Masukan nama pengguna
Adinda meninggal tadi pagi.
Katanya bunuh diri akibat overdosis obat tidur. Sebagai salah satu teman kost yang tidak terlalu akrab, maka aku pun tidak mau ikut campur. Karena itu, aku menjalani hari-hari selanjutnya seperti biasa termasuk bekerja ke kantor layaknya sebelumnya.
Sampai aku menemukan catatan itu.
Padahal tadinya aku hanya iseng duduk-duduk di balkon. Mendadak ada tikus lewat di depan mataku jadi berusaha menghindar, tapi apesnya malah menabrak rak sepatu yang letaknya pas di sebelahku. Rak yang terbuat dari kayu itu jadi miring dan karena tepat di atasku ada kamera CCTV, maka aku bermaksud memperbaiki posisinya. Namun ternyata ada sesuatu yang mengganjal hingga rak itu tidak bisa kembali ke tempatnya semula.
"Apa ini?"
Ternyata ada segumpalan kertas disana yang sudah dilipat berkali-kali sehingga berbentuk segiempat putih tebal. Dari debu yang hanya sedikit menyelimutinya, sepertinya benda ini tidak lama berada di sini.
Aku melihat ada deretan tulisan rapi bertinta hitam di dalamnya jadi memutuskan untuk membukanya, hanya sekedar penasaran. Tak disangka...
Ketika mengalami KDRT, aku mencoba mencari pendamping dan muncullah nama "Woman Matters" di internet sebagai salah satu LSM pelindung perempuan di Jakarta. Jadi pada 6 Januari 2024, aku mengunjungi LSM ini dan tanpa dinyana, setelah sekian lama ditolak berbagai LBH dan LSM dalam berbagai kasus lain yang kuajukan, aku diterima pada kesempatan pertama. Aku diminta langsung melapor ke polisi dan saat itu pendampingnya bilang tidak bisa menemani karena sudah terlanjur booking tiket pesawat. Aku mencoba memaklumi.
Lalu pada visum, aku memberitahu "Woman Matters" tapi mereka tidak datang. Aku pikir karena agenda ini privat dan pribadi jadi mereka punya acara yang lebih penting.
Lalu saat pemeriksaan kedua oleh polisi, aku mencoba menghubungi "Woman Matters" agar bersedia hadir. Awalnya pada malam hari dia bilang akan diusahakan meski sibuk tapi paginya bilang tidak bisa karena ada meeting dadakan Aku sudah mencoba terus positive thinking termasuk di depan polisi bahwa mereka akan menyusul nanti dan aku juga bilang di chat bahwa aku minta salah satu dari mereka menyusul walau bukan si sibuk itu karena agenda pemeriksaannya kan lama. Tapi sampai pemeriksaan berakhir dari jam 9 pagi sampai jam 5 sore, sama sekali tidak ada orang "Woman Matters" yang hadir.
Disini aku mulai curiga apalagi dia bilang mendadak harus opname di rumah sakit karena suatu penyakit berat. Kok seperti dibuat-buat ya? Aku tanya di rumah sakit mana biar bisa kujenguk, dia malah menghindar. Lho, masa tidak boleh dijenguk? Bukan masa pandemi pula. Berarti ada sesuatu.
Lalu karena aku komplain, dia mengarahkan aku ke LBH "Metropolitan". Aku diterima oleh seorang lawyer. Awalnya kami berkonsultasi dan dia bilang kasusku bisa diterima, dan aku diminta datang minggu depan buat pendataan. Tapi ternyata saat aku datang, mendadak dia “keluar kota” tanpa pemberitahuan sama sekali. Aku jadi rugi biaya transportasi karena yang lain juga tak ada yang tahu kasusku. Buat yang punya penghasilan tetap mungkin belasan ribu tidak masalah, tapi buat anak kuliah sepertiku, itu cukup berharga karena bisa buat makan dan lainnya.
Aku mencoba memahami, mungkin dia dipanggil darurat untuk tugas penting atau yang lainnya. Tapi saat aku hubungi untuk follow-up kasusnya, ternyata aku di-ghosting. Dia online tapi tidak baca pesanku. Kalaupun lagi sibuk, bisa kan dia jawab, “maaf, sedang sibuk” atau yang lainnya. Tapi dia sama sekali tidak menganggap pesanku ada, seolah sama sekali tidak penting.
