik dan kulit putih turunan dari ibunya yang merupakan warga negara Irlandia. Sama seperti kondisi keluarganya saat ini, orangtuanya juga memiliki kewarganegaraan yang berbeda.

“Masak, yuk, sama Mama? Mama mau nyobain resep baru,” Nisha kembali menawarkan. “Enak, deh, ada cokelatnya!”

“Nggak mau. Capek,” tolak anaknya.

“Kenapa lesu, Hilda?” seorang lelaki berusia 35 tahun memasuki ruangan itu. Ia berwajah luar biasa tampan dengan rambut pirang, kulit putih pucat dan mata hijau cemerlang. Hans Olsen, sang kepala keluarga. 

“Udahan kerjanya, Sayang?” tanya Nisha seraya berdiri dan memeluk sang suami, yang mencium keningnya. 

“Aku hanya bekerja empat jam, ingat?” Hans lantas melepas dasi dan jas kerja yang ia gunakan. “Kenapa Hilda?”

“Dia bosan.”

“Papa, ayo main ke hutan!” Hilda bangun dengan merajuk lalu berjalan dan memeluk pinggang sang ayah. 

“Buat apa ke hutan?”

“Biar bisa lari-lari atau lihat burung...” 

Hans menampilkan senyum langkanya dan mengelus kepala sang anak. Lelaki yang juga blasteran ini adalah introvert akut yang sempat dijuluki “pangeran es”. Bisa melihat senyumnya ibarat menyaksikan keajaiban dunia saking jarangnya. Namun sejak punya anak, ia jadi lebih sering tersenyum di depan mereka.

“Bagaimana kalau kita main game saja? Nanti kamu boleh pesan pizza yang paling besar,” Hans mencoba membelokkan ke aktivitas lain yang tidak perlu ke luar rumah dengan menawarkan hadiah.

“Yeaaahhh, pizzaaaaaa...” Hilda setuju lantas menari-nari bahagia. 

“Oke, kalau begitu kalian main dulu, ya. Mama akan buat brownies cheesecake di dapur.”

Hans mengangguk dan mencium pipinya. 

“Papa, ayoooo...”


*******


Nisha sedang mengaduk adonan brownies ketika anaknya yang pertama memasuki dapur. Ia adalah gadis kecil berusia tujuh tahun yang berambut hitam panjang dan berkulit putih dengan mata gelap. Sangat mirip dengannya kalau saja rambutnya tidak lurus seperti sang papa.

“Mama lagi buat apa?” ia bertanya sembari memeluk pinggang ibunya dengan mata sayu karena baru bangun tidur.

“Mama mau bikin brownies cheesecake. Mira mau bantuin?”

Mira mengangguk meski masih terlihat mengantuk. Tidak seperti adiknya yang sedikit rebel dan ceria layaknya sang bunda, Mira adalah anak yang pendiam dan penurut, sifat yang diturunkan ayahnya.

“Cuci muka dulu, gih.”

Mira lagi-lagi menurut, silam ke wastafel dekat kamar mandi lalu kembali lagi hanya dalam beberapa menit.

“Bantuin Mama marut keju ya?” Nisha menyodorkan keju berukuran sedang berbentuk kotak lengkap dengan parutannya. Karena sudah pernah melakukan ini sebelumnya, Mira langsung mengerjakannya dengan sigap dan tidak butuh waktu lama untuk menyelesaikannya.

“Sudah, Ma,” lapornya sambil tersenyum tipis. 

“Nah, bantu Mama aduk adonan cheesecake-nya bisa?” Nisha menggeser bowl yang terbuat dari plastik food grade ke hadapan sang putri. Mangkuk itu sudah diisi dengan bahan-bahan termasuk keju yang baru diparut tadi dan tinggal diaduk saja dengan spatula yang terbuat dari kayu. Mira, seperti biasa, menurut tanpa banyak berkata-kata.

