Cerpen
Disukai
2
Dilihat
2,008
My Husband
Slice of Life


Mas Indra sangat baik kepadaku. Kami melewati semuanya penuh suka cita dan saling memahami meskipun pada akhirnya aku juga yang sering mengalah tapi ketahuilah, ada kalanya aku tidak mau mengalah dan mas Indra hanya terdiam seharian. Mas ngambek dan tidak mau berbicara kepadaku tapi saat esok tiba, Mas Indra kembali seperti sedia kala bagai tidak pernah kesal kepadaku. Begitulah kami.


Secangkir Kopi.

“Mas ini Arum buatkan kopi susu. Mas minum ya. Tapi kalau Mas gak suka. Biar kopinya nanti Arum aja yang habiskan,” aku menaruh secangkir kopi hangat itu di atas meja saat Mas Indra sedang membaca koran di teras rumah, mengisi waktu senggangnya.

“Iya dek. Terima kasih. Nanti Mas minum kok,” sorot mata Mas Indra masih terlalu fokus membaca berita pada surat kabar itu, Mas Indra juga sempat tersenyum sebentar sebelum akhirnya Mas menahan ku yang ingin masuk ke dalam. 

“Mau kemana?” Bahkan pandang Mas Indra kini tertuju kepada ku bagai meminta agar aku tidak pergi.

“Mau cuci baju. Ada apa Mas? Mas butuh sesuatu kah?”

“Mas butuh kamu temani Mas. Duduk,” ini bukan permintaan namun perintah. Kalau sudah seperti ini aku hanya ingin menurut saja. 

Aku pun duduk di sebuah kursi yang berdampingan dengan Mas Indra, sebelumnya Mas Indra sempat memindahkan meja yang awalnya berada di antara dua kursi itu. Mas memindahkan mejanya tanpa menumpahkan secangkir kopi yang masih disana dengan hati-hati tetapi juga tidak lambat.

“Ada apa Mas. Mas mau bicara apa?” Aku hanya penasaran karena setelah aku duduk. Tangan Mas Indra tak lepas menggenggam tanganku seperti ingin berbicara tapi Mas Indra kembali sibuk membaca surat kabar. Aku hanya menemaninya saja.

“Temani Mas. Jarang loh kita begini.”

“Arum tau. Tapi Mas, Arum masih ada kerjaan yang perlu di urus. Belum cuci baju habis itu setrika. Belum bersih-bersih,” nadaku sedikit bawel karena Aku pikir ada masalah serius yang ingin didiskusikan tapi ternyata hanya minta ditemani saja.

“Nanti Mas bantu. Sekarang Mas ingin ditemani kamu saja dik sayang. Apa tidak boleh,” Mas Indra sudah meletakan surat kabar di atas meja berdekatan dengan cangkir kopi yang mulai mendingin karena terlalu lama didiamkan. Hawa panas pada kopi itu sudah semakin menyusut prediksiku kopi itu sudah tidak panas lagi melainkan hangat dan mungkin saja semakin lama didiamkan akan dingin.

“Ya udah kalau Mas mau bantu. Tapi Mas itu kopi gak mau di minum kah? Kalau gak mau. Buat Arum aja,” nadaku sedikit ngambek tapi sorot mata ku memang sejak tadi selalu tertuju pada itu.

“Mau kok. Tapi kalau kamu mau. Minum aja gak papa.”

“Serius? Gak mau? Padahal Arum udah buatkan untuk Mas loh. Masa gak mau di minum sih. Mas mah gitu,” aku lihat Mas Indra mulai panik. Ia paling tak bisa melihat aku mengambek.

“Bukan gitu maksud Mas,” Mas Indra bahkan menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “Gimana ya. Maksud Mas. Belum ingin minum kopi itu. Bukan berarti Mas gak suka. Mas suka kopi buatan kamu kok dek. Emm. Tapi kalau adik sayang mau minum ya gak papa. Gak masalah buat Mas. Minum kopi secangkir berdua sama dik sayang,” kalimat terakhir sepertinya sengaja Mas Indra katakan dengan nada menggoda ku. Membuat aku salting dan berakhir menepuk manja pundak Mas Indra.

“Mas gombal. Arum hanya bercanda Mas. Arum juga udah buat kopi. Kopi dingin tapi.”

“Loh. Kok beda. Kamu curang. Mas juga suka kok kopi dingin.”

“Mas.. Kopi punya mas udah dingin tau. Soalnya sejak tadi dianggurin. Coba deh.”

“Ahh.. Masa udah dingin,” Mas Indra terlihat tak percaya lalu Mas Indra pun mengambil kopi itu dan meminumnya. Benar saja. Kopi itu sesuai yang aku prediksikan.

