Cerpen
Disukai
0
Dilihat
2,303
Setelah Kematianku
Slice of Life


               Rintik hujan dan gelap malam kali ini menambah syahdu perempatan jalan di komplek perumahan yang selalu sepi. Rumah sederhana, berwarna coklat tidak biasanya ramai. Ada karangan bunga di halaman depan. Banyak juga bapak-bapak mengenakan baju koko sedang menyambut, bapak lain yang datang. Lain di dalam, beberapa ibu-ibu sedang duduk mendampingi perempuan yang mulai tampak urat-urat dari tangannya, wajahnya sedu.

               “Turun berduka, Pak,” saat seorang pemuda berkaca mata datang menyalami bapak yang mengenakan baju koko berwarna putih tulang. Bapak itu hanya mengangguk, tersenyum samar.

               Semakin lama, rombongan lain juga datang. Suasana rumah sepi itu berubah semakin padat. Ini jauh berbeda sekali di bandingkan malam kemarin saat aku pulang kerja. Ibu sedang menonton sinetron drama keluarga yang sedang naik rating karena konflik cerita yang semakin seru, sedangkan ada bapak yang masih sibuk mengelap mobil yang mungkin hanya ketetesan rintik hujan sore tadi. Mungkin, saat jam-jam pulang kerja bapak.

               “Assalamualaikum, bu,” sapaku sembari mendekat lalu mencium tangannya. Aku duduk disamping ibu setelah melirik bapak yang hanya melambaikan tangan melihat wujudku sudah berada dirumah.

               “Waalaikumsalam, cepat pulang hari ini?” ibu melihat kearahku sekilas.

               Aku mengangguk, menyandarkan punggung ke sofa yang seakan meresap rasa lelahku hari ini. Bukan sengaja pulang lebih cepat sebenarnya, tapi jalanan hari ini seakan melaju lebih cepat supaya aku segera sampai dirumah.

               “Ibu udah makan?”

               Menggeleng, “Kamu cepat mandi deh, solat baru kita makan bareng.”

               “Bapak udah makan, bu?” tanyaku.

               “Jangan kamu tanya, pastinya sudah, apalagi hari ini ibu masak gulai. Mana mungkin bapakmu belum makan.”

               Aku mengangguk lagi, segera bangkit menuju kamar untuk membersihkan diri. Aku rasanya sangat ingin menikmati makan mala mini bersama ibu. Entah datang dari mana perasaan ini. Meski malam-malam sebelumnya selalu sama, ibu menungguku sepulang kerja agar makan bersamanya. Tapi, malam ini terasa beda.

               “Bu, ini teh hangatnya. Diminum dulu, dari siang ibu belum makan apapun.” Seorang perempuan sekitar usia dua puluh itu menyodorkan mog dengan gambar matahari ke ibu-ibu yang uratnya sudah semakin tampak.

               “Iyo, Bu, Njenengan juga kudu Ikhlas, supaya anak sampean tenang disisi gusti Alloh.” sambung ibu lain yang porsi badannya cukup mengambil tempat agak luas.

               Ibu akhirnya meraih gelas itu, menghirup aroma khas dari teh melati lalu pelan-pelan menyesapnya. “Makasih, Sri.” Ibu menggenggam gelas itu, dua tegukan kembali di turunkan lagi gelasnya. “Semalem aku masih makan malem sama de’e, tapi…”

               “Sudah, Bu... Sudah jalannya harus begini. Kita doain saja.”

               Siapa sangka kalau sedetik kedepan kehidupan manusia bisa dipastikan masih tetap berlanjut. Episode tanpa kita tahu bagaimana skenarionya, selalu menjadi misteri kehidupan. Tapi setelah dia tidak dapat kembali berkumpul diantara manusia lainnya, kehilangan bagi orang tersayang akan sangat pilu di hati.

               “Gue sebenernya masih minta revisian dia dua hari lalu, katanya mau diskusi lagi malam ini.” Perempuan yang duduk di samping ibu melirik sinis pada kedua lelaki yang duduk di pintu depan.

               Ya, semua tampak kaget saat mendengar kematianku tiba. Mereka masih membahas kegiatan-kegiatanku sebelum kematian datang menjemput. Tapi, apakah revisian itu akan tetap dia minta.

               “Dari meeting dengan Pak Hendri dua hari lalu, file itu belum dia kirim ke gue lagi. Semua hasil meeting dia yang keep.” Lanjut lelaki itu.