Nisha mengecek ponselnya sejenak untuk memastikan tidak salah langkah karena ini adalah resep yang didapatkannya dari internet. Sudah menjadi kebiasaan barunya untuk mencoba menu-menu di media sosial untuk mengatasi kebosanannya akibat hanya tinggal di rumah saja selama ini. Lumayanlah bisa membikin anak-anak dan suaminya hepi karena sering menyantap menu baru. Berasa makan di restoran tiap hari katanya. 

“Ini sudah jadi, belum?” Mira mengalihkan perhatian Nisha dari gadget-nya. Ia segera mengecek konsistensi adonan tadi.

“Hmmm... bagus nih kayaknya! Tinggal tunggu brownies-nya matang lalu letakkan di atasnya, bekukan, dan jadi, deh!” seru Nisha penuh semangat.

“Terus sekarang kita ngapain?”

Pertanyaan itulah yang hampir selalu ditanyakan anak-anaknya belakangan ini.

“Ngapain ya?” Nisha pura-pura balik bertanya. “PR kamu sudah selesai?”

Akibat pandemi corona, sekarang Mira yang masih duduk di kelas dua SD harus menjalani belajar jarak jauh lewat internet.

“Sudah, Ma...”

“Ya sudah, rebahan, yuk! Temani Mama nonton drama Turki!”

“Ertugrul lagi?”

“Kan kita belum nonton sampai tamat! Hayuk!”


*******


Malam itu mereka makan bersama dengan cukup ceria ditemani dengan menu semur ayam, sayur sop, dan udang goreng tepung. Setelah itu mereka menikmati dessert yang tadi dibuat Nisha dan Mira, yaitu brownies cheesecake. Hilda sangat ketagihan sampai nambah berkali-kali dan baru berhenti setelah kekenyangan.

Setelah itu seperti biasa mereka silam ke ruang tengah. Noah, anak ketiga Nisha yang baru berumur dua tahun, sudah bangun dan kini sedang minum susu dari botol sementara kakak-kakaknya bermain di sekitarnya. Ia berambut hitam kecokelatan dengan mata gelap dan kulit putih pucat. Wajahnya tampan sekali sampai banyak yang memintanya menjadi model iklan produk bayi, hanya saja tawaran yang sebenarnya menggiurkan itu selalu ditolak oleh ayahnya. Maklum Hans saat ini adalah manajer humas yang sukses sehingga mereka tidak kekurangan suatu apapun.

Nisha, usai melakukan berbagai jenis pekerjaan rumah tangga, kini rebahan saja kelelahan sambil menonton berita berbahasa Inggris yang diperhatikan dengan sungguh-sungguh oleh suaminya yang duduk disebelahnya, kebanyakan berisi tentang perkembangan situasi pandemi di dunia. Hilda bermain rumah-rumahan dengan boneka-boneka koleksinya dan Mira membaca sebuah buku cerita anak-anak untuk kesekian kalinya.

Tiba-tiba terdengar bunyi bel dari luar dan Hans pun bergegas menghampirinya.

“Siapa?”

“Ada hantaran makanan dari Tuan Matteo.”

Matteo yang dia maksud sepertinya adalah Matteo Hartvik, sepupu Hans yang tinggal di seberang kota.

Hans membuka pintu dan menerimanya lalu setelah mengucapkan terima kasih, ia kembali menutup pintu.

“Matteo mengirimi kita sup kentang buatan istrinya dan pie apel. Hangatkan dulu sana.”

Nisha menurut dan memanaskan ulang kedua makanan itu di microwave, protokol yang dijalankan keluarga mereka sejak pandemi setiap memesan makanan dari luar atau menerima hantaran makanan dari orang lain. Beberapa menit kemudian ia memindahkan sup dan pie kiriman tadi ke wadah yang lain sebelum kemudian disajikan.

“Aku mau! Aku mau!” seru Hilda. Ia berlari dan mengambil dua potong pie sekaligus. Mira ikut mengambil satu potong saja dengan kalem. Sementara itu, Nisha dan Hans berbagi sup dalam satu mangkuk. Saat sudah hampir habis, ponsel Hans bergetar dengan foto Matteo terpampang disana. Video call.