“Hehehe. Iya benar. Sudah tidak hangat. Tapi masih enak kok. Apa lagi ini buatan kamu,” Mas Indra menyeruput kopi itu lagi, dihadapan ku sambil tersenyum menggoda.

“Apa sih Mas. Mas mau ngomong apa.”

“Ini kamu katanya mau kopi,” Mas menyodorkan kopi miliknya yang kini tinggal setengah lalu aku pun menggeleng.

“Arum nanti aja Mas. Buat Mas aja.”

“Serius?”

“Iya Mas.”

“Ya udah Mas yang habiskan,” Mas Indra benar-benar menghabiskannya, “ah.. Nikmat sekali pagi ini. Benar-benar hari libur yang mengasyikkan,” Mas Indra tersenyum setelah menghabiskan kopi itu dan memandang ku.

Lalu aku pun usil. Aku mengambil cangkir kosong itu lalu berujar, “Nah kan udah ngopinya. Sekarang Mas bantuin Arum nyuci ya. Kan kata Mas tadi mau bantu Arum.”

“Iya. Iya. Mas bantuin kamu. Tapi..”

“Kok ada tapinya Mas?”

“Kamu dengerin dulu,” aku pun menyimak apa yang ingin Mas Indra katakan, “Tapi habis itu kamu temani Mas mancing ya. Mas mau makan ikan soalnya.”

“Loh. Kenapa mancing. Kan bisa beli ikan di Abang sayur atau gak beli di pasar aja.”

“Mas kangen mancing. Lagian kalau mancing sama kamu jadi romantis gak sih. Kita pacaran di pemancingan,” aku pun spontan memukul pundak Mas Indra karena merasa tingkah Mas Indra ada-ada saja. Kepikiran gitu pacaran di kolam ikan eh kolam pemancingan.

“Malu atuh Mas. Masa pacaran di pemancingan.”

“Kenapa malu. Kan kamu istri Mas. Lagian jarang-jarang juga kok kita begini. Nanti kamu diam aja tungguin Mas. Biar Mas yang mancing. Pasti Mas nantinya dapat ikan yang banyak karena kan Mas bawa bidadari,” sekali lagi aku pun memukul pundak Mas Indra.

“Mas apaan sih. Mana ada kaitannya. Mas ada-ada aja.”

“Iya dong. Kan ada kamu. Pasti ada aja ikannya. Nanti kamu masak yang enak ya.”

“Iya Mas.”


Suamiku Sayang 

Kami benar-benar melakukan agenda itu. Sebuah agenda yang tak sengaja terlaksana. Mencuci baju bersama meskipun pada akhirnya aku pula yang lebih banyak mengerjakannya karena Mas Indra mencucinya sambil menggoda ku jadi rasanya gak akan selesai-selesai kalau aku tidak turun tangan. Belum lagi saat menjemur pakaian, ada satu momen Mas Indra tak sengaja menjatuhkan jemuran yang sudah terjemur rapi karena tersandung kakinya sendiri. Entah saat itu Mas Indra sedang memikirkan apa sampai-sampai bisa demikian.

Jangan tanya apakah aku marah atau tidak. Karena setengah-setengah. Di satu sisi aku jadi kesal karena cucian ku sebagian besar menjadi kotor lagi dan di satu sisi lagi aku kasihan pada Mas Indra yang tampak kotor terkena genangan air cucian. Baju dan wajah Mas tak terselamatkan lagi, aku ingin tertawa tapi tidak sampai lepas kok hanya saja aku jadi meminta Mas Indra agar segera mandi saja karena aku tahu kalau Mas Indra memang belum mandi.

Sedangkan aku mengambil lagi baju yang kotor untuk aku bilas dengan air lagi atau perlu aku cuci lagi sedangkan cucian yang masih selamat aku rapikan saja, menjemurnya kembali.

“Dek. Maafin Mas ya. Tadi itu Mas gak sengaja. Seriusan,” tampaknya Mas Indra masih merasa bersalah bahkan saat kami ingin bersiap pergi memancing pun Mas Indra masih sempat-sempatnya meminta maaf entah untuk yang ke berapa.

“Sudahlah Mas. Sudah lalu juga. Gak apa-apa kok. Arum udah gak marah.”

“Maafin Mas ya.”

“Iya Mas.”

Kami pergi ke pemancingan setelah Mas Indra selesai mencari cacing tanah sebagai umpan. Kami memancing di kolam pemancingan yang tidak terlalu jauh dari rumah. Cukup lima belas menit berjalan kaki saja sudah sampai.

