Masukan nama pengguna
Selembar Selimut Merah
Cerpen Afri Meldam
PAK TUA menarik gerobak kayu reot melewati jalan utama di sebuah kompleks perumahan mewah. Usia dan penyakit telah melemahkan persendiannya, dan ia berjalan dengan sangat lamban, seolah ingin menikmati setiap detik yang berlalu. Putaran roda gerobak itu tampak bergerak tak teratur, mengikuti gerakan kaki telanjang Pak Tua. Meski demikian, jika kau melihatnya lebih dekat, wajah Pak Tua tampak begitu tenang, seolah kiamat sekalipun tak akan mengganggunya sama sekali.
Dulu ia pernah mempunyai sepasang sepatu butut, yang ia dapatkan di sebuah tong sampah di dekat stasiun. Sepatu itu sebenarnya agak kebesaran untuk ukuran kakinya, tapi ia bisa mengakalinya dengan melilitkan tali di bagian tengah sepatu, yang lalu ia ikatkan ke pergelangan kakinya. Tapi seiring waktu kondisi sepatu itu sudah tidak bisa lagi ditolong, hingga Pak Tua memutuskan membuangnya, dan sejak saat itulah ia berjalan dengan kaki telanjang.
Awalnya tentu saja ia merasakan ketidaknyamanan ketika harus berjalan tanpa alas kaki sama sekali, terutama di jalan beraspal. Namun, seiring waktu, sebagaimana hal-hal lain dalam hidup, hal itu kemudian menjadi sesuatu yang biasa saja, yang membuat telapak kakinya seakan tak lagi merasakan apa-apa: kebas dan kebal.
Ia memang tengah menarik gerobak kayunya, tapi Pak Tua tak hendak kemana-mana – tak ada tujuan tertentu. Ia tak punya siapa-siapa lagi. Seekor kucing hitam yang pernah ia anggap sebagai keluarga, beberapa hari lalu juga hilang entah ke mana. Mungkin diambil orang ketika ia sedang tidur. Kucing gendut seperti itu tentu membuat orang-orang yang melihatnya jadi tergiur, bukan untuk memeliharanya, tapi untuk menyantapnya.
Orang-orang di kota ini memang sudah banyak yang gila dan kelaparan, pikir Pak Tua. Ia memang gembel, tapi ia tak akan pernah memakan seekor kucing gendut manis seperti itu.
Berada di jalan besar di sekitar perumahan itu tentu tidak ada yang melarangnya, tetapi untuk masuk ke jalan-jalan yang lebih kecil, ke jalan-jalan yang menghubungkan rumah-rumah seluas lapangan bola itu, ia tentu akan dicegat oleh petugas keamanan. Gembel seperti dia tentu hanya akan menimbulkan keresahan para penghuni kompleks. Bahkan, untuk sekadar berbicara dan memperingatinya untuk pergi saja, para petugas keamanan itu pun sering mengambil jarak dengannya.
Pak Tua memang sudah pernah melewati jalan ini beberapa kali. Jika ia terus berjalan, maka di ujung jalan sebelum tikungan setelah keluar dari kompleks ini, ia akan menjumpai sebuah bak penampungan sampah. Siapa tahu truk sampah belum datang dan ia bisa menemukan sesuatu untuk mengisi perutnya di sana.
Namun, begitu akhirnya dengan susah payah ia sampai di bak penampungan itu, Pak Tua hanya bisa menelan kekecewaan. Tak ada apa-apa lagi yang tersisa di sana. Ia sudah keduluan petugas kebersihan.
Ia memutuskan untuk berhenti sejenak di samping bak sampah itu, berharap dalam beberapa menit kemudian ada seseorang datang membuang sisa-sisa makanan ke sana. Tapi, hampir tiga puluh menit berlalu, tak seorang pun menampakkan tanda-tanda akan menghampiri bak sampah tempat ia kini duduk menunggu.
Gerimis turun tiba-tiba. Ini memang musim hujan, dan langit juga sudah kelam sejak pagi. Pak Tua segera bangkit dan mulai kembali berjalan, menarik gerobak kayunya.