“Sebentar...” Hans meletakkan mangkuk supnya di atas meja lipat sebelahnya lalu menggeser layar smartphone-nya, memperlihatkan wajah Matteo yang tersenyum di ruang tamunya yang tampak berantakan. Sofa yang biasa sudah dipindahkan demi mengakomodasi sebuah meja panjang yang penuh berisi makanan dan minuman.

“Hans, kenapa tidak datang ke pesta ulangtahun anakku?” cetusnya melengking dengan nada merajuk. “Erik bilang makanannya sudah sampai.”

“Sebelumnya terima kasih untuk kiriman makanannya, tapi maaf aku tak bisa datang karena ini masih dalam suasana pandemi. Apa harus kuingatkan bahwa pesta yang kamu selenggarakan di saat seperti ini tergolong kurang tepat? Orang-orang bisa saling menularkan corona... “

Matteo berdecak kesal, “Corona lagi! Mana corona itu, mana? Ini pasti hanya konspirasi saja! Lagipula kalaupun kena, rasio kesembuhan kita besar!”

“Itu kan kalau sembuh... Banyak juga yang meninggal, bahkan tubuh kita bisa saja mengalami kerusakan permanen walaupun berhasil survive...”

“Ah, kamu ini, paranoid sekali! Bahkan ke rumah tetangga saja pakai masker, memangnya ada corona di kota kecil begini?”

“Mungkin ada di antara kita yang tidak memiliki gejala tapi sebenarnya ketularan...?”

“Sudahlah! Aku bosan dengar corona ini... corona itu... kita nikmati saja hidup ini tanpa ketakutan yang berlebihan! Kalaupun nantinya harus mati karena corona, bukannya itu sudah suratan takdir? Katanya kamu beragama!” sindir Matteo seraya duduk di kursi dekat dinding dan menyilangkan salah satu kakinya. 

“Bukan berarti kita bisa pasrah tiduran di tengah jalan, kan? Berusaha dulu sebisanya baru serahkan pada Tuhan,” bantah Hans.

“Hah... dasar manusia yang tidak berani ambil resiko! Lihat aku nih! Minggu lalu juga asyik pesta dengan banyak orang! Tapi mana coronanya?” Matteo terkekeh. “Mau uji nyali? Lusa aku mau mengadakan pesta lagi untuk menyambut kepulangan adikku dari Amerika. Datang ya?”

“Tidak, terima kasih. Selamat malam.”

Dan Hans pun memutuskan sambungannya.

“Matteo lagi?” Nisha mengikik. “Dia seperti jubir corona saja.”

Hans menghela napas, “Apa boleh buat, dia memang seperti itu orangnya. Carefree. Aku sudah mengingatkannya berkali-kali tapi dia tidak mau dengar...”

“Kamu sudah berusaha...” Nisha mengelus pundak Hans untuk menenangkan sang suami.

“Aku ingin menyelamatkannya, Nisha, sungguh! Dia itu sepupuku! Tapi apa daya kalau dia tidak mau...”

“Bukan tugasmu untuk menyelamatkan semua orang, Hans. Biarkan mereka belajar bertanggung jawab atas pilihan hidup mereka...”

Hans tak menjawab, hanya bisa menghela napas, lalu membaringkan kepalanya di pangkuan istrinya, yang lantas membelai rambut halusnya yang lurus rapi dan berkilau indah tertimpa cahaya lampu.

“Kamu benar-benar baik, Sayang, hanya saja kadang mereka belum mengerti, tapi itu bukan salahmu, oke? Tenanglah...”

Hans meraih tangan Nisha dan menciumnya.

“Seandainya saja aku bisa tidak sepeduli itu... seandainya saja...”


*******


“Terima kasih.”

Nisha menerima dua bungkus besar belanjaan dari kurir yang berada di depan pintu. Setelah transaksi selesai, ia langsung meletakkan dua kantong kertas eco-friendly tadi di halaman dan mengambil satu persatu barang di dalamnya untuk didisinfektan. 