Di sana ternyata sudah ada banyak orang. Ini memang tanggal merah dan memang biasanya di akhir pekan kolam pemancingan sangat ramai pengunjung.

Salah satunya ada Kakek Dulah yang sudah lebih dulu sampai dan kini sedang memancing bersama cucu laki-lakinya yang berumur empat belas tahun. Mereka lumayan banyak dapat ikan dan sesuai info yang beredar, Kakek Dulah memanglah masternya mancing.

“Kek. Arman dapet satu kek. Akhirnya,” cucu kakek Dulah sangat senang setelah anak muda itu berhasil mendapatkan ikan yang sejak tadi menguji kesabarannya.

“Bagus-bagus. Cepat taro di ember ikannya. Takut nanti loncat ke kolam. Lumayan besar nihhh. Cocok dijadiin anakan.”

“Jangan kek. Arman mau pelihara di akuarium. Mau Arman rawat sampai gede ikannya.”

“Boleh-boleh. Kalau sudah besar nanti di goreng.”

“Ihh kakek jangan gitu. Gak boleh.”

“Loh. Gak boleh?”

“Tak boleh. Arman sayang ikannya,” anak itu menaruh ikan yang baru saja iya dapat pada sebuah kantong plastik putih bening yang telah ia isikan air. 

Anak itu tidak ingin mencampur ikannya dengan ikan lain yang sudah lebih dulu berada di ember berukuran sedang yang digunakan oleh kakek Dulah untuk mengamankan ikan yang beliau dapatkan.

Arman pun bergegas pergi meninggalkan Kakeknya setelah beres dengan urusannya sambil membawa kantong putih berisikan ikan tangkapannya, “Kek. Arman pulang duluan ya. Takut kalau kelamaan ikannya dehidrasi,” anak itu berkata sambil perlahan menjauh. Anak itu juga tidak memperdulikan keluhan kakeknya yang di tinggal sendiri karena terlalu senang memandangi ikan berukuran sedang itu.

“Punya cucu. Benar-benar yee. Kakeknya belum selesai mancing udah ditinggal aja,” keluh kakek Dulah namun setelah itu kakek kembali sibuk dengan joran pancingnya yang berhasil mendapatkan ikan lagi.

“Wih. Kek. Dapet banyak ikan nih. Masih pagi loh kek. Keren,” ucap Mas Indra sesaat dekat dengan kakek Dulah. Kami masih ingin mencari tempat yang sekiranya cocok untuk memancing tapi sejak tadi Mas Indra teralihkan dengan kehadiran kakek Dulah yang mendapatkan banyak ikan.

“Iya nih nak Indra. Sejak pagi buta kakek disini. Akhir pekan biasa ramai. Kakek takut kehabisan ikan kalau datang siang.”

“Ahh masa kehabisan sih kek. Kolam ini kan ikannya banyak sekali. Oh iya kek. Saya kesana dulu ya,” Mas Indra pun pergi setelah menemukan wilayah yang akan kami jadikan singgahan. 

Tentu aku sejak tadi hanya mengikuti langkah Mas Indra, sesekali tersenyum aku masih terlalu malu dan merasa belum begitu akrab dengan lingkungan tempat tinggalku ini. Aku terlalu pendiam.

Pernikahan kami masih terhitung baru empat bulan dan belum lama pindah di lingkungan ini setelah urusan hak waris Mas Indra dapat diselesaikan dengan kekeluargaan. 

“Kamu duduk manis aja disini. Temani Mas oke,” ucap Mas Indra setelah memberikan aku tempat duduk yang sudah di beri alas daun pisang. 

Sedangkan Mas Indra mulai sibuk dengan kegiatannya. Meletakan cacing tanah sebagai umpan di kail. Saat melihat Mas Indra melakukan itu aku hanya bisa meringis takut, aku sangat takut dengan cacing tanah. Mereka terlihat sangat menjijikan, kulit mereka kenyal terlihat panjang bagai mie instan. Aku heran kenapa Mas Indra itu tidak ada takut-takutnya akan apa pun itu. 

Sementara Mas memancing aku pun sibuk memainkan ponsel ku. Main game saja untuk menghilangkan bosan menunggu tapi sesekali aku juga memperhatikan Mas Indra yang masih bersabar.

Lama kelamaan aku pun ikut memancing dengan joran pancing yang Mas Indra buat dadakan menggunakan ranting kayu yang di beri tali pancing serta kail pancing. Mas memang sengaja membawa benang dan kail cadangan untuk jaga-jaga saja.

