Cerpen
Disukai
2
Dilihat
1,401
Me VS The Rich Kid
Religi

Zahira dan Vania. Siapa yang tidak mengenal kedua nama itu di SMA Jaya Bakti? Keduanya adalah siswa kelas dua belas yang bisa dibilang merupakan yang terpandai di sekolah. Nilai keduanya selalu bergantian menjadi yang terbaik di setiap semester dan setiap kali ikut lomba, mereka tak pernah absen membawa pulang piala. Semua orang di sekolah mulai dari guru, siswa, sampai tukang parkir mengagumi kepandaian mereka.

Zahira adalah seorang gadis berjilbab dari keluarga sederhana. Ayahnya hanya seorang tukang becak, namun karena kepandaiannya, dari SD sampai SMA, ia selalu mendapat beasiswa. Di sela-sela waktu luangnya, Zahira menyempatkan diri untuk mengaji di masjid dekat rumah dan ikut berkontribusi menyumbangkan tulisannya untuk buletin dakwah yang rutin dibagikan tiap Jumat pada jamaah masjid tersebut.

Lain halnya dengan Zahira, Vania adalah seorang gadis yang kaya-raya. Ayahnya adalah seorang pengusaha sukses yang terpandang. Kemana-mana ia selalu diantar mobil mewah keluaran terbaru, bahkan setelah usianya genap mencapai tujuh belas tahun, ia menyetir mobil sendiri ke sekolah. Sepulang sekolah, ia disibukkan dengan beragam kursus dan kegiatan untuk mengembangkan bakatnya. Ia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara yang mana semua kakaknya sudah melanjutkan pendidikan di luar negeri.

Kehidupan Zahira dan Vania memang sangat berbeda, namun tidak menghalangi mereka untuk berteman, apalagi mereka masuk kelas unggulan yang sama di sekolah. Persaingan mereka adalah persaingan yang sehat, bahkan mereka saling menyemangati satu sama lain. Termasuk ketika keduanya sama-sama mengikuti seleksi untuk mendapatkan beasiswa untuk kuliah ke luar negeri yang biaya hidup dan akomodasinya sepenuhnya ditanggung oleh penyelenggara.

Zahira tidak mengerti kenapa Vania yang jelas-jelas mampu membiayai dirinya sendiri untuk kuliah ke luar negeri masih saja ingin mendapat beasiswa, namun tidak ada batasan khusus untuk mengikuti program tersebut terkait dengan jumlah kekayaan, sehingga siapapun bisa mendaftar asalkan memenuhi syarat yang lain.

Zahira sangat berharap dirinya yang lolos dalam seleksi beasiswa ini agar bisa mewujudkan impiannya untuk kuliah ke luar negeri sekaligus membanggakan orangtuanya. Ia yakin bisa lolos berbekal nilai rapor yang nyaris sempurna dan belasan piagam penghargaan yang sudah diterimanya.

Karenanya, ketika Pak Ibnu memasuki kelasnya hari itu untuk mengumumkan perkembangan terbaru soal beasiswa tersebut, Zahira merasakan sesuatu membuncah di dadanya. Ia yakin hari ini adalah hari diumumkannya daftar penerima beasiswa yang lolos karena menurut informasi dari sang penyelenggara, seharusnya bulan ini nama-nama tersebut sudah keluar.

“Bapak punya kabar gembira hari ini,” kata Pak Ibnu. “Hasil seleksi penerima beasiswa untuk kuliah ke luar negeri sudah keluar dan salah satu peserta dari sekolah kita ada yang lolos!”

Seisi kelas langsung gaduh mendengar pengumuman ini, sementara jantung Zahira berdetak kencang.

Diakah orangnya?

Pasti dia, kan?

Ia tidak melihat ada siswa satu angkatannya yang lebih pandai darinya di sekolah ini selain Vania, tapi dia lebih rajin berdoa, lebih alim, dan lebih banyak memiliki piagam penghargaan.

Bayangan suasana luar negeri tiba-tiba saja sudah memenuhi benak Zahira, lengkap dengan background musim dingin yang bersalju dan orang-orang berambut pirang yang berseliweran di kanan-kirinya. Gambaran itulah yang selama dua bulan belakangan ini sering dikhayalkannya seiring dengan makin rajinnya ia mengunduh gambar-gambar dan video-video dari internet untuk memuaskan imajinasinya mengenai kehidupan pelajar di luar negeri. Rasanya hal itu sudah hampir pasti berada di genggamannya. Ia akan kuliah di luar negeri, pada akhirnya...