Ini juga adalah kebiasaan barunya selama pandemi karena menurutnya tidak ada yang tahu kapan orang tanpa gejala memasuki supermarket untuk membeli sesuatu. Ia juga memutuskan untuk mulai berbelanja online agar setidaknya ikut menghentikan penyebaran corona. Wanita bertubuh sintal itu membeli dalam jumlah banyak sehingga bisa tahan sebulan dan memilih bahan makanan yang tidak cepat membusuk agar tidak harus bolak-balik belanja.

“... kan begitu, Ayah, tapi dalam kondisi pandemi... aku mengerti, kita memiliki pandangan yang berbeda dalam hal ini tapi mohon maaf, dengan berat hati aku memilih tidak berpartisipasi pada tahun ini...”

Nisha mendongak sambil membawa semua barang belanjaannya yang sudah dibersihkan dan melihat sang suami sedang berbicara lewat telepon dengan ayah mertuanya di ruang tengah. Ia meneruskan kegiatannya dan meletakkan belanjaannya tadi di tempat yang semestinya lalu kembali ke ruangan dimana suaminya berada. Tampak sang suami sudah mengakhiri pembicaraan teleponnya dan kini tengah memijit pelipisnya dengan raut frustasi.

“Ada apa, Sayang?” Nisha duduk di sebelahnya dengan muka penuh perhatian. Anak-anak berlarian di sekitar mereka karena sedang main kejar-kejaran, namun ia berusaha fokus pada sang pria Barat yang terlihat cukup stres.

“Ayah marah padaku karena memilih tidak datang ke family gathering tahun ini,” sahut Hans dengan nada galau. Memang keluarga besar Olsen biasa berkumpul di musim dingin di rumah salah satu keluarga mereka untuk menghabiskan waktu bersama selama beberapa minggu. “Padahal sudah kujelaskan bahwa saat ini pandemi...”

“Oh, Sayangku...” Nisha mengelus pundak Hans untuk memberinya semangat.

“Aku juga menghindar saat hendak dijadikan tujuan menginap. Bayangkan saja orang-orang entah dari mana tiba-tiba datang ke sini… bagaimana kalau mereka itu orang tanpa gejala?” desah Hans. “Kita punya tiga orang anak di sini dan fasilitas medis di kota kecil begini juga tidak secanggih di ibukota...”

Nisha tak bisa berkata-kata dan hanya bisa terus mengelus pundak sang suami.

“Tapi biarlah aku dikucilkan tahun ini demi keselamatan kalian sekeluarga... Aku adalah kepala keluarga, jadi akan berusaha melindungi kalian semampuku meski harus jadi cibiran karena dianggap, apa kata Matteo, paranoid...?”

“Sebaiknya nggak usah terlalu diambil hati, Hans, lagian... ughh!” tiba-tiba Nisha merasa mual dan segera berlari ke wastafel untuk memuntahkan isi perutnya. 

“Nisha, kamu kenapa, Sayang?” Hans mengikutinya dan memijat-mijat tengkuknya. Setelah selesai, Nisha menatap Hans seakan bersalah. “Sejak kapan kamu muntah-muntah begini?”

“Sudah sejak seminggu yang lalu, Hans...”

“Apa?” Hans tampak sedikit marah. “Kenapa tidak memberitahuku? Bagaimana kalau kamu sakit? Bagaimana kalau kamu...”

“Hamil?”

Hans tertegun dan Nisha memeluknya.

“Bagaimana kalau aku hamil, Hans?” Nisha mendongak untuk mengetahui reaksi suaminya. Hans hanya menghela napas, membuat Nisha khawatir.

“A... aku tahu kalau kita sudah memiliki tiga anak dan ini tidak direncanakan, tapi...”

Hans memotong penjelasan Nisha dengan menciumnya singkat.

“Hei, kenapa ketakutan begitu?” Hans kembali menciumnya. “Aku tidak keberatan berapapun anak kita. Banyak anak banyak rejeki, benar?”

Nisha mendengus tertawa. “Benar, kamu memang benar!”

“Kamu sudah tes?”