“Mas tolong pasangkan cacingnya,” pintaku untuk kesekian kalinya karena sejak tadi ikan-ikan itu hanyalah menghabiskan umpan saja tanpa mau menyangkut pada kail. Membuat aku kesal tapi penasaran juga. Rupanya bukan hanya aku saja yang begitu. Sejak tadi Mas Indra juga mengalami hal yang sama. Bedanya Mas Indra masih dapat ikan yang berukuran kecil.

Mas Indra merasa lelah juga pada akhirnya. Mas Indra pun berkata, “Dek. Kita udahan aja deh mancingnya ya. Ikannya ngeselin.”

“Loh. Serius Mas. Kan belum dapat yang besar ikannya Mas.”

“Kita beli aja deh di swalayan ya. Nanti sekalian kita nonton deh. Atau kita nonton dulu baru belanja ikan.”

“Ya udah iya deh.”

Mas Indra pun hendak beranjak namun tanpa membawa ikan yang telah Mas Indra dapatkan.

“Mas.. Ini ikannya dibawa pulang dong Mas. Masa di tinggal gitu aja.” 

Mas Indra pun mendatangi ikannya lagi namun tidak untuk di bawa pulang melainkan ikan itu Mas Indra lepaskan kembali ke kolam seraya berkata, “Gak usah dibawa. Soalnya kecil-kecil banget. Kasian kalau di goreng.”

“Iya juga sih Mas.”

“Ya udah yuk kita pulang. Abis itu baru pergi ke swalayan. Mas mau mandi. Bau soalnya.”

“Bau parfum alami itu Mas.”

“Bau badan bukan parfum sayang.”


Ikan Bakar

“Mas tumben banget deh romantis gini,” Aku penasaran saja karena sejak pulang dari swalayan. Mas Indra sendiri yang memasak ikan ini. Ikan bakar pedas manis yang jarang sekali Mas Indra buat. Aku saja sudah beberapa kali belajar namun tidak bisa mendapatkan rasa yang seenak buatan Mas Indra.

Selain itu Mas Indra juga menata meja makan secantik mungkin, ada sepasang mawar merah dan lilin aroma. Itu kenapa aku pikir ada hal lain yang Mas Indra inginkan.

“Mas biasa tau romantis gini. Kamunya aja yang gak sadar.”

“Ahh masa Mas. Tapi ya Mas kali ini beda tau. Mas gak biasanya seromantis ini. Arum jadi inget deh masa-masa pdkt dulu.”

Mas Indra jadi ikut mengingat lagi, “Iya juga ya. Tapi dulu tuh bukan pdkt tau dek. Lebih ke membiasakan supaya tidak canggung. Saat itu juga kamu udah jadi istri Mas.”

“Iya paham. Tapi ya. Arum rasa dulu itu Mas lagi pdkt soalnya Mas kaku banget. Padahal kata Mas. Mas udah pernah pacaran. Tapi kok sama istri sendiri kakunya kayak belum pernah pacaran sih Mas. Saat itu Mas terlalu tegang gak bisa rileks.”

“Masa. Separah itu kah dulu Mas ke kamu?”

“Iya Mas. Dulu tuh Mas kayak gimana ya Arum bilangnya. Mas takut banget liet wajah Arum. Mas kebanyakan nunduk tapi kadang di momen tertentu Mas gak gitu juga. Arum sampai bingung harus gimana. Jadinya Arum cuma ikutin isi hati Arum aja.”

Mas Indra terdiam cukup lama dan baru mengatakan agar kita segera makan sebelum ikannya semakin dingin. Nanti pembicaraan akan kita sambung lagi setelah selesai makan. Aku hanya menurut lagian kita memang ingin makan tapi kita malah terlalu larut dalam obrolan.

Aku pikir setelah makan seperti yang Mas Indra bilang kami akan mengobrol lagi. Ternyata tidak. Mas Indra malah sibuk main PS di kamar sedangkan aku lebih memilih bersih-bersih saja dan mengangkat jemuran yang sudah mengering di sambung dengan menggosok baju.

Tapi sesekali aku seperti merenung. Aku takut kalau saat berbicara tadi ada satu lain hal yang menyakitkan perasaan Mas Indra. Tapi Aku kok canggung buat ngomong sama Mas Indra ya. Seperti tadi saat kami tak sengaja berpapasan karena sama-sama ingin minum. Mas Indra tidak bersuara sedikit pun. Ia hanya mengalah membiarkan aku mengambil minum duluan, lalu setelah itu Mas Indra kembali ke kamar untuk kembali main PS.


Sama-sama Berjuang

Malam hari setelah melakukan itu. Kami akhirnya berbicara lagi. Melanjutkan obrolan yang sempat terjeda. Kali ini Mas Indra duluan yang membuka obrolan itu. Membuat aku terenyuh mendengarkan.

