Cerpen
Disukai
1
Dilihat
5,981
Pulang
Slice of Life

Bagaimana rasanya menahan rindu akan tempat kelahiran namun rasa kecewa belum juga sirna? Mungkin akan selalu jadi pertanyaan sampai pulang adalah pilihannya. Jika saja ada yang peduli dan perhatian pada dirinya maka bisa dipastikan dia sudah kembali sejak tahun-tahun lalu. Dia gadis yang dibesarkan oleh kedua orang tua harmonis namun dihancurkan oleh orang ketiga. Alhasil langkah kaki membawanya pergi ke belahan dunia lain setelah kehidupannya berubah drastis.

Negeri Kangguru kini menjadi atap tempatnya berteduh. Merantau di negeri orang untuk bersembunyi dari rasa kecewa juga sedih yang tidak pernah dibagikan oleh siapapun dari gadis si senyum tipis. Tidak pernah ada tawa paling ceria setelah berada jauh di tempat paling indah sekarang. Sejauh apa pun langkah tapi rumah akan tetap menjadi tempat yang kembali dirindukan.

Suatu hari cerah dengan suhu tinggi gadis senyum tipis berdiri di peron stasiun menggenggam erat jaket berbulu yang dikenakannya menunggu kereta datang bersamaan penumpang lain. Teriakan rintih anak kecil mengusik lamunannya; anak kecil yang terus memaksa ibunya untuk segera sampai ke rumah supaya memasak makanan miliknya yang baru saja terjatuh.

Gadis senyum tipis memperhatikan makanan berserak di dekat anak itu. Ada potongan daging dan juga nasi sudah tercampur bersama jejak kaki lantai peron stasium. Hal itu membuat gadis senyum tipis teringat rumah seketika; rumah yang sudah tak terdengar kabar olehnya bahkan tak pernah ada niat kembali lagi kesana. Sayang, pandangan gadis itu tak beralih hingga membuatnya disadarkan oleh kedatangan kereta. Mereka masuk bersamaan tanpa saling melepaskan pandangan. Anak kecil itu sadar lalu melaporkan pada ibunya, sementara ibu itu mendekatinya lalu berkata.

“Ia putri saya satu-satunya, tidak ada rumah lain yang dapat menggantikan saya untuknya setelah ia menjadi anak brokenhome.”

Lalu, “Makanan khas Indonesia, apakah kamu mau?” gadis itu hanya dapat menarik ujung bibirnya walaupun memicu rindu yang hendak ia kubur.  

“Dia pernah kecewa setelah keluarganya berpisah, butuh waktu untuk menerima sampai akhirnya kembali pulang dan berdamai dengan kecewa.”

Gadis itu tersenyum tipis dan diam mengalihkan pandangan ke jendela kereta yang menguap embun dingin udara di luar. Sepanjang perjalanan ia terus membayangkan makanan seorang wanita yang disebut ibu, hal itu selalu dinikmatinya setiap hari dahulu. Menjadi momen yang tidak pernah ia sadari bahwa waktu bisa berubah. Seenak atau semahal apa pun yang bisa dinikmatinya tak pernah menggantikan posisi masakan tangan seorang ibu.

Seberapa jauh langkah karena kecewa ketika rindu akan tetap jadi rindu, bukan? Mungkin akan selalu jadi pertanyaan sampai pulang adalah pilihannya. Tak ada kabar mengabari tentang dirinya sejak tahun-tahun lalu. Ia terus membungkam rindu walaupun sudah sebesar gunung Everest. Kecewa masih enggan berganti. Ini belum mampu mengubah kecewa menjadi damai.

Banyak orang baru yang ditemui menganggap dirinya telah berhasil. Tanpa tahu bahwa ia tak berhasil dalam urusan berdamai. Ia gagal. Perihal pencapaian mungkin akan menang namun tentang berdamai bisa ditanyakan lagi nanti. Gadis senyum tipis tak ingin pulang tanpa pernah mencoba kembali.

Setiap kesalahan pasti bisa jadi pembelajaran. Setiap luka pasti ada obatnya. Hanya tentang mau untuk mencoba, belajar menuruni ego untuk menemukan titik damai. Melepas rasa kecewa agar sampai pada kata damai. Lalu ikhlas jadi penyangga maaf atas hal yang terjadi tanpa bisa dirubah seperti sedia kala. Seperti kaca pecah tidak sempurna jika diperbaiki.

