Masukan nama pengguna
APAKAH ANDA melihat seorang lelaki di pintu stasiun dengan pisau di tangan kirinya?
Aku menanyakan hal itu kepadamu ketika kau baru saja bergabung dengan ratusan manusia yang berdesakkan di peron tiga, menunggu kereta ke Selatan, yang menurut pemberitahuan dari pusat informasi, akan datang terlambat sekitar sepuluh menit karena ‘menunggu pergantian rel di stasiun Pusat’.
Ditanya begitu, kau tentu kaget, lalu balik bertanya: “Apa? Anda bertanya apa barusan?”
Aku mengulang pertanyaan tadi dengan suara yang lebih keras.
Kau mengernyitkan dahi. “Seorang lelaki di depan stasiun dengan pisau di tangan kirinya?”
Aku mengangguk. “Anda melihatnya?”
Kau menggeleng. “Tidak. Saya tadi buru-buru, jadi tak bisa memastikan apakah tadi ada seorang lelaki di sana dengan pisau di tangan kirinya.”
“Tapi Anda percaya kalau saya mengatakan bahwa ada seorang lelaki di pintu stasiun dengan pisau di tangan kirinya?”
Sekali lagi kau mengernyitkan dahi. “Apa pentingnya saya percaya atau tidak?”
“Penting sekali.” Aku memberikan tekanan pada kata-kata itu. “Anda tentu tahu, tidak gampang mempercayai seseorang hari ini – apalagi orang asing yang baru pertama kali bertemu dengan Anda.”
“Ya, anggap saja saya percaya.”
“Tidak bisa begitu. Anda harus yakin. Percaya atau tidak.”
“Ya, saya percaya.” Jelas kau mulai kesal.
“Dan Anda tahu apa yang akan dilakukan lelaki itu dengan pisaunya?”
“Terlalu banyak kemungkinan.”
“Salah satunya?”
“Bisa jadi ia tengah mencari seseorang yang telah menyakiti kekasih atau keluarganya.”
“Terlalu klise. Seperti di film-film murahan.”
“Mungkin ia sedang menunggu selingkuhan istrinya.”
“Masih terdengar sangat klise.”
“Kalau begitu, Anda jawab saja sendiri!”
“Jangan marah dong. Coba beri saya satu jawaban lagi.”
“Mungkin ia sedang mencari Anda.”
“Aha, itu baru jawaban yang cerdas. Tidak bisa ditebak. Lantas, kira-kira apa alasannya mencari saya?”
“Anda salah satu teman kantornya yang menyebalkan, yang suka melapor ini-itu tentang dirinya ke atasan kalian, dengan harapan Anda bisa mendapatkan peluang lebih besar untuk dipromosikan.”
“Kenapa saya ingin dipromosikan?”
“Karena Anda lelaki kesepian yang haus pengakuan.”
“Begitukah?”
“Ya. Hidup Anda pasti sangat membosankan.”
Kereta ke Selatan datang. Aku menyusulmu yang buru-buru masuk bersama ratusan penumpang lainnya, berdesak-desakan. Namun, tentu saja, tak seorang pun, termasuk dirimu, yang menyadari bahwa ada sebilah pisau di tangan kiriku. ***