Apa memang ini taktik dari mereka berdua ya? Agar seolah-olah peduli pada korban tapi sebenarnya tidak? Berharap korban “mengerti sendiri” dan pergi? Setelah alasan “sibuk” dan “sakit” tidak mempan, lalu sekarang ghosting?
Untuk "Woman Matters", mungkin dia hanya mau duit donor dengan menggaet korban sebanyak-banyaknya. Tapi setelah korban minta layanan, ada saja alasannya, mulai dari kepentingan keluarga, sakit, sibuk, dll. Aku paham kenapa dia beralasan “penyakit berat” yaitu karena pemulihannya lama jadi dia harap aku mengerti kalau tidak bisa didampingi seterusnya. Kalau aku minta ganti pendamping, dia akan beralasan “kekurangan orang”.
Padahal mungkin dia dibayar dari semua korban itu tapi dia tidak mau repot. Mungkin cara ini berhasil untuk sekian banyak korban tapi tidak dengan aku. Karena aku terus menuntut, maka dia minta temannya dari LBH buat bantu meyakinkanku, seolah-olah mereka bisa merujuk pada seorang pendamping.
Okelah, pada pertemuan pertama, dia masih mau menemuiku. Tapi pada pertemuan kedua mulai menghilang lalu berujung pada ghosting.
Tidak sopan sekali, sudah bikin janji lalu pergi begitu saja. Apalagi sampai menghabiskan uang transportasi sia-sia yang bisa saja aku manfaatkan untuk hal lain yang lebih penting. Pesanku juga cuman di-read, tidak minta maaf atau menjelaskan kenapa dia harus pergi mendadak. Mungkin dia pikir “yang butuh kan Anda, bukan saya, jadi suka-suka sayalah memperlakukan Anda kayak apa. Gratisan kan?”
Aku malu sekali di hadapan polisi karena sudah koar-koar didampingi LSM tapi ternyata kemana-mana sendirian. Aku pikir akhirnya ada yang care juga, tapi ternyata begini lagi. Di-ghosting, diperlakukan semena-mena, semua hanya karena I am nobody....
Karena itu, aku bermaksud mengkonsultasikan kasus ini ke temanku yang bekerja di BIN...
Adinda Maharani
Tunggu, ini kan Adinda yang baru meninggal itu? Apa ini? Dia bermaksud melaporkan sesuatu ke "Badan Intelijen Nasional" lalu mendadak meninggal?
Keanehan macam apa ini?
Tapi...
Catatan ini seperti disobek dari sebuah buku harian. Terlihat dari bunga-bunga yang menghiasi seluruh permukaan kertas. Apa seseorang bermaksud melenyapkan catatan di buku harian ini?
Ini agak berbahaya, tapi aku harus menemukan buku harian Adinda. Setidaknya sebagai sesama manusia dan apalagi sama-sama hidup di Indonesia, sudah selayaknya saling membantu satu sama lain.
Baik, pertama, tanya ibu kost dulu.
Aku pun mengantongi catatan itu dan berjalan ke arah ruang keluarga dimana biasanya ibu kost dan anak-anak lainnya berkumpul dan berbincang satu sama lain.
Benar juga.
Tampak ibu kost berada di sana bersama beberapa temanku yang lain.
"Malam, Bu, lagi apa?" aku mulai berbasa-basi sambil duduk di samping perempuan setengah baya itu.
"Ah, ini… mengupas kentang, persiapan untuk memasak sambal goreng besok," jawab sang ibu kost ala kadarnya. Di pangkuannya memang ada sebuah wadah besar dimana terdapat banyak kentang yang belum dikupas kulitnya.
"Bu, saya tadi lewat di depan kamar almarhumah Adinda..." aku memulai. "Apa sudah siap buat disewakan lagi? Ada teman saya yang nanyain..."
"Belum. Masih ada banyak barang milik almarhumah di dalam," jawabnya cuek bahkan tanpa mendongak.
"Kalau teman saya mau lihat boleh, nggak?"
"Boleh saja. Mungkin sebentar lagi keluarganya akan menjemput semuanya. Sepertinya masih sibuk dengan pemakaman dan yang lainnya. Setelah kamarnya kosong, nanti beres-beres sebentar, almarhumah kan orangnya rapi dan bersih..."
"Teman saya kan orangnya sibuk, Bu. Boleh nggak saya fotoin kondisi kamarnya biar dia bisa lihat sekilas sebelum datang ke sini?" tanyaku dengan jantung sedikit berdegup kencang.
