Flash
Disukai
2
Dilihat
17,521
Sengaja Mengaku
Drama

Aku sengaja mengakui akan perasaan ku terhadapnya.

Dia gebetan ku sejak dulu, sejak masih dibangku SMK kelas 1. Kita sama-sama jurusan akuntansi dan sudah lama tidak bertemu, kalau pun bertemu hanya di sebuah acara tahunan seperti buka bersama perangkatan kelas atau di sebuah acara pernikahan teman sekelas.

Sebetulnya aku tidak mau mengakui perasaan ku yang masih tersimpan rapi sampai sekarang hingga beberapa waktu yang lalu aku memutuskan untuk mengakuinya saja, sekalian aku ingin tahu apa reaksinya, apa tanggapannya.

Salahnya juga yang selalu membuat aku salah tingkah hanya karena ia membalas pesan dari ku atau sebaliknya, tau-tau dia yang mengirimkan pesan untuk ku hanya untuk menanyakan kabar atau pun ada yang mau ia tanyakan.

Dimulai dari kesaltingan itu aku mulai berat menyimpan perasaan itu sendiri. Menurutku ini sudah terlalu lama aku menyimpan rasa bahkan setelah lima tahun kita lulus sekolah, totalnya jadi delapan tahun sudah aku menyimpan semua perasaan ku terhadapnya sendiri.

Aku hanya berniat mengakui saja lewat pesan chat, itu juga aku sampaikan pada saat kita chattingan. Chattingan biasa yang aku selipkan dengan sebuah pengakuan, pengakuan itu yang membuatnya agak tidak percaya sehingga menanyakannya lagi kepada ku.

“Ini serius? Ini gak salah kan?”

“Kenapa bisa suka sama gue?”

Aku bisa menebak kalau ia kaget, pasalnya setelah aku mengakui perasaan ku, chattingan kita sempat terjeda dan baru ia balas di pagi hari.

Aku gak marah kok akan terjedanya waktu ia membalas pesan, aku pun sebetulnya tidak terlalu memikirkan apa jawabannya untuk ku, yang penting saat itu juga aku sudah merasa lega karena sudah bisa menyampaikan perasaan yang selama ini aku simpan sendiri.

Sebelum pengakuan itu terlebih dulu aku bertanya kepadanya dan seperti chattingan biasanya ia selalu memberikan jawaban yang aku mau, yang tidak menghakimi tetapi lebih memberikan arahan.

“Kalau gue mau jujur soal perasaan ke seseorang bagaimana? kira-kira gimana ya reaksinya? Gue kan cewe. Jujur aja atau gak ya.” tanyaku kepadanya sebelum pengakuan itu ku sampaikan.

“Ya tergantung. Kamu udah siap apa belum buat ambil konsekuensinya. Menurut gue sih wajar aja ya. Manusiawi. Kamu juga udah dewasa kan.”

“Maksudnya?” 

“Ya… Kamu harus siap apa yang nantinya seseorang itu katakan.”

“Oke deh paham. Jadi ngomong aja nih?”

“Ya itu sih terserah kamu. Emangnya siapa orangnya? Teman kerja atau teman sekolah? Kalau boleh tau.”

Dalam benak ku ingin membuatnya menerka-nerka terlebih dulu dengan mengatakan yang membuatnya semakin menebak.

“Em… Bukan teman sekolah bukan teman kerja sih.”

“Teman rumah ya?”

“Kalau orang yang aku suka itu kamu.”

Rasanya pernyataan itu seperti sebuah permainan saja, begitu mudah untuk ku katakan terlebih seperti di bimbing oleh orang yang ku suka untuk berterus terang saja. 

Aku bisa membayangkan bagaimana bingungnya dia kala itu walaupun aku sendiri tidak bisa melihat ekspresi wajahnya. Ia juga tidak melarangku untuk terus menyukainya tetapi ia hanya bisa mengatakan kalau dua tahun belakangan ini hatinya sudah ada yang punya. 

Tetapi ia juga menjelaskan kalau saat ini ia belum memikirkan ke arah situ, ia hanya mau fokus dulu dengan pendidikannya dan usahanya dalam berbakti kepada kedua orang tuanya

Tapi jujur setelah itu bebanku menghilang

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)