“Dulu itu. Mas takut sekali kalau dik sayang akan pergi meninggalkan Mas seperti yang dilakukan mantan Mas dulu. Mas pikir Mas perlu lebih dekat lagi dengan dik manis mengingat hubungan kita sempat tidak ada komunikasi sama sekali dengan jarak waktu yang terbilang lama,” Mas Indra menatapku dalam. Kita sama-sama berbaring berdampingan aku bahkan seakan tidak mau jauh dari Mas Indra.

Aku masih mendengarkan Mas Indra dengan serius aku seakan mengerti apa yang Mas Indra rasakan.

“Kamu taukan kisah Mas yang di tinggal nikah. Saat itu Mas pikir akan sangat sulit menerima sosok baru apa lagi saat itu status kamu ingin melanjutkan kuliah. Mas gak mungkin larang kamu. Apa lagi saat itu keadaan Mas juga belum seimbang untuk masuk ke jenjang menikah.”

Aku masih tetap menyimak apa yang ingin Mas Indra utarakan, “Mas tidak ingin mengganggu kebahagiaan kamu. Apalagi Mas tau kamu sudah menunda cukup lama untuk kuliah. Mas merasa tidak punya hak untuk melarang. Apa lagi saat datang kerumah kamu bersama ibu dan bapak, Mas tidak berani menyematkan cincin yang Mas bawa ke jari kamu. Mas malah bilang lupa membawanya. Padahal memang ada. Mas hanya ragu. Karena hubungan kita terjadi begitu cepat,” Mas Indra seakan membuang udara yang melelahkan. Aku pun semakin bersandar pada Mas Indra yang kini ikut mendekap ku.

“Keluarga kamu sangat baik menerima Mas. Pertemuan saat itu sangat berkesan di hati Mas. Rasanya seperti mimpi saja. Mas bahkan seakan tidak percaya akan momen-momen yang udah kita lewati dek. Terima kasih ya udah jadi istri Mas.”

Aku tersenyum lalu berkata, “Terima kasih juga Mas. Karena Mas sudah ada di dalam hidup Arum. Arum sayang banget sama Mas.”

Kami tertidur setelahnya. Rasanya hari ini sangat melelahkan. Kalau diingat lagi. Memang perjalanan cinta kamu terlalu singkat dan diluar perkiraan. Dulu tepatnya empat tahun yang lalu aku memilih untuk melanjutkan studiku yang sempat terhenti karena bekerja. Resikonya aku pun resign dari tempat kerja ku yang sudah enam tahun aku bekerja disana. Aku melepaskan itu untuk mengejar cita-cita selanjutnya yang ingin sekali aku raih.

Namun saat yang sama Mas Indra hadir dalam hidup ku sedangkan saat itu aku memang sangat serius ingin kuliah dan aku enggan untuk berpacaran aku pun juga bingung akan status kita dulu, bisa dikatakan ta'aruf tapi menurutku tidak demikian. Saat itu aku juga belum bisa move on dari crush ku. Bisa dibilang saat mempunyai hubungan dengan Mas Indra aku masih berusaha untuk bisa menerima takdir yang tak biasa ini.

Aku mendengar cerita Mas Indra dan tau betapa tegarnya Mas Indra menjalani kehidupannya selama ini. Percaya atau tidak aku sempat berpikiran untuk pasrah akan kuliah yang aku idam-idamkan itu untuk menikah dengan Mas Indra. Memulai hari dan tujuan hidup baru bersama. Namun semua itu hanya baru terlintas kalau saja Mas Indra sudah siap menikah saat itu tanpa meminta tambahan waktu dua tahun sebelum melamar dan menikah.

Sebelum mantap berkuliah aku pun terlebih dulu meminta izin Mas Indra. Ingin tau saja bagaimana responnya dan sebagai bentuk akan aku yang semakin menerima Mas Indra sebagai orang spesial di dalam hidupku kini. Mas tidak banyak berkomentar selain mengatakan tidak keberatan dan merasa belum punya hak atas diri ku. Tapi kenapa rasanya kok sakit ya, seperti ditolak cintanya untuk kedua kalinya. 

Bedanya untuk kali ini aku merasa tidak berat untuk melupakan Mas Indra, tampaknya aku terlalu kesal dengan jawaban Mas Indra hingga aku menutup kembali pintu hatiku yang sempat didobrak oleh Mas Indra. Aku tidak mengerti akan perasaanku sendiri yang aku pikirkan saat itu aku hanya ingin fokus kuliah saja tanpa memikirkan kata cinta.