"Boleh. Kan pintunya tidak dikunci...."
Mendengar hal itu, darahku berdesir. Semuanya begitu mudah, seolah ini adalah takdir.
"Oke, makasih, Bu. Saya ke sana sekarang, ya, buat fotoin..." pamitku, khawatir terlihat di CCTV.
"Ya..."
Bersenjatakan ponsel ditangan, dalam tiga menit aku memasuki kamar kost Adinda yang memang dekat sekali lokasinya dari ruang keluarga. Seperti yang ibu kost tadi bilang, kamar Adinda sangat terawat. Semua barang terlihat diletakkan secara teratur dan tidak ada sampah sama sekali.
Setelah memotret berkali-kali agar ada alibi, aku bergegas mencari buku harian Adinda. Pertama aku mencoba rak serbaguna dimana terlihat ada banyak buku yang disusun sesuai abjad. Tapi sayangnya tidak nampak buku harian dimanapun.
Apa mungkin siapapun yang merobek halaman ini sudah membuang buku hariannya?
"Kalau aku jadi Adinda, dimana buku harian itu aku sembunyikan?"
Aku memandangi seisi kamar dan memposisikan diriku sebagai seorang perempuan muda berusia 20 tahunan yang mencoba menyembunyikan catatan rahasianya.
Berdasarkan analisis amatir dari sini, lantas aku mengecek bagian bawah tempat tidur, sayangnya kosong. Bagian belakang lemari pakaian dan meja rias juga nihil.
"Apa buku harian itu benar-benar ada?"
Tiba-tiba aku menyadari bahwa kipas angin Adinda tidak simetris, seperti ada yang mengganjal di bagian bawahnya. Saat diperiksa, kipas itu ditopang oleh sebuah kalender meja yang dilipat. Tapi tepat dibawahnya... ada buku harian!
Tak menyangka bahwa akan ditemukan semudah ini, aku menyambar buku harian Adinda dan menemukan bahwa itu sayangnya... dikunci.
Ada gemboknya seperti buku harian remaja pada umumnya. Sayang sekali. Aku bukan tukang kunci jadi memutuskan untuk membawanya ke kamarku agar bisa diotak-atik. Supaya tidak mencurigakan, kusembunyikan buku harian itu dibalik bajuku.
Sesampainya di kamar, aku mencari gunting besarku dan setelah berkutat selama lima menit, akhirnya berhasil juga menjebol gembok mini buku harian Adinda.
Benar, kertas dalam buku harian ini sama dengan kertas dari catatan yang kutemukan.
Karena perbandingannya cocok, lalu aku mencari dimana kira-kira entri yang disobek ini tadinya berada. Hanya butuh satu menit untuk mengetahuinya.
Entri itu ternyata berada di paling akhir, berarti Adinda menuliskannya sesaat sebelum dia meninggal.
Apa yang harus kulakukan selanjutnya? Menelepon polisi? Kudengar keluarga Adinda menolak autopsi dan mengikhlaskan semuanya sebagai takdir Ilahi.
Tapi akankah aku diam saja? Mungkin saja kan ini adalah pembunuhan dimana Adinda sengaja dicekoki obat tidur oleh siapapun entah dari oknum LBH atau LSM yang tadi dia sebutkan.
Haruskan aku yang perempuan biasa ini terlibat?
Ah, entahlah...
Hidup sendiri saja sudah berat, apalagi harus terlibat dengan urusan orang lain yang bisa jadi mengancam keselamatanku juga.
Aku pun menyembunyikan buku harian itu dibalik bantal sebelum benar-benar memutuskan semuanya.
Sepertinya perlu banyak berpikir, sebelum akhirnya bisa sampai pada suatu keputusan yang tepat...
***
Beberapa waktu berlalu dan aku masih berusaha memecahkan misteri kematian Adinda dengan itikad baik agar pelakunya tidak bebas berkeliaran di luaran sana. Itupun jika benar memang ini adalah suatu kasus pembunuhan.
Untuk itu, aku harus mendapatkan informasi tentang kekerasan yang menimpa Adinda. Anak kuliahan seperti dia mendapatkan kekerasan dari siapa sampai melapor ke polisi segala?
