Cerpen
Disukai
1
Dilihat
3,905
Silence
Slice of Life

Setelah sekian lama. Baru ini aku jujur sama mama kalau secara gak langsung aku seakan gak bersyukur. Seolah aku lebih memilih untuk ikut hilang juga bersama motor yang tak sengaja aku hilangkan. Aku berpikir begitu karena aku gak mau aja dengar omongan tetangga yang maha tau. Padahal mereka memang tahu apa?

"Coba aja anis ikut ilang ya ma," gumam ku yang entah ada angin apa jadi terucap kalimat itu. Karena biasanya kalau tidak sengaja berbicara soal motor yang hilang, pasti memang ada kalimat seperti itu di bibir ku yang tak bisa bergetar, pikiran itu biasanya hanya bersemayam di dalam pikiran ku saja. Baru kali ini rasanya mulutku ingin buka suara. Setelah sekian lama.

Itu bermula saat mama membicarakan ada saudara jauh ku yang rumahnya masih dekat dari rumah ku, hanya berjarak berapa rumah. Orang itu baru saja kehilangan motor, katanya sih di begal dua motor yang orang-orangnya itu besar-besar bagai bodyguard. Orang besar itu berjumlah empat orang dan kejadiannya itu terjadi kemarin. Orang-orang itu juga bawa senjata tajam. Aku kurang tau apakah orang itu terluka atau tidak. Tapi yang pasti, aku gak mau terlalu membayangkan bagaimana situasinya saat itu. Aku gak mau merasakan lagi bagaimana rasa tak enaknya.

Dan di hari yang sama pula. Masih saudaraku juga. Kaka dari mama, juga kehilangan motornya yang tak lama di parkir di pekarangan rumah. Ada rekaman cctv yang menampilkan satu orang kurir yang mengendarai sepeda motor serta seorang lagi menaiki motor curian itu dengan cara di setut. Aku tidak tau apakah saudara ku itu akan melaporkan kehilangan itu di aparat berwajib atau tidak tapi yang pasti mungkin aku akan sampaikan kalau berani.

"Jangan Ba. Nanti surat motornya di ambil dan gak boleh di ambil lagi kayak waktu aku," tapi nyatanya aku gak mengatakan itu karena aku gak mau buat saudaraku yang masih terlihat kesedihan di wajahnya tambah sedih karena teringat lagi.

Tetapi jujur, sebenarnya aku ingin bertanya. Bagaimana rasanya? Sedihkan? Setidaknya perasaan gak enak itu akan jauh lebih kerasa kalau mengalami sendiri. Memang nadanya seakan mengolok. Tetapi kalimat itu hanya ada di dalam pikiran. Aku mana tega berbicara demikian. Memangnya aku siapa. Pendapat ku saja masih suka di abaikan. Anak kecil aku tuh. Masih sekolah padahal sudah lulus sejak lama.

Rasanya aku masih terperangkap di tahun 2016 di saat sedang membicarakan sepeda motor, apa lagi ini kasusnya sama-sama kehilangan hanya saja dengan modus yang berbeda.

Aku lebih memilih diam saja. Padahal mulut ini sudah ingin bicara banyak. Ingin menyindir tapi juga gak tega menyindir. Karena dulu yang aku alami hanyalah sebagian besar disalahkan.

"Kenapa dikasih?"

"Kurang hati-hati sih?"

"Pacaran Mulu sih?"

"Kok bisa? Emangnya lagi ngapain?"

Saat itu semuanya mendadak jadi wartawan dan setelahnya menyebarkan berita seenaknya. Bicara ini lah bicara itu lah. Itu kenapa dipikiran ku seakan mengutuk diri, "Kenapa sih aku gak sekalian di habisi. Atau ilangin aja kek kemana. Jual ke kalo laku. Yang penting gak bisa dengar omongan tajam itu. Aku muak," sekali lagi. Segala perkataan itu hanya tersimpan di dalam pikiran ku saja. Kalau di lihat dari luar, aku masih anak yang biasa-biasa saja tetapi jauh lebih pendiam atau kadang jadi pemurung. Sifat ku Itu tidak bertahan lama. Lama kelamaan aku jadi terbiasa dan menganggap semua itu lelucon yang tak perlu ditakuti, anggap saja aku tak waras karena aku masih bisa menjalani hidup bagai tak pernah terjadi apa-apa.