“Vania, selamat, kamu satu-satunya wakil dari sekolah kita yang lolos dalam seleksi beasiswa ini.”


*******


“Ra, Ani datang menjemput kamu untuk sama-sama berangkat ke pengajian di masjid,” Bu Sumi, ibu Zahira, berkata dari balik pintu kamar. Zahira yang sedang tiduran di kasur kapuknya yang berada di lantai menggeleng.

“Aku nggak mau datang, Bu.”

“Lho, kenapa? Kamu sakit?” Bu Sumi kaget dan menghampiri Zahira, lalu mengecek dahinya. “Nggak panas, kok... tapi kok tumben nggak mau datang ke pengajian. Biasanya kamu yang paling semangat.”

“Buat apa lagi ngaji? Allah nggak sayang lagi sama aku,” ucap Zahira lirih. Bu Sumi memegang dadanya dengan shock.

“Astaghfirullah, jangan bilang begitu, Nak! Nanti kamu kualat!” tegur Bu Sumi. “Kenapa sih kok tiba-tiba kamu jadi begini? Kesurupan dari mana?”

“Habis Allah nggak mengabulkan doaku. Tiap hari aku berdoa biar bisa dapat beasiswa untuk kuliah ke luar negeri. Aku juga sudah berikhtiar dengan sangat keras. Uang tabungan dari hasil menang lomba hampir semuanya sudah kupakai untuk biaya pemberkasan pendaftaran, tapi ternyata yang dapat beasiswa bukan aku, tapi Vania,” airmata Zahira mulai menggenang di sudut matanya, kemudian menetes. “Padahal Vania kan anak orang kaya. Dia nggak butuh beasiswa ini! Tanpa beasiswa ini pun dia bisa kuliah ke luar negeri! Tapi aku...? Aku sangat butuh beasiswa ini! Mengandalkan penghasilan Bapak dari narik becak jelas nggak mungkin. Tapi ternyata aku yang sangat butuh ini justru nggak lolos! Padahal apa kekuranganku? Aku sama, bahkan lebih pandai dari Vania! Aku yang justru lebih banyak mengabdi pada Allah! Aku yang ngaji waktu Vania pergi les piano! Aku yang nulis buletin dakwah waktu Vania asyik hangout di mall! Aku yang sholat tahajjud waktu Vania pergi ke diskotik! Tapi kenapa aku yang gagal? Kenapa justru Vania yang diloloskan oleh Allah sementara aku yang sudah berbuat banyak untuk Dia malah gagal? Dimana adilnya ini? Dimana?” Zahira mengakhiri dengan tangisan. Bu Sumi tidak bisa berkata apa-apa, hanya terhenyak, lalu berlalu. Zahira terus menangis.

Kenapa, Ya Allah, kenapa?


*******


Sebulan setelah hasil dari ujian nasional diumumkan, SMA Jaya Bhakti mengadakan syukuran sekaligus pelepasan Vania yang hendak berangkat untuk kuliah ke luar negeri. Zahira, yang sebenarnya masih kecewa akan ketidaklolosannya dalam aplikasi beasiswa tersebut, terpaksa datang karena akan kelihatan aneh jika ia tidak hadir. Ia berada di baris paling belakang, mencibir iri saat Vania dielu-elukan oleh para siswa sekaligus disalami dengan bangga oleh para guru.

Padahal dirinyalah yang meraih nilai tertinggi di sekolah pada saat ujian nasional, tapi keberadaannya seolah tidak dianggap lagi seiring dengan kesuksesan Vania.

Orangtua Vania juga hadir, kelihatan necis dengan jas dan gaun mewah rancangan para desainer dan dikawal oleh beberapa bodyguard. Mereka membawa limusin ke acara itu, seakan ingin pamer akan kehebatan keluarga mereka. Orangtua kaya, otak cerdas, wajah cantik, dan nasib yang beruntung. Apa lagi yang kurang dari Vania?

Tidak ada, batin Zahira getir.