Karena bukan wartawan, pejabat, atau siapapun yang berwenang, maka akan mencurigakan jika langsung bertanya ke pihak kepolisian jadi aku memutuskan untuk nongkrong lagi di ruang keluarga untuk mengorek hal itu lebih lanjut.
“Serem juga, ya, Mbak, kasusnya di Adinda…” aku mulai menyeletuk pada seorang perempuan muda yang duduk di sebelahku. Kami sedang bersama-sama bersantai di sofa depan TV. Katanya gadis cantik berkulit putih ini bekerja sebagai seorang dokter di sebuah rumah sakit pemerintah dekat sini.
“Iya, dia sampai bunuh diri begitu,” timpal si Mbak yang aku lupa siapa namanya.
“Apa dia punya masalah? Utang-piutang atau KDRT?” aku mulai masuk pada bagian yang menegangkan.
Si mbak dokter tersenyum, “KDRT? Adinda belum nikah, Buk!”
“Mungkin pacarnya agresif?” aku mencoba mencari kemungkinan.
“Adinda kan alim banget, pakai hijab. Masa sih dia pacaran sembarangan begitu?”
“Kalau orangtuanya? Mungkin agak keras,” aku masih mencoba mengulik lebih jauh.
“Kurang tahu, ya. Aku belum pernah ketemu dengan keluarganya.”
Oke, topik ini kali ini kututup dulu agar tidak mencurigakan. Aku beralih pada topik lain seperti gosip artis dan yang sebangsanya.
Malamnya, aku mencari akun sosial media Adinda dari ponselku. Untungnya bisa ketemu dua akun FB dan IG yang penuh berisi foto Adinda, tidak dikunci pula. Aku mulai mengecek postingan-nya satu-satu, siapa tahu si agen BIN itu ada di sana baik secara tersirat atau tersurat.
Tapi kendalanya, Adinda sangat rajin update sosial medianya. Perlu waktu lama untuk mengecek semuanya yang berjumlah ribuan yang di-posting selama bertahun-tahun.
Karena itu, pekerjaan ini aku cicil selama beberapa hari supaya kegiatan sehari-hariku tidak keteteran. Setelah mencari selama hampir seminggu, akhirnya ketemu postingan saat dia masih SMA dimana ia berfoto dengan seorang pemuda dengan latar belakang sebuah sekolah negeri. Dalam caption-nya tertulis bahwa si pemuda “ingin menjadi the next James Bond”.
Sayang pemuda ini tidak di-tag jadi aku harus mencari wajahnya di mesin pencari.
Ketemu, namanya Bagus Adiguna Wijayakusuma.
Dia lebih tua dua tahun dari Adinda dan sempat satu SMA dulu di suatu kabupaten di Jawa Barat. Anehnya, dia hanya punya satu akun FB saja yang dibuat sewaktu SMA yang hanya menyisakan sebuah foto, nyaris tanpa informasi atau postingan lainnya. Tidak ada data apapun lagi di internet, seolah pemuda ini telah menghilang dari muka bumi.
Apa dia benar-benar telah menjadi agen rahasia seperti impiannya saat masih SMA? Tapi bagaimana caranya agar bisa menghubungi Bagus? Aneh tidak jika langsung menghubungi BIN dan minta disambungkan dengan agen Bagus, itu pun kalau dia ada di sana?
“Apa mungkin aku harus lihat daftar kontak milik Adinda? Tapi bagaimana caranya? Aku kan bukan hacker…”
Mendadak aku ingat bahwa sosial media punya fitur perpesanan. Bisa jadi Adinda menghubungi Bagus lewat situ. Tapi bagaimana agar bisa melihat pesan Adinda? Satu-satunya jalan adalah membobol akun-akunnya padahal aku bahkan tidak tahu apa emailnya.
Sebentar….
Bukankah ibu kost bilang bahwa barang-barang Adinda masih ada di kamar? Apa mungkin laptopnya juga masih di sana? Bisa jadi dia masih login kalau malas membersihkan histori internetnya…
Tapi kan ada kamera CCTV… Masuk lagi ke kamar Adinda dan bawa laptop bisa bawa masalah besar buatku. Harus bagaimana?
Setelah berpikir keras, akhirnya aku memberanikan diri untuk menjalankan suatu rencana.
“Permisi, Bu,” lagi-lagi aku menghampiri ibu kost yang sedang memasak di dapur. “Kemarin waktu fotoin kamar Adinda buat teman, anting saya sepertinya jatuh. Boleh tidak saya minta izin buat mencari anting itu sebentar di sana?”
