Flash
Disukai
1
Dilihat
13,679
Buku Bertanda Tangan
Drama

Buku Bertanda Tangan

Cerpen Afri Meldam

SETELAH MENIMBANG berhari-hari, akhirnya Suryo masuk ke toko gadai dan meletakkan buku setebal 300 halaman itu di atas meja tukang taksir dengan sangat hati-hati. “Berapa kira-kira uang yang bisa saya dapatkan untuk buku langka ini?” Ia tentu saja sengaja memberikan penekanan pada kata ‘langka’ untuk mencuri perhatian perempuan berkacamata di depannya.

Perempuan itu meliriknya dengan penuh kecurigaan dari balik kacamata, seolah ingin mengatakan bahwa ia bukanlah orang yang gampang ditipu dengan kata-kata seperti itu. Ada sedikit keraguan di wajahnya begitu memandang buku bersampul cokelat tua dengan tulisan yang sudah pudar di sana-sini. Meski ia tak menafikan bahwa beberapa buku antik memiliki nilai jual yang cukup tinggi, sikap kehati-hatian tetap harus menjadi prinsip utamanya setiap kali menerima barang gadaian.

“Saya tak pernah melihat buku ini sebelumnya,” ujarnya dingin, tak sedikit pun memperlihatkan ketertarikan.

“Anda tidak tahu siapa penulis buku ini, Nona Julia?” Suryo tentu telah membaca nama yang tertera pada papan kecil di depan petugas itu, yang dengannya ia bisa mencoba sedikit lebih akrab.

Suryo mengambil kembali bukunya dan membuka halaman pertama. Di sana, dengan tulisan yang jauh lebih jelas, ia berharap si petugas congkak itu bisa membaca judul buku langka di depannya.

Tanpa sedikit pun mengubah posisi duduknya – dan raut mukanya yang dingin – perempuan itu membaca nama penulis yang tertera pada halaman yang ditunjukkan Suryo. “Viktor Polimo? Penulis terkenalkah? Orang Rusia? Italia?” Lagi-lagi nada keraguan terdengar jelas dari tekanan suaranya.

“Anda tak kenal Viktor Polimo?” Suryo menggeser posisi tangannya, memperlihatkan tulisan dan tanda tangan sang penulis. “Anda tak kenal Viktor Polimo?” Ia kembali mengulang kalimat itu, kali ini jauh lebih tegas – seolah ‘tidak mengenal Viktor Polimo’ adalah sebuah dosa besar. “Ia seorang pengarang hebat yang pernah dilahirkan ke dunia ini. Dan tanda tangan pada buku ini kudapatkan langsung darinya!” Ada kebangaan dalam kata-kata Suryo. “Dan, coba Anda baca apa yang ia tulis di sini,” ia memposisikan buku itu agar bagian yang ia maksud terlihat oleh si petugas. “Sebuah pertemuan tak terduga dengan seorang pembaca setia. Sukses selalu, Suryo! Viktor Polimo, April 1994.

Julia – atau siapapun nama petugas itu - lagi-lagi memandang Suryo dari balik kacamatanya, berusaha mencari keseriusan di wajah tamunya. “Oh ya?” Ia menarik buku itu ke hadapannya, membaca ulang tulisan di atas tanda tangan yang tadi dibacakan Suryo, lalu mulai membolak-balik halaman-halamannya. 

Suryo lalu bercerita tentang tahun-tahun yang pernah ia lalui sebagai seorang pelayan di sebuah kapal pesiar super mewah, yang telah singgah di hampir semua kota pantai di seluruh penjuru dunia. Tentu saja ia tak lupa bercerita bahwa ia sebenarnya sudah lama mengagumi karya-karya Viktor Polimo (yang ia baca di internet), tapi baru bisa membeli salah satu buku pengarang besar itu saat mereka berlabuh di Portofino, Italia. Dan, ajaibnya, hanya berselang beberapa hari setelah ia membaca buku itu di sela-sela jam istirahat, pada suatu hari, saat kapal bertolak dari Visby menuju Zadar di Kroasia, ia secara tak sengaja bertemu dengan Viktor Polimo, yang saat itu tengah berlibur bersama istrinya. Suryo pun berlari ke kabinnya, lalu kembali dengan buku dan pena di tangan.

“Saya pengagum Anda, Tuan Polimo. Tanda tangan Anda pada buku ini akan menjadi harta berharga bagi saya,” demikian Suryo mengulang kalimat yang ia ucapkan pada pengarang buku itu.

Saat itu, waktu ia meminda tanda tangan Viktor Polimo, ‘harta berharga’ yang dimaksud Suryo tentu saja tidak merujuk pada nilai komersial yang bisa ia peroleh, tapi lebih kepada kepuasaan tersendiri sebagai seorang pembaca sekaligus pengagum karya-karya sang penulis. Namun, siapa yang menyangka, bertahun-tahun kemudian, kata-kata itu terdistorsi dengan sendirinya.

“Jika buku ini harta berharga Anda, kenapa sekarang Anda menjualnya?” Suara perempuan itu mengingatkan Suryo pada puncak musim dingin di negeri-negeri jauh di utara sana. Tidak hanya membuat kerongkongannya terasa menyempit, tetapi juga menusuk hingga ke tulang. 

Butuh sedikit waktu bagi Suryo untuk menjawab pertanyaan petugas itu. “Anda tentu tahu dan juga mungkin pernah mengalami kesulitan-kesulitan dalam hidup yang tidak memberi Anda pilihan selain merelakan hal-hal berharga dalam hidup.” Ia berhenti sejenak, mengusap matanya. “Anggap saja kesulitan itu sedang menimpaku.”

“Semua orang melewati hari-hari yang sulit belakangan ini,” ujar petugas itu sambil terus membolak-balik halaman buku itu, entah apa yang ia cari. “Tak terkecuali kami yang bekerja di sini. Jika tak dikelola dengan baik, mungkin tak lama lagi toko ini juga akan bangkrut.”

“Tapi kalian tentu masih punya cukup uang untuk membeli makanan untuk anak-anak kalian di rumah.” Kalimat berapi-api yang tadi ia ucapkan saat bercerita tentang buku bertanda tangan itu akhirnya berganti dengan kalimat dengan nada keputusasaan yang sangat kentara.

“Sayangnya kita tak bisa menebak apa yang akan terjadi esok hari.” Kalimat mirip kutipan yang keluar dari mulut petugas itu jelas tak akan mudah dicerna oleh siapa pun dalam kondisi saat itu.

“Jadi, berapa Anda bisa memberi saya uang untuk buku bertanda tangan ini?” Suryo jelas tak sedikit pun mencoba memahami kata-kata si petugas.

Julia – atau siapapun nama petugas toko gadai itu – menutup kembali buku tebal yang ditawarkan Suryo. Ia menatap Suryo lama sekali. Entah apa arti tatapan itu. ***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)