Bandingkan dengan dirinya yang berwajah biasa saja, memiliki keluarga yang serba kekurangan, dan juga tidak beruntung. Padahal ia yang selama ini selalu sholat dengan rajin, mengaji dengan tekun, dan berusaha memakmurkan masjid.

Tidak adil, ucap hati kecil Zahira tanpa bisa ditahan. Ini sangat tidak adil!

Ketika Vania menyampaikan pidato di atas podium dengan memakai gaun indah berwarna pink, Zahira, yang hanya memakai pakaian muslim berwarna hijau yang dibelinya tiga tahun lalu, merasakan sesak di dadanya. Ia tidak suka senyum bahagia Vania, atau pidato pintarnya, atau gaun indahnya, atau kulit putih bersihnya, atau segalanya dari gadis yang terlalu beruntung itu!

Saat semua orang bertepuk tangan, ketidaksukaan itu makin membuncah saja.

Tidak adil, hati kecil Zahira kembali mengulangi. Tidak adil. Tidak adil. Tidak adil. Tidak adil. Tidak adil. Tidak adil. Tidak adil.

Akhirnya, tidak tahan lagi, ia keluar dari aula sekolah dengan airmata yang mengalir deras dari kedua matanya.

Ini tidak adil, Ya Allah!


*******


Saat Zahira membuka jejaring sosial beberapa minggu kemudian, ternyata sedang ramai perbincangan di antara para kawannya bahwa Vania akan berangkat untuk kuliah ke luar negeri hari itu. Mereka menunjukkan foto-foto Vania di bandara. Seperti biasa Vania mengenakan pakaian modis yang kali ini ditambah dengan kacamata hitam. Beberapa koper besar yang dimuat di dalam troli ada di sebelahnya.

Teman-temannya mengomentari keberangkatan Vania dengan gembira sambil mengucapkan selamat. Dada Zahira kembali sesak dan airmatanya mengucur.

Ini tidak adil! Tidak adil! Tidak adil! Tidak adil! Tidak adil! Tidak adil! Tidak adil! hatinya kembali menjerit pilu.

Zahira benar-benar terpuruk sekarang, bahkan ketika adzan Ashar berkumandang, ia tidak mempedulikannya meskipun dulu biasanya akan segera berwudhu.

Tok... tok... tok...

Suara ketukan pelan membuyarkan pikirannya. Dengan enggan, Zahira membuka pintu.

Ceklek!

“Ustadzah Fatimah?”

Seorang perempuan muda berjilbab panjang tersenyum pada Zahira dari depan pintu kamarnya. Zahira sangat terkejut dan buru-buru merapikan penampilannya.

“Saya boleh masuk?” ia bertanya dengan sopan.

“Boleh, silakan,” Zahira meminggirkan badannya, namun beberapa saat kemudian merasa malu karena kondisi kamarnya yang berantakan, seperti suasana hatinya. “Maaf kamarnya berantakan, Ustadzah.”

“Tidak apa-apa,” jawab Ustadzah Fatimah ringan.

“Si... silakan duduk di sini,” Zahira segera membersihkan kasurnya dan menunjuk tempat di atas kasur. “Soalnya lantainya belum disapu.”

Ustadzah Fatimah duduk di tempat yang ditunjuk Zahira, sementara gadis itu menutup pintu kamar dan duduk di sebelahnya.

“Jadi ada apa sampai Ustadzah Fatimah datang ke sini?” tanya Zahira membuka percakapan. “Bukannya Ustadzah sibuk mengajar anak-anak baca Al-Quran di masjid?”

“Saya kangen sama kamu,” sahut Ustadzah Fatimah.

“Sudah tiga bulan kamu tidak datang ke masjid. Sudah tiga bulan juga buletin kita kehilangan kontributor terbaiknya.”

Zahira menunduk malu.

Karena kecewa dengan kegagalannya, ia jadi enggan pergi ke masjid. Entah sudah berapa kali ia menolak tawaran Ani, tetangganya, untuk mengaji atau menulis artikel di buletin dakwah.

“Ada apa, Ra? Ibumu juga lapor ke saya kalau sholatmu sekarang jadi bolong-bolong. Kok bisa begitu? Padahal kamu sudah akan saya jadikan calon Ustadzah berikutnya,” canda Ustadzah Fatimah sambil menepuk pundaknya.