Ibu kost memandangku agak curiga, tapi kemudian mengangguk, “Boleh, tapi jangan lama-lama.”
Aku mengangguk dan bergegas ke kamar Adinda untuk melakukan misi selanjutnya.
Sesuai dugaanku, laptop milik Adinda masih ada di kamar. Aku pun segera menyalakannya, berdoa sepenuh hati agar dia tidak pasang password.
Yes!
Ternyata Adinda percaya penuh pada lingkungan di sekitarnya jadi tidak ada password apapun. Baterainya juga masih banyak jadi aman untuk beberapa jam ke depan.
Aku segera menyambungkan laptop itu ke WiFi dari ponselku agar tidak ketahuan bahwa laptop Adinda sedang menyala. Lantas kubuka aplikasi browser dan mencoba melihat historinya.
Sesuai dugaanku, Adinda bukan orang yang suka menyembunyikan sesuatu. Historinya masih lengkap. Bahkan saat aku buka emailnya, semuanya masih login termasuk akun-akun sosial medianya.
Kasus ini terlalu mudah, tidak sesulit dalam novel "Hercule Poirot" atau semacamnya.
Aku mengecek direct message IG Adinda dan juga yang serupa di FB tapi tidak ada isi yang mencurigakan untuk beberapa hari yang lalu.
Apa dia sudah menghubungi temannya yang agen BIN itu? Apa dia benar-benar Bagus Adiguna Wijayakusuma?
Tapi nihil.
Tidak ada apapun di laptop Adinda.
Ternyata aku salah. Kasus ini tidak semudah dugaanku meski Adinda adalah orang yang mudah percaya pada siapapun.
Tunggu, mudah percaya pada siapapun?
Apa mungkin Adinda diracuni oleh seseorang yang dipercayainya lalu dianggap sebagai bunuh diri?
Oh, agen BIN, siapa dirimu?
Mungkin kau tahu sedikit kebenaran dibalik kasus ini…
“Sudah selesai, Nduk? Tolong tutup lagi pintunya, ya.”
Aku tersentak mendengar seruan ibu kost-ku dan segera mematikan laptop Adinda. Untung saja tidak dicek sampai ke sini, bisa berabe jadinya.
Aku pun kembali ke kamar, berpikir kembali tentang kasus ini.
Mungkinkah aku salah mengedepankan hati nuraniku seperti ini? Sifat orang Indonesia yang suka membantu memang bagus tapi apa itu juga bisa dijadikan pembenaran untuk menyelidiki sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan? Bagaimana kalau benar-benar tidak ada apa-apa dalam kasus kematian Adinda dan dia memang murni bunuh diri? Apa semua ini hanya halusinasiku saja? Keluarganya saja sudah menerima semuanya dengan lapang dada, toh?
Malam itu, aku tertidur dengan sejuta pertanyaan di dalam benakku. Namun aku sudah bertekad bahwa apapun yang terjadi, aku akan temukan siapa agen yang dimaksud Adinda itu, setidaknya untuk sedikit memperjelas kasus ini. Kalau bukan sekarang, mungkin nanti.
***
Sudah sebulan berlalu dan aku belum bisa melepaskan kasus ini dari pikiranku. Buku harian Adinda dan nama terduga agen BIN yang dia hubungi juga masih ada baik di kamarku maupun di memoriku.
“Apa sebaiknya aku lupakan saja dan jalani saja hidupku seperti sebelumnya?”
Kamar Adinda juga sudah bersih dan ditempati orang lain. Tidak ada barang tersisa yang bisa aku selidiki. Apa lagi yang bisa dilakukan perempuan normal sepertiku?
“Ya, sudahlah…”
Hari ini aku berjalan di sebuah mall sambil berusaha melupakan semua yang telah terjadi.
Saat sedang menyeruput es buah di sebuah restoran kekinian, tiba-tiba seorang pemuda tambun berkacamata duduk di kursi depanku, padahal masih banyak tempat kosong lainnya.
“Kamu temannya Adinda, ya?”
“Hah?” aku hampir saja tersedak es yang sedang coba kutelan.
“Aku ini Bagus Adiguna Wijayakusuma yang sedang kamu cari-cari.”
Aku tersentak kaget. Bagaimana dia bisa tahu bahwa aku tengah menelusuri segala sesuatu tentangnya? Sehebat itukah seorang agen BIN?