Singkatnya aku sibuk dengan urusan kuliahku dan soal Mas Indra. Komunikasi kami sangatlah buruk. Aku bahkan memblokir sosmed dan nomor ponselnya setelah aku merasa hubungan ini sudah tidak mungkin untuk dilanjutkan. Begitu banyak ketidak cocokan yang timbul di antara kita. Semakin sulit karena kita yang sangat jarang bertemu, bahkan bertemu terakhir kali itu saat pertemuan keluarga yang hanya makan-makan saja tanpa ada cincin yang tersemat di jari manis ku.

Aku terlalu sibuk dengan aktivitasku sampai enggan mencari tau soal Mas Indra. Bahkan mendekati semester akhir aku memutuskan untuk kerja paruh waktu di sebuah restoran untuk mencari pengalaman lebih banyak lagi. Tapi ada kalanya aku mendapatkan kabar dari Mas Indra melalui Bibiku yang bertetangga dengan bibi Mas Indra yang Mas Indra panggil dengan panggilan Ibu. Mas Indra merupakan yatim piatu yang sejak itu tumbuh atas pengawasan bibi dan pamannya dari pihak ayahnya Mas Indra.

Mas Indra dan adiknya tinggal dengan paman. Keduanya sama-sama dididik bahkan dimasukkan ke sebuah pesantren. Bedanya Mas Indra tidak seperti adiknya yang penurut bahkan menjadi salah satu pengajar di pesantren itu. Mas Indra lebih memilih kabur dari pesantren karena merasa tidak nyaman dia tidak lanjut sekolah. Tapi memilih untuk bekerja. Mungkin mendengar kisah Mas Indra yang satu ini merupakan salah satu acuan kenapa aku dulu sempat berpikiran tidak apa-apa tidak jadi kuliah dan rasanya aku siap berumah tangga dengan Mas Indra. Aku ingin memberikan keluarga yang bahagia untuk Mas Indra. Terdengar gila tapi perasaan itu jauh menggebu. Aku seperti tidak ingin melihat Mas Indra bersedih dan aku tidak tau kenapa bisa begitu.

Mengenai kabar itu. Kabar yang aku dengar. Mas Indra sedang sibuk kerja sambil kuliah. Mas Indra berkuliah setahun setelah aku berkuliah tentunya setelah mengejar sekolah paket karena Mas Indra sempat berhenti tak melanjutkan jenjang SMA sederajat. Mendengar kabar ini aku ikut senang akan Mas Indra yang perlahan membaik. Jujur saja aku sempat berpikir apakah hubungan kami masih bisa diselamatkan? Penasaran saja karena Mas Indra sempat berjanji pada Mama kalau dirinya akan tetap setia menungguku.


Bunga Matahari

Tepat saat hari kelulusanku. Hari wisuda dimana semua perjuangan dan penderitaan selama kuliah di bayar lunas akan suatu pencapaian titik ini. Belum lagi aku memulai kuliah di usiaku yang bukan lagi belasan tahun. Banyak kesulitan yang aku lalui. Aku dan teman kelas ku merayakan suka cita momen ini dengan berfoto bersama. Mengabadikan momen langka ini karena sama-sama tahu setelah hari ini rasanya akan sangat sulit untuk berkumpul bersama.

“Kak Arum ada yang cariin,” ucap seorang teman yang bukan teman satu kelasku tapi aku tau dia itu salah satu anggota Hima di prodi kami.

“Siapa? Ni,” Tanyaku. Rasanya hari ini sungguh mustahil kalau ada yang mencari ku tapi tidak langsung mendatangiku.

“Tidak tau. Katanya sih teman lama. Orangnya ada di sana ka. Nungguin di bawah pohon,” setelah mengatakan itu dan mengarahkan Nia langsung pamit pergi karena Nia juga sama sibuknya sepertiku. Sibuk berfoto ria sekaligus puas-puasin kumpul bareng sebelum sulit ketemu.

“Siapa ya kira-kira?” Aku penasaran sendiri.

“Coba aja ke sana ka. Takutnya ada yang penting.”

“Iya. Kita temenin deh kalau perlu.”

Kedua temanku itu ingin sekali menemaniku tapi entah kenapa kali ini aku ingin sendiri saja, “Gak papa. Aku sendiri aja. Kalian di sini aja ya.”

“Ya udah kak,” temanku yang satu ini seakan memberikan kode yang aku rasa aku tahu mereka akan bertindak semaunya. Tidak akan mendengarkan aku. Maka dari itu sekali lagi aku pun mewanti-wanti mereka.

“Jangan nakal ya. Aku bisa sendiri.”