“Sebenarnya begini, Ustadzah...” Zahira pun mulai menceritakan permasalahannya dengan lengkap. Ustadzah Fatimah tidak menyela sampai cerita Zahira selesai, hanya mengangguk-angguk saja.

“Jadi karena tidak lolos dalam sebuah aplikasi beasiswa, kamu jadi beranggapan bahwa Allah tidak menyayangimu lagi?” Ustadzah Fatimah memastikan. Zahira mengangguk meskipun merasa malu.

“Dengarkan, Ra. Saya akan mengingatkanmu pada surat Al-Ankabuut ayat dua dan tiga yang artinya apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan, ‘kami telah beriman’, sedangkan mereka tidak diuji? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta,” Ustadzah Fatimah, yang merupakan seorang penghafal Al-Quran, mengakhiri sambil memandang Zahira, yang kelihatannya makin malu.

“Ta... tapi...” Zahira berusaha menjawab dengan terbata-bata, meskipun kemudian tidak bisa melanjutkan.

Ustadzah Fatimah tersenyum, lalu menyambung dakwahnya, “Masih ada tambahannya lagi di surat Al-Baqarah ayat 155 sampai 157 yang artinya dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah- buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan ‘Innalillahi wa Inna Ilaihi Roji’un’. Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.

Setelah mengambil napas sejenak, Ustadzah Fatimah menambahkan, “Apa yang kamu alami bukan karena Allah tidak sayang padamu, tapi karena memang setiap muslim akan diuji untuk melihat sejauh mana keimanannya. Kalau kamu merasa sudah berbuat banyak untuk agama kita, tengoklah kisah para nabi termasuk Nabi kita, Muhammad SAW. Mereka sudah berbuat sangat luar biasa untuk menegakkan agama Allah, tapi apa yang mereka dapatkan? Caci-maki, hinaan, pengusiran, dan semua hal buruk lainnya. Nabi Musa AS harus hijrah dari Mesir. Nabi Isa AS dikejar-kejar oleh pasukan Romawi untuk dibunuh. Nabi Muhammad SAW dicemooh habis-habisan. Mereka semua adalah orang-orang suci pilihan Allah tapi masih mengalami cobaan sedahsyat itu. Tidakkah kamu berpikir bahwa cobaan kita mungkin belum ada apa- apanya dibandingkan cobaan orang-orang mulia itu? Coba kamu lihat, sudah berapa lama kamu sukses di sekolah? Dua belas tahun? Dan coba kamu lihat, baru sekali Allah menggagalkan kamu, tapi kamu sudah mengeluh. Nikmat Allah selama dua belas tahun ini tidak kamu lihat, tapi satu kegagalan ini kamu ratapi terus seolah dunia sudah berakhir. Kalau kamu merasa kegagalanmu ini sangat berat diterima, kamu bisa berkaca dari kisah Nabi Ayub AS yang juga pernah menjadi orang kaya namun mendadak jatuh sakit dan kehilangan semua harta kekayaannya dalam sekejap. Apa penderitaanmu sebanding dengan beliau?” Zahira ternganga. Ia tidak pernah berpikir sampai sejauh itu. “Ra, kamu masih beruntung. Masih punya rumah, makanan, pakaian, dan kondisi yang aman. Banyak saudara-saudara kita sesama muslim yang menderita jauh lebih hebat dari ini, contohnya etnis Rohingya dan bangsa Palestina. Dibandingkan cobaan mereka yang setiap hari menerima ancaman pembunuhan, apalah artinya tidak lolos dalam aplikasi beasiswa?” Ustadzah Fatimah mengusap kening Zahira yang masih terdiam. “Kamu adalah anak yang memiliki banyak potensi. Gagal sekarang bukan berarti gagal selamanya. Kamu masih bisa mendaftar untuk mendapatkan beasiswa di perguruan tinggi negeri. Kalau tidak lolos tahun ini, masih bisa tahun depan. Sambil menunggu, waktu luangmu bisa diisi dengan kegiatan-kegiatan lain yang positif, misalnya bekerja dan membantu saya berdakwah,” canda Ustadzah Fatimah, membuat Zahira tersenyum kecut. Ustadzah Fatimah berkata lagi, “Allah pasti punya rencana lain untuk kamu yang lebih baik dari ini, yang penting adalah jangan kendurkan keimananmu. Anggaplah ini sebagai ujian untuk membuat dirimu lebih baik lagi. Perbaiki kualitas amal ibadahmu agar kembali seperti dulu bahkan kalau bisa lebih ditingkatkan lagi. Saya yakin kalau kamu adalah anak yang baik. Sekarang masih belum terlambat untuk kembali. Masjid Darussalam masih bersedia menerima kamu kapan saja. Mulai besok kamu bisa menulis artikel lagi dan...” ucapan Ustadzah Fatimah terpotong oleh suara ringtone yang berasal dari ponsel Zahira.