Hanya beberapa langkah dari sana, sebuah mobil terdengar melaju dari arah belakang, yang kemudian melambat dan berhenti persis di sampingnya.
Seseorang membuka kaca, lalu berteriak kepadanya, “Pak Tua, ini buatmu!” seraya melemparkan sesuatu ke dalam gerobak kayunya. Pak Tua belum sempat mengatakan apa-apa, tapi mobil itu sudah kembali melaju, meninggalkannya.
Tentu tidak sekali itu saja Pak Tua menerima pemberian dari orang-orang bermobil, yang biasanya memang hanya membuka kaca, dan kemudian mengulurkan (atau melemparkan) sesuatu kepadanya. Tak ada percakapan. Tak ada ucapan terima kasih. Karena memang mereka selalu tampak terburu-buru.
Sambil meminggirkan gerobaknya, Pak Tua menerka-nerka apa gerangan yang tadi dilemparkan oleh orang bermobil tadi itu. Makanan?
Begitu Pak Tua melongokkan kepalanya ke dalam gerobak kayu itu, ia melihat sesuatu yang terbungkus kantong kresek. Sepertinya bukan makanan, pikirnya.
Ia mengambil kantong kresek itu, membukanya, dan menemukan selembar selimut merah di dalamnya. Selimut berbahan lembut, yang mungkin lebih lembut dari bulu kucing – entah terbuat dari apa. Ada bau harum yang menguar saat Pak Tua membuka lipatan selimut itu. Ah, mimpi apa aku semalam?
Karena gerimis makin deras, Pak Tua buru-buru melipat selimut merah itu dan memasukkannya kembali ke dalam kantong kresek.
Pak Tua bersiul-siul, senang sekali ia. Di mana pun ia akan memarkir gerobak kayunya, dengan menyungkupkan selimut itu ke badannya, ia tentu bisa tidur dengan nyenyak. Selebat apapun hujan malam nanti, ia tentu tak perlu takut kedinginan lagi.
Mungkin karena ia tengah bahagia, Pak Tua berjalan lebih cepat, seolah ada kekuatan yang tiba-tiba memompakan tenaga untuk menggerakkan semua otot dan persendiannya. Dan, tak jauh dari sana, ia menemukan sekotak makanan sisa tergelatak seolah menunggunya di pinggir jalan. Ada sekepal besar nasi dan sisa-sisa daging di tulang ayam. Pak Tua makan lahap sekali, berpacu dengan gerimis yang agaknya sebentar lagi akan berubah jadi hujan.
Masih sore, tapi langit sudah sangat gelap. Pak Tua akhirnya sampai di sebuah bangunan bekas restoran tak jauh dari pasar tempat jual-beli barang seken. Begitu ia memarkirkan gerobak kayunya di pojok bangunan itu, petir menyambar-nyambar di langit, dan sebentar kemudian hujan turun dengan sangat deras.
Beruntung sekali ia hari ini, pikir Pak Tua. Seseorang memberinya selembar selimut, dan perutnya juga sudah kenyang terisi. Dan ia menemukan tempat berteduh yang cukup nyaman untuk bermalam.
Segera saja Pak Tua masuk ke dalam gerobak kayunya. Ia bentangkan selimut merah itu lalu ia sungkupkan menutupi seluruh badannya. Permukaannya yang lembut dan aroma wangi yang menguar dari selimut itu membuat Pak Tua memejamkan mata dengan segera. Dan tak butuh waktu lama hingga suara dengkurannya terdengar bersahutan-sahutan dengan hujan.
Itu mungkin akan menjadi tidur paling nyenyak selama hidupnya. Ya, kalau saja tengah malam itu sepasang gelandangan seperti dirinya tidak datang ke sana dan mencium aroma wangi yang menguar dari selimut merah Pak Tua.
Dalam gigil dan lapar yang melilit, mereka mendekat ke gerobak kayu Pak Tua. Selimut merah itu terlihat begitu hangat, dan mereka pun membayangkan betapa indahnya malam itu jika mereka bisa tidur berpelukan di dalamnya.
Namun, tentu saja tanpa Pak Tua itu di sana!
Maka, mereka pun mulai menyusun rencana.