Itu karena mama bilang tidak apa-apa. Motor masih bisa di cari atau di beli lagi tapi nyawa tidak ada yang menjual. Perkataan mama yang demikian justru membuat perasaan ku serba salah. Rasanya tuh aku sangat bodoh sekali dan gak perduli akan melakukan apa pun yang mama minta meskipun kadang aku juga mendapatkan komentar dari teman soal jangan ini jangan itu, harusnya kamu begini jangan begitu, kamu gak papa kok kalau begini gak harus juga begitu juga.

Ingat yang bisa mengatur ku hanyalah orang tuanku bukan orang lain. Aku akan bebal karena merasa, aku gak seharusnya ikuti apa kata kalian. Karena suka duka ku hanya bersama orang tua ku. Teman-teman hanyalah tau apa yang aku perbolehkan mereka ketahui dan tak ada hak lebih untuk mengatur hidup ku.

Tapi lama kelamaan rasanya aku lelah bersikap demikian. Rasanya aku tak punya ruang privasi lagi, gerak ku terbatas dan aku sangat lelah menganggap hutang yang tak akan ada lunasnya.

Aku tidak mau menganggap harta yang aku dapat hasil kerjaku adalah milikku. Aku gak mau mengakui itu meskipun harus mengakui. Untuk apa. Toh kalau aku mati tidak ada yang aku bawa. Toh aku gak ada minat untuk tetap hidup lebih lama dari orang tua ku. Kalau bisa aku ingin segera pergi duluan.

Aku tau berpikir demikian salah. Bagai mendahului takdir bagai sudah tau saja takdir berjalan seperti apa.

Yang aku tahu. Aku itu telah menciptakan pemikiran yang mengerikan selama ini. Secara tidak sadar aku juga yang tidak menghargai diri ku sendiri karena memang aku semuak itu dengan diriku sendiri. Pernah suatu ketika saking pusing dengan pemikiran sendiri, aku memukul kepala ku sampai terasa pusing dengan kepalan tangan ku. Saat pusing aku bisa merasakan kesadaran ku dan berhenti menangis. Aku gak pernah bercerita soal sikap ku yang ini. Karena aku lebih suka tidak banyak orang yang tau tentang perasaan sedihku yang sebenarnya. Aku gak suka air mata ku dilihat orang, aku lebih suka sembunyi dan menangis. Karena sesedih apa pun aku, tidak akan ada yang tau bagaimana rasanya. Mereka hanya bisa apa. Menyuruh aku berhenti menangis atau hanya menceramahi. Aku udah bosan akan itu.

Di pikir lagi. Sikap ku yang dulu itu cukup aneh. Entah kalau ke psikiater, diagnosa apa yang akan aku dengarkan dari dokter.

Aku rasa. Jiwa ku masih terjebak di momen 2016. Rasanya baru kemarin aku merasa momen menyebalkan itu. Disalahkan memang pantas sih aku di salahkan dan rasanya aku juga ingin ikut menghilang saja.

Seberapa jujur aku dengan mereka, seberapa usaha yang aku kerahkan untuk menyayangi diri sendiri, seberapa kuatnya aku sekarang ini. Rasanya sangat percuma kalau aku tetap terperangkap di tahun itu. 16 Agustus 2016, padahal esoknya hari kemerdekaan tapi nyatanya aku menangis seharian di kamar. Sangat menyesal karena melakukan kesalahan itu yang rasanya tak akan bisa ku lupakan dan akan ku tanggung seumur hidup sangsi sosial yang jauh lebih kejam dari pada di hunus sebilah pisau. Perkataan jauh lebih mematikan dan sampai sekarang pun rasanya aku masih kesakitan karenanya. Luka yang tak terlihat itu jauh mengerikan di banding luka yang tampak yang bisa mengering dan menghilang seiring berjalannya waktu.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)