Mungkin suatu hari dia ingin melangkah kembali ke rumah, hal apa yang paling dia rindukan? Mungkin tentang masakan, jemari tangan ibu itu tak pernah tergantikan sejujurnya. Namun, ia belum tahu cara berdamai.

Pada pemberhentian kereta yang sepi gadis itu memilih berdiam di bangku penumpang supaya melanjutkan ke stasiun berikutnya, dia tak ingin beranjak. Kepalanya mengamati lagi suasana yang dilewati kereta. Tak peduli benar atau salah tempat pemberhentian, ia ingin meluapkan rindu yang menggunung tanpa harus pulang.

Untuk ke sekian pemberhentian gadis itu enggan kembali turun. Ia masih setia duduk memandang situasi dari balik jendela kereta. Walau hari semakin terasa dingin, ia hanya mengeratkan lagi jaket ditubuh supaya mampu menghangatkan rasa rindu.

Sayangnya semakin ia mengikuti kereta melaju tak pernah berhasil merubah situasi yang dirasakannya. Rindu masih terkungkung. Udara semakin dingin atau sinar matahari yang begitu menghangat, gadis senyum tipis merasa bosan atas segala usahanya yang sama sekali tak mengubah sedikit pun perasaannya. Rindu seakan semakin memuncak saat kecewa tak pernah mengikis sedikit pun.

Sampai di satu pemberhentian, gadis itu merasa jenuh karena kereta tak melaju lagi hari itu. Waktunya sudah cukup pergi jauh. Ia sedih sekali dan mengira waktu tak ingin membantunya meluapkan rindu yang tak tersampaikan. Gadis senyum tipis berpikir inikah waktunya untuk pulang? Mungkin sudah waktunya pertanyaan mendapatkan jawaban. Sampai pulang harus menjadi opsi pilihan terbaik.

Ia tak pernah lupa atau melupakan, bahwa alasannya pergi atas nama kecewa. Rasa sakit masih jelas tergambar di benaknya. Tentang perpisahan dalam sebuah keluarga pasti akan meninggalkan luka kepada anak. Hal berat yang harus diterima bukan ditinggalkan.

Sampai, ketika tempat pulang sudah berada dihadapnya. Gunungan rindu yang ditimbun bertahun-tahun perlahan runtuh. Bongkahannya seakan menimpa dirinya berpuluh-puluh kilo. Bebannya kini terlepaskan. Hatinya bergetar melihat wanita yang dulu menyapihnya duduk dikursi roda menatapnya nanar. Bukan hal yang sebetulnya ia inginkan.

Tentang kecewa berubah sesal menjadi rumah kedua. Bukan kesalahan wanita itu tapi ia yang menanggung. Manusia akan terus merasa bersalah karena tindakannya sendiri.

Rindu sudah tersampaikan, kecewa sudah runtuh menyeluruh setelah bertahun-tahun terkungkung di dalam hati tanpa mencoba berkawan. Ada sesal sedikit terlambat menyadari setelah memilih pergi walau pada akhirnya akan kembali.

Dirangkulnya wanita itu, ia duduk di kursi roda. Tubuhnya semakin kurus dan berkeriput. Ia kesulitan bicara tapi masih mampu merespons perkataan.  Walau kini air menghujani pipi gadis itu ternyata senyum tipisnya tak lagi tertahankan, ada garis bibirnya merekah lebar membentuk senyum tahun-tahun sebelum itu. Ia tak ingin pergi lagi karena kepulangannya sudah pada tempat berteduh paling nyaman.

Pelajaran hanya di dapat pada manusia yang mau menerima kenyataan. Sesungguhnya, hal terburuk tentang pergi adalah penyesalan tentang di tinggalkan oleh seseorang yang kita paling rindukan. Jika saja sampai ajal datang kecewa masih ada dihati, bisa saja kecewa berpindah pada diri sendiri. Karna setelah penyesalan tak akan ada lagi yang bisa manusia perbuat. Hanya doa, ingatan, atau memori-memori yang tersimpan dalam ingatan walaupun suati saat nanti akan terlupakan juga oleh waktu.

Jika ada kesempatan bisa kembali, maka lakukan. Tak ada yang lebih pedih selain melenyapkan sesuatu hal yang mungkin bisa disesali.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)