“Belum...”

“Baiklah, kita akan pesan tespack besok dan mari kita lihat bagaimana hasilnya...”


*******


Dua musim sudah berganti namun pandemi corona belum juga berakhir. Nisha, kini dengan perut membuncit, memasuki ruangan dengan membawa cokelat panas untuk semua anaknya dan caffe latte untuknya dan suaminya. Anak-anaknya sedang rebahan di karpet ruang tengah, masing-masing bersandar di bantal-bantal empuk, menyaksikan keindahan kota Istanbul secara virtual lewat smart TV di depan mereka.

“Yeay, cokelat panas!” Hilda terlonjak bahagia saat melihat lima buah gelas di nampan milik sang bunda. Ia yang pertama mengambil mug sebelum kemudian melanjutkan virtual tour-nya.

“Kelihatan enak,” Hans tersenyum padanya dari lokasi duduknya yang bersebelahan dengan Mira, lalu mengambil latte-nya. Sang putra, Noah, tertidur nyenyak di dadanya, namun sebelah tangannya masih menatap tablet-nya dimana postingan berita internasional tampak nangkring manis di sana.

Nisha duduk di sebelah suaminya dan mengambil salah satu gelas dari nampan yang sudah ia letakkan di atas meja lipat. Ia bersandar di bahu sang suami dengan mata tertuju pada arsitektur masjid Hagia Sophia di layar TV.

“Bagaimana kondisi ayahmu?” bisik Nisha pelan agar tidak mengganggu penjelasan berbahasa Inggris dari speaker TV.

“Masih sama, nampaknya tidak bisa benar-benar sembuh dari corona,” sahut Hans lirih. Ya, ayah Hans dan beberapa orang yang ikut family gathering keluarga Olsen pada musim dingin lalu diketahui positif terjangkit corona beberapa minggu setelah acara berlangsung. Akibatnya, dua orang dalam satu keluarga dari Stavanger sampai meninggal. Namun ayah dan adik Hans beruntung bisa survive karena mereka tinggal di kota besar sehingga mendapatkan perawatan yang memadai. Akan tetapi rupanya ayah Hans tetap tidak bisa sembuh total dari penyakit ini karena masih saja merasakan berbagai gejala bahkan lama setelah isolasinya berakhir.

“Bagaimana homeschooling anak-anak?” Hans balik bertanya. Karena kondisi pandemi yang ternyata cukup lama maka mereka memulai homeschooling di rumah, setidaknya sampai pandemi mereda. 

“Mereka manis dan rajin kok, jadi jangan khawatir,” Nisha tersenyum saat teringat pengalamannya menjadi guru dadakan bagi dua anak perempuan mereka.

“Dan kehamilanmu?”

“Baik. Aku sudah booking bidan setempat jadi rencana kita buat persalinan di rumah Insya Allah lancar. Aku juga udah pesan bak mandi khusus di internet biar bisa ala-ala waterbirth,” Nisha terkikik. 

Tiba-tiba telepon genggam Hans berdering, menampilkan foto Matteo.

“Ada apa dia menelepon malam-malam begini?”

Namun Hans tetap menerimanya.

“Halo?”

“Hans! Sobatku! Astaga... aku tak tahu apa yang terjadi tapi... aku sama sekali tidak menyangka! Ternyata... aku...” Matteo berbicara cepat sekali di ujung telepon.

“Matt, tenang sedikit... ada apa? Bicara yang jelas...”

“AKU POSITIF CORONA!”

Hans langsung terdiam. Bahkan Nisha bisa mendengar pernyataan itu saking kerasnya, padahal tidak di-loudspeaker.

“Apa?”

“Yah... kupikir aku invincible... kupikir corona itu tidak nyata... tapi...” Matteo mencoba berbicara dengan tegar meski terdengar shock. “Kupikir aku flu biasa, Hans! Tapi rasanya sesak... dan aku tidak bisa mencium bau apapun...” terdengar suara isakan tertahan. “Maafkan aku, Sobat. Seharusnya aku mendengarkanmu... ta... tapi... uh...” dia sedikit tercekat.