               Bahkan, kematian tidak terasa memilukan buat lelaki itu. Jengah sekali aku mendengarkannya. Disaat seperti ini, dia masih tetap membahas pekerjaan yang harusnya dia revisi lebih dulu, bukannya aku yang harus revisi. Dasar.

               “Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh…” seluruh pandangan mengarah kepada salah satu ustad yang duduk di tengah dekat pintu.

               “Waalaikumsalam.. “ jawab orang yang sudah duduk di teras sampai ke ruangan dalam rumahku. Ada bapak juga yang mendampingi di samping Pak Ustad, raut wajah yang tidak bisa ku baca. Apakah dia sedih, menyesal atau malah sebaliknya.

               Lantunan surah pembuka, doa sampai pembacaan Yasin itu teriring menggema di dalam rumah yang menjadi saksiku tumbuh. Saksi dimana seorang anak perempuan berhasil dibesarkan dengan berbagai konflik batin yang selalu dia pendam, yang meringkuh sendirian di dalam kamar saat nyeri-nyeri karena asam lambung selalu menyerang ketika stress, juga saksi dimana dia merasa pulang kadang bukan menjadi sebuah pilihan.

               Malam itu hujan semakin deras. Angin sampai tampias membuat beberapa orang yang semula duduk di teras merapat lebih kedalam. Setiap sudut rumah menjadi ramai dari lantunan ayat Al-Qur’an yang jarang berkumandang. Ini jadi anugrah buatku, kapan lagi rumah seramai saat ini.

               Tapi bapak meneteskan air mata saat ayat kedua dari surah Yasin. Bapak merasa kehilangan aku? Tapi kemarin bapak sulit sekali memahami beradaanku dirumah. Bapak tidak pernah bertanya bagaimana hariku berlalu, apalagi alasan kenapa dua minggu lalu aku tidak berangkat kerja. Bapak hanya melihatku berbaring di kamar lalu berlalu. Mengapa aku malah sedikit ragu saat melihat tangisnya kali ini.

               Lelaki berkaca mata yang datang itu duduk di sebelah bapak, melirik lalu satu tangannya mengusap punggung bapak sambil tetap membaca Yasin di hadapannya. Kenapa lagi, bapak sekarang malah semakin menjadi. Dia mengusap setengah dari wajahnya, halaman buku Yasin itu sudah hampir basah setengah.

               “Bapak tenang dulu ya, minum dulu, pak!” seru lelaki itu sambil menyerahkan segelas air mineral.

               Bapak menegaknya.

               Jika rumah sebelumnya berisi banyak diskusi, mungkin setelah aku memilih pulang lebih dulu ada kenangan manis yang tercipta dengan bapak. Berbeda dari keluarga lainnya, bapak dan aku seperti air dan api yang tidak bisa bersatu. Jika pun bersatu, tak lama setelah itu riuh jeritan saling bersahut memenangkan argumen masing-masing. Bapak yang maunya lepas tanggung jawab, aku yang ingin bapak sadar bagaimana tanggungjawab kepala keluarga. Kita tidak pernah akur.

               “Mentang-mentang kamu sudah kerja, punya penghasilan sendiri selalu saja bantah perkataan bapak. Kamu jadi kurang ajar sama orangtua!” itu kali terakhir perdebatan kita.

               Sangat emosional aku pergi begitu saja dari hadapan bapak sampai membanting pintu cukup keras. Aku pergi malam itu, untuk beberapa hari dari rumah. Samar masih terdengar teriakan bapak saat aku masih berjalan keluar halaman rumah.

               “Anak sekarang mau seenaknya saja dengan orangtua, mengatur uang orantua semaunya. Siapa juga yang kerja! Kamu itu tidak berterimakasih sudah bapak biayain dari kecil sampai besar, malah kurang ajar! Ibu juga selalu belain anak itu!”

               Huh. Sesak sekali dadaku. Sampai malam ini hubungan bapak dengan anak ini sepertinya tidak juga membaik. Kepulanganku beberapa waktu lalu juga hanya sekilas gesture saling sapa, tidak tahu apakah kita sudah saling memaafkan atau mengerti. Tapi, dari air mata yang banyak membanjiri buku Yasin malam itu, aku sudah punya jawaban.

               Setidaknya kepergianku, rumah menjadi ramai beberapa hari. Semua rekan-rekan kerja, juga beberapa sahabatku saat sekolah datang berkumpul, seakan seperti tempat untuk reuni.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)