“Apa boleh diangkat, Ustadzah?” tanya Zahira.

“Silakan.”

Zahira mengambil feature phone-nya dan memandang layarnya yang kecil. Ternyata yang meneleponnya adalah teman sekelasnya yang bernama Linda.

“Halo...”

“Ra, Ra, cepat nonton TV, Ra!” tanpa membalas sapaannya, Linda langsung berseru dengan keras.

“Me... memangnya ada apa?” tanya Zahira kebingungan.

“Vania, Ra! Pesawat yang dinaiki Vania hilang!”

“Apa?!”

Zahira segera memutuskan hubungan telepon dan berlari ke ruang tengah untuk menghidupkan satu-satunya TV berukuran 14 inchi yang dimilikinya.

Ternyata semua channel sedang menyiarkan berita tentang hilangnya sebuah pesawat dari salah satu maskapai penerbangan ternama. Pesawat yang ditumpangi Vania tersebut tidak diketahui kabarnya hanya beberapa jam setelah lepas landas.

Zahira memandang layar televisi dengan tidak percaya ketika nama Vania terpampang di sana sebagai salah satu penumpang. Saat pembaca berita mulai menjelaskan kronologis peristiwa, suaranya memudar dari telinga Zahira karena ia teringat kata-kata Ustadzah Fatimah.

“Allah pasti punya rencana lain untuk kamu yang lebih baik dari ini.”

Meskipun tadi sempat menyangsikan kata-kata Ustadzah Fatimah dalam hati, namun kini ia sudah melihat sendiri kebenarannya. Ya, Allah memang punya rencana lain untuknya.

Ia sempat bergidik saat membayangkan seandainya ia yang lolos aplikasi beasiswa itu. Mungkin namanyalah yang terpampang di layar televisi dengan Vania yang menyaksikan dari televisi layar datarnya yang besar di rumahnya yang megah. Setelah tayangan berita selesai, Zahira bergegas menghampiri Ustadzah Fatimah untuk berterimakasih atas nasehatnya. Sang ustadzah senang melihat perubahan sikap Zahira, lalu ia berpamitan karena harus berdakwah di tempat lain.

Usai kepulangan Ustadzah Fatimah, Zahira berwudhu lalu melakukan sholat dua rakaat untuk bertaubat kepada Allah. Ia sangat menyesal karena telah salah mengartikan takdir Allah, yang ternyata berdampak lebih baik bagi dirinya dan membawa ke skenario yang jauh lebih indah dari bayangannya selama ini. Ia bersyukur Allah belum menurunkan siksa-Nya akan kekhilafannya selama tiga bulan ini dan sangat berharap masih akan mendapat ampunan-Nya.

Usai sholat, Zahira mengambil Al-Quran miliknya yang berwarna keemasan, satu-satunya hadiah yang diberikan ayahnya saat ia mulai belajar mengaji di masjid ketika berusia enam tahun.

“Bu, aku berangkat ke masjid dulu, ya. Assalamualaikum,” pamitnya pada ibunya yang sedang mencuci baju di halaman belakang. Mendengar Zahira akhirnya mau pergi ke masjid lagi, senyum lebar Bu Sumi muncul.

“Waalaikumsalam. Hati-hati di jalan, Nak!” Zahira melangkahkan kakinya dengan ringan ke luar rumah. Kini ia tidak akan pernah ragu lagi. Allah masih menyayanginya, dan akan selalu menyayanginya sampai kapan pun.

Beberapa menit kemudian, ia tiba di depan rumah Ani, yang kelihatannya juga sedang bersiap untuk berangkat ke masjid.

“Assalamualaikum, Ani, mau berangkat ke masjid bersama?”

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)