“Kamu dimana? Kamu dimana?!” Hans hampir berteriak, bahkan sampai membuat anak-anak menoleh penasaran dan Noah bergelung tak nyaman.

“Aku sedang diisolasi di rumah sakit. Aku tidak tahu apa akan sembuh tapi aku... aku menyesal, Hans... setelah sekian lama menghadiri berbagai pesta dan aman-aman saja, ternyata di satu pesta yang aku datangi beberapa hari lalu ada orang tanpa gejala, padahal tak ada yang pakai masker! Entah berapa yang kena... mungkin akan jadi cluster tersendiri...”

“Kan aku sudah bilang...” bahkan suara Hans terdengar bergetar. “Kamu tidak pernah mendengarkanku!”

“Maafkan aku, Hans, tapi... oh! Dokternya sudah datang. Kuhubungi lagi nanti!”

“Matt! Tunggu! Halo...?”

Tak seperti biasanya, kali ini Matteo yang memutuskan telepon. Hans membanting smartphone-nya di sofa dengan raut muka frustasi berat.

“Padahal aku sudah bilang...”

Nisha hanya bisa terdiam saat sang suami tampak tak berdaya. Namun kemudian ia berinisiatif memindahkan Noah ke karpet dan mengajak suaminya ke kamar.

“Aku tidak bisa menyelamatkannya, Nisha! Padahal dia sepupuku! Seharusnya aku berbuat lebih... seharusnya...”

“Hans, tenang, Sayang... mungkin Matteo bisa sembuh? Dia belum meninggal...” ucap Nisha sembari memeluk sang suami. “Ayo kita doakan yang terbaik...”

“Kenapa dia tidak mau mendengarkanku?” Hans masih meracau sedih. “Bagaimana kalau dia meninggal, Nisha? Bagaimana…”

“Ssshhhh...” Nisha menyetop kata-kata Hans. “Matteo kan kuat dan kamu juga tahu itu. Tenang, oke?”

“Tapi kenapa ini harus terjadi? Kenapa?” Hans masih terlihat sulit menerima kenyataan bahwa sepupu kesayangannya terjangkit Covid-19.

“Setidaknya keluarga kita alhamdulillah masih sehat-sehat saja, kamu masih punya kerjaan yang bisa dilakukan dari rumah, kita masih bisa makan... bukannya sudah cukup alasan untuk bersyukur hari ini?”

Hans tersenyum lemah, “Iya, ya...”

“Dan apapun yang akan terjadi, baik lockdown, ocehan orang, atau kerabat yang terinfeksi, kita sebagai keluarga akan menjalaninya dengan penuh kesabaran dan cinta, seperti yang selalu kita lakukan selama ini. Benar?”

Akhirnya senyum langka Hans terkembang, “Benar...”

Nisha balas tersenyum dan mereka pun berpelukan. Setelah beberapa saat, akhirnya Hans tampak rileks.

“Aku sangat beruntung memiliki istri sepertimu, Nisha. Kalau tidak, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku, menghadapi semua ini sendirian. Benar-benar tak terbayangkan. Terima kasih untuk segalanya.”

“Hans, aku…”

“Mama, makan malamnya mana? Laper nih!”

Pasangan suami-istri itu saling pandang dan menahan tawa. Tak lama kemudian lampu dapur pun menyala, diikuti aroma masakan kaya rempah yang menggugah selera, seperti yang selalu terjadi setiap harinya di rumah ini.

“Pernah kukatakan betapa aku mencintaimu?” celetuk Hans saat membantu sang istri memotong-motong wortel di dapur.

“Sepertinya sudah terlalu sering,” Nisha melempar senyum ke arahnya sambil tetap mengaduk bumbu nasi goreng yang sedang ia tumis.

“Aku mencintaimu.”

“Aku juga mencintaimu.”

Karena itulah fondasi keluarga mereka.

Love.

Penuh cinta meski dalam kondisi seperti apapun dan siap menghadapi apapun.

Selalu.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)