“Jangan panik. Aku tidak bermaksud jahat. Aku mengerti apa yang kamu coba lakukan.”
Aku mencoba untuk tidak berpikir macam-macam. Dia semakin mendekatiku. Aku mulai berpikir bahwa dia akan mengeluarkan pistol atau semacamnya.
Untunglah tidak.
“Kami mendeteksi bulan lalu ada yang berusaha membuka laptop Adinda dan menyambungkannya ke WiFi.”
“Oke…” aku mulai panik.
“Ahli IT kami menemukan bahwa itu adalah kamu. Kami berusaha mencari tahu dan sampai pada kesimpulan bahwa kamu berusaha memecahkan siapa dibalik kematian Adinda. Apa benar?”
“Ya…” aku hanya bisa mendesis.
“Kami sangat berterimakasih tapi tidak perlu sampai bertindak seperti itu. Jangan khawatir, kami akan turun tangan. Adinda berhasil menghubungiku, dan kami menyikapi laporannya dengan sangat serius. Kami tahu kematiannya agak ganjil. Tapi warga sipil seperti kamu tidak seharusnya terlibat. Bisa tolong kembalikan buku harian Adinda?”
“Saya tidak membawanya sekarang.”
“Baik, bisa tolong bawa buku itu beserta catatannya ke alamat ini besok jam tiga sore? Kami akan ganti ongkos transportasi kamu.”
Bagus menyerahkan secarik kertas lalu berlalu begitu saja. Aku mengamati dari belakang bahwa kupingnya berbentuk unik dan segera mengambil dua foto Bagus yang kutahu, dari akun Adinda dan foto FB SMA-nya.
Aneh.
Foto kuping Bagus disitu sama sekali tidak mirip. Wajahnya juga kurang sama meski bertahun-tahun telah berlalu dan tubuhnya jadi lebih gempal. Apa mungkin ini adalah Bagus Adiguna Wijayakusuma yang diduga sebagai agen BIN? Lalu kalau bukan, bagaimana dia bisa tahu tentang penyelidikan yang kulakukan?
Aku pun pulang dengan pertanyaan-pertanyaan lain di kepalaku tapi cukup ragu untuk percaya begitu saja pada orang asing ini. Apa ini saatnya menghubungi BIN yang sebenarnya atau telepon polisi?
***
Setelah berpikir panjang, aku memutuskan untuk tidak datang dan membawa buku harian Adinda secara tersembunyi di tasku kemanapun aku pergi. Tahu bahwa ini sudah diluar kemampuanku, pulang kerja aku berniat langsung lapor polisi.
Sayangnya aku kurang enak badan hari ini. Aku hanya makan roti yang kubeli kemarin jadi tidak tahu kenapa bisa jadi seperti ini secara aku sudah sering makan roti dengan merk yang sama.
Karena itu aku pulang lebih awal dari kantor dan membatalkan niatku untuk lapor polisi, ingin langsung tidur saja.
Kondisi kost sepi saat aku datang. Meski tidak mengendap-endap, aku tahu ada yang salah saat melihat pintu kamar kost-ku terbuka lebar dari jauh.
Siapa itu?
“Ternyata kamu di sini…”
Aku terkesiap dan melihat ibu kost tersenyum padaku dengan tidak wajar.
“Ibu?”
“Saya tahu apa yang kamu lakukan di kamar Adinda! Kamu pikir saya tidak ngintip? Jangan sok jadi pahlawan kesiangan!” bentak sang ibu kost, dan aku tambah kaget saat melihat sebuah pisau sudah muncul di tangannya.
“Bu, ada apa? Saya sudah kost di sini sejak tahun lalu!”
“Tapi kamu berusaha mencampuri yang bukan urusan kamu! Mana buku harian Adinda?”
Tanpa sepengetahuannya, aku mengaktifkan recorder di ponselku.
“Apa ibu yang membunuh Adinda?”
“Untuk apa?” ibu kost-ku tertawa seperti seorang maniak. “Saya tidak ada urusan dengan dia! Saya hanya diberi uang untuk tutup mulut!”
“Saya yang ada urusan dengan dia, lebih tepatnya, kami berdua.”
Aku kaget saat melihat dua orang wanita di belakangku yang sama sekali tidak aku kenal. Mereka berdua memakai make-up tebal dengan tas branded dan pakaian rancangan desainer. Perhiasan menghiasi tubuh mereka hampir seperti toko emas berjalan.