“Iya Kaka ku sayang,” ucap mereka kompak tapi membuat aku semakin tak percaya. Aku bahkan beberapa kali menoleh ke arah belakang untuk memastikan mereka tetap ditempat awal. Tidak mengintili aku.

Aku semakin dekat dengan tempat yang dituju Nia. Aku mencari sosok yang mencariku hingga aku pun menjumpai sosok laki-laki yang sepertinya membawa buket bunga juga. Dia membelakangi ku jadi aku mengira-ngira siapa dia?

“Permisi. Dengan siapa ya?” Ucapku yang membuat orang itu sedikit panik bahkan berbalik tapi menutupi wajahnya dengan buket bunga matahari yang ia bawa. Bunga matahari yang membuat aku ingin bersin tapi sekuat mungkin aku tahan.

“I-ini buat kamu,” orang itu pun memberikan bunga itu kepada ku dan langsung kabur secepat kilat. Aku bahkan belum sempat melihat wajahnya membuat aku sangat penasaran. Tapi rasa penasaran aku secepatnya teralihkan karena aku bersin-bersin. Buket bunga matahari itu berada di tanganku. Aku pun berusaha menjauhkan bunga itu dari indra penciuman ku. Sungguh rasanya aku tak kuat lagi dengan bunga ini. 

Untungnya tak lama dari itu kedua teman ku yang tadi datang menghampiri. Aku spontan melempar buket bunga itu dan berkata, “Dilla bunganya buat kamu aja ya. Aku alergi. Hacyuuu hacyuu,” aku bersin lagi. Sungguh sangat gatal sekali hidungku ini.

“Aku mau ke toilet aja. Atau kamu punya tisu gak. Aku minta dong.”

“Ada nih kak. Sebentar,” Lira pun mencari tisunya yang ada di tas kecil miliknya lalu setelah itu memberikan tisu itu kepada ku.

“Terima kasih Lir,” aku pun mencari tempat duduk begitu pun kedua temanku itu. Turut mengikutiku. “Dilla tolong jangan dekatin bunga itu kepada ku.”

“Oh iya ka iya,” lalu entah kemana Dilla pun pergi meninggalkan kami. Lira berusaha menenangkan aku dan bertanya perihal orang tadi yang pergi setelah melempar buket bunga itu.

“Ka. Tadi itu siapa? Kenalan Kaka ya? Tapi kalau kenalan Kaka. Dia gak mungkin dong gak tau kalau Kakak alergi bunga matahari.”

“Aku gak tau. Gak sempet liet orangnya. Hemm mungkin dia salah kira. Soalnya kan aku suka buat rajutan bunga matahari. Mungkin dari situ dia pikir aku suka bunga matahari. Haa. Udah mendingan. Terima kasih ya Lira. Ini tisu kamu,” untungnya alergi ku tidak seburuk yang aku kira. Asalkan dijauhkan oleh bunga matahari pastilah aku berhenti bersin.

“Lira. Dilla kemana?”

“Tidak tau. Oh itu orangnya. Dari mana lu.”

“Dari. Buang bungalah. Kan Ka Arum gak suka. Ya aku buang dong. Iya kan ka.”

“Iya sih. Tapi kan. Udah deh. Aku laper. Makan yuk, mie ayam enak deh kayaknya,” aku tidak mau ambil pusing lagi. 

Kami bertiga pun memutuskan untuk makan di kantin setelah melihat rekan-rekan kelas sudah memancarkan diri.


Bahagia Bersama

Akhir-akhir ini aku merasa tidak enak badan. Rasanya juga malas makan aku gak tau kenapa bisa begitu. Mual aja rasanya apalagi kalau gak sengaja cium aroma amis. Aku otw muntah. Hingga aku berpikir, apa mungkin aku hamil ya? Kalau di lihat lagi aku emang udah telat banget buat datang bulan. Ingin rasanya tes kehamilan tapi rasanya juga takut kalau ini hanyalah sakit biasa.

Aku putuskan untuk mengabaikan tapi aku juga tidak berani untuk minum obat. Takut saja gitu. Hingga suatu ketika aku merasa sangat lemas dan enggan bangun dari tempat tidur. Aku yang seperti itu apalagi aku juga menolak minum obat membuat Mas Indra khawatir sekali kepada ku. Mas Indra ingin membawaku berobat ke rumah sakit atau puskesmas terdekat karena tidak Ingat aku kenapa-kenapa.

“Dek. Kita berobat aja yu. Mas gak mau kamu begini terus. Kamu gak mau minum obat. Mas gak tega lihat kamu begini,” itulah kalimat yang sering Mas Indra ucapkan setiap kali aku ngeyel.