“Kami dari LSM dan LBH yang disebutkan Adinda. Dia benar, kami terlalu malas untuk melayani orang-orang lemah tak berguna itu jadi hanya mendata mereka tanpa melakukan apapun. Kami hanya ingin uang dari donor yang sangat banyak itu. Bayangkan, seharian cuma nongkrong dan main game tapi sudah bisa dapat ratusan juta rupiah! Kerja dimana yang bisa dapat gaji segitu? Kami bisa mendapatkan kehidupan terbaik! Anak-anak kami sekolah di tempat yang tidak bisa kami bayangkan sebelumnya! Makan enak setiap hari, beli mobil baru setiap bulan, liburan mewah tiap beberapa waktu sekali… dan Adinda mau merusak semuanya!” sentak seorang perempuan yang bibirnya tebal dengan proporsi yang kurang normal.
“Kami menyewa hacker dan meretas ponselmu untuk melihat apa yang kamu lakukan. Bagus Adiguna Wijayakusuma? Hahaha… analisis bodoh macam apa itu?” tawa bengis perempuan yang satu lagi, yang memiliki bulu mata super panjang dan alas bedak yang terlalu putih sampai terlihat seperti hantu. “Adinda tidak punya waktu untuk menghubungi siapapun karena kami sudah terlanjur meracuninya! Dan sekarang kamu juga akan bernasib sama dengan dia! Matilah seperti Adinda! Enak saja mau merusak hidup bahagia keluarga kami!”
Aku berusaha lari tapi mereka telah mengepungku. Kang parkir kost-an malah menangkapku dan menahan tubuhku.
“Adinda kami suntik sampai overdosis, tapi kamu kami apakan, ya?”
“Jangan, tolong! Saya cuma kasihan…” mohonku.
“Tepo seliro itu bagus tapi ada waktunya!”
“Apa kamu tidak kasihan dengan anak-anak kami? Bagaimana kualitas hidup keluarga kami nanti jika tidak ada lagi daging dan sekolah internasional?”
“Kan ada kerjaan halal…”
Salah satu dari wanita itu menamparku.
“Sok suci! Bunuh dia!”
“Tunggu!”
“Dia berontak!” keluh Kang Parkir.
“Seharusnya dia sudah teler karena kemarin malam rotinya saya racuni!” seru ibu kost.
“Ap…”
“Bunuh!”
“Tidak!”
Tapi mataku mendadak kabur dan semuanya jadi gelap sampai…
“Mbak?”
Aku tersentak dan membuka mataku, mendapati bahwa diriku masih di ruang keluarga bersama mbak-mbak sesama penghuni kost yang dulu katanya berprofesi sebagai dokter.
“Ada apa? Kok kaget begitu? Mimpi buruk, ya? Mbak tadi ketiduran waktu filmnya baru mulai. Bagus, lho, tentang mata-mata…”
Aku hanya bisa menatap sang dokter cantik tanpa berkedip, sedang menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi. Dia hanya tersenyum meski aku jadi paranoid setelah apa yang kulihat barusan.
“Oh ya, saya sedang bagi-bagi vitamin gratis tadi ke anak-anak kost. Mbak mau?”
Di saat yang bersamaan, ibu kost-ku masuk dan aku segera berdiri seakan trauma.
“Mbak? Kenapa? Mau kemana?”
Aku berusaha tidak membayangkan senyuman sinis atau kilatan pisau saat melihat ke arah perempuan kurus yang tubuhnya terbalut daster itu.
“Saya mau tidur dulu!”
“Mau vitamin?”
“Tidak!”
Aku bergegas lari dan mengunci kamarku.
Apa semua ini hanya mimpi?
Kubuka tasku untuk mencari buku harian Adinda yang selalu kubawa dalam beberapa hari ini.
“Kemana buku harian itu?”
Aku mencari kemana-mana tapi tidak ketemu, lalu duduk lemas di atas ranjang.
Apa mereka sudah menemukan buku harian Adinda?
Atau sebenarnya tidak ada misteri apapun? Bagaimana kalau semua itu hanya halusinasiku saja akibat kecapekan pulang kerja dan langsung nonton film aksi?
Sepertinya aku perlu tidur sejenak sebelum semuanya menjadi lebih buruk…