“Gak mau Mas. Nanti juga sembuh sendiri kok.”

“Kamu udah seminggu loh kayak gini. Gimana Mas gak khawatir. Kamu sayang sama Mas kan dek?” aku pun mengangguk, “Kalau kamu sayang. Nurut ya sama Mas. Kita berobat.”

Aku hanya tersenyum dan Mas Indra mengartikan kalau aku setuju. Mas pun membantu aku untuk bangun dan membopong hingga akhirnya Mas Indra lebih memilih menggendongku. Saat naik motor pun Mas Indra mengikatku dengan kain yang biasa digunakan untuk gendong bayi secara tradisional karena takut aku yang jatuh dari motor.

Sampailah kita di rumah sakit dan harus mengantri sebentar. Dokter perempuan yang memeriksa ku karena atas keinginan Mas Indra sedangkan Mas Indra diminta untuk duduk di luar ruangan karena sejak tadi Mas Indra terlalu banyak tanya sehingga membuat Bu dokter tidak nyaman memeriksa. Dalam pikiranku berkata, “Mas pasti harap-harap cemas.” Sedangkan aku mengikuti serangkaian tes salah satunya ada tes kehamilan. Rasanya sangat deg-degan.

Hingga tes itu keluar namun Bu dokter baru memberitahu setelah Mas Indra diperbolehkan masuk kembali ke dalam ruangan. Kami harap-harap cemas menunggu diagnosa dari Bu dokter aku bahkan berpikiran, “Apakah aku mengidap sakit yang serius.” Tapi nampaknya aku salah. Karena Bu dokter malah memberikan selamat kepada kami dan rangkaian kalimat yang membuat aku sedikit tak percaya tapi juga merasa senang dalam satu waktu. Aku hamil.

“Ibu bapak selamat ya. Bu Arum hamil. Masa kehamilannya sudah memasuki Minggu ke lima.”

Berbeda dengan aku yang sempat terdiam sesaat. Reaksi Mas Indra sangatlah bahagia. Mas bahkan sampai memelukku. Mas Indra sangat bersyukur atas kehamilan ini.

“Tapi kehamilan Bu Arum sangat rentan. Perlu dijaga ekstra ya Bu pak. Bu Arum juga tidak boleh stres. Lebih baik mengurangi pergerakan sampai memasuki masa kehamilan yang aman. Sekitar enam bulan atau lebih usia kehamilan bisa dikatakan aman untuk Bu Arum.”

“Baik dokter. Terima kasih atas berita baik ini. Alhamdulillah dek sebentar lagi kita jadi orang tua,” melihat Mas Indra yang demikian bahagia membuat aku turut merasakan bahagia itu. Bahkan aku tidak sadar telah menangis dan dengan cepat Mas Indra pun memelukku dan menggiring aku untuk keluar dari ruangan itu. Namun beberapa saat Bu dokter pun berkata lagi.

“Bu Arum. Pak Indra. Ini ada buku panduan kehamilan dan buku ibu hamil. Sering-sering kontrol ya Bu. Kontrol bisa dilakukan di puskesmas terdekat atau klinik bersertifikat apabila ke rumah sakit terlalu jauh.”

“Ah iya terima kasih dokter,” Mas Indra yang mengambil buku-buku itu yang dimasukkan dalam satu amplop berwarna merah muda sama seperti cover dari si buku.

Sampai di rumah. Mas Indra sangat perhatian kepada ku. Ia menjagaku dengan baik lalu meminta ibu untuk menemaniku selama Mas Indra pergi bekerja. Mas Indra tidak ingin aku sendirian di rumah. Harus ada orang yang menemani. Hingga Mama pun turut menginap di rumah kami untuk menjagaku dan merawatku yang akan memberikan Mama cucu ketiga. 

Hingga bayi kecil perempuan kami yang telah lama di tunggu-tunggu kehadirannya pun lahir. Bayi mungil yang diberi nama Siti Ainun Habibah yang lahir seminggu sebelum Idul Fitri. Mas Indra sampai menahan tangisnya saat mengazankan putri kecil kami yang tampak cantik dengan bulu mata yang lentik. Setelah itu Mas Indra pun membawa putri kami mendekat kepada ku. 

Aku masih kelihatan lelah tapi rasa lelah ku seakan terbayar lunas setelah melihat bayi kami dan senyum hangat Mas Indra. Mas Indra mencium keningku lalu bersuara, “Terima kasih ya Dik. Kamu sudah berjuang dan Mas akan menjaga kamu dan putri kita dengan sebaik-baiknya.” aku yang merasa lelah pun memejamkan mata. Aku ingin tertidur sebentar saja.


Tamat

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)