Masukan nama pengguna
Aku hanya bisa diam menatap adik. Setelah sekian lama aku pergi membawa hati, inilah pertama kalinya kami bertemu kembali.
“Sedari awal adik telah berusaha untuk menjadi istri yang baik.” Kata adik. “Tapi semakin lama adik semakin tak bisa menerima perlakuannya.”
Aku menghela nafas. “Apa adik juga sudah berusaha untuk menjadi seorang istri yang mencintai suaminya?”
Adik tak menjawab. Adik hanya diam menatapku.
Mungkin inilah takdir yang diberikan Allah untuk kami. Pertemuan kembali setelah beberapa tahun kepergianku meninggalkan adik terjadi dalam babak baru.
Karena kini adik adalah seorang janda. Tanpa anak.
Pernikahan adik dengan lelaki pilihan orangtuanya berakhir dengan perceraian. Dan adik sempat menjalani hidup bermadu karena suaminya menikah lagi dan berpoligami. Hingga akhirnya adik mengambil keputusan untuk meminta cerai.
“Kini abang tahu wanita seperti apa adik ini. Abang sudah melihat kekurangan adik.” Kata adik lagi. “Abang pasti berpikir bahwa keputusan abang dulu meninggalkan dan melepaskan adik ternyata merupakan keputusan yang tepat. Karena ternyata adik bukanlah seorang wanita yang sempurna. Adik tak bisa menyempurnakan kodrat adik sebagai seorang istri dengan menjadi seorang ibu.”
Aku mentapnya. “Seburuk itukah abang dimata adik? Apakah karena kesalahan abang dulu yang meninggalkan adik membuat adik berpikir kalau abang adalah seorang lelaki yang seperti itu?” kataku. “Adik tentu mengerti bukan alasan abang meninggalkan adik dulu adalah semata-mata untuk kebahagiaan adik?”
Adik terdiam. Adik tertunduk. Ada butiran bening keluar dari ujung matanya untuk kemudian mengalir jatuh membasahai ujung jilbabnya.
Dulu, aku dan adik pernah dekat. Sangat dekat. Walau kami tak pernah melafaskan apa yang sama-sama kami rasakan, walau aku tahu kalau aku sangat mencintai adik dan aku yakin kalau adik juga mencintaiku, kami tak pernah sekalipun mengucapkannya. Kami hanya membiarkan hati kami saling merasakan untuk kemudian sama-sama mengerti akan artinya.
Tapi kedekatan kami tak pernah disetujui kedua orangtua adik untuk sebuah alasan yang sangat kumengerti. Hingga akhirnya adik mengatakan padaku bahwa abinya menjodohkan adik dengan seorang lelaki pilihan orangtuanya.
Aku hanya diam mendengarkannya. Aku mengerti jika disaat seperti ini adik butuh keyakinan dariku. Karena seperti itulah kodrat seorang wanita yang akan selalu membutuhkan kekuatan dan keyakinan dari lelaki yang mereka cintai disaat hati mereka diliputi keraguan.
Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku tak berhak melakukan apapun walau hatiku begitu keras ingin melindunginya. Agamaku mengajarkan bahwa seorang wanita yang belum menikah akan berada dalam hak dan tanggung jawab penuh orangtuanya. Dan aku juga tak ingin merusak kepribadian adik yang terbentuk sempurna sebagai seorang anak yang taat pada orangtua. Aku tak ingin menghasut dan mempengaruhi pikiran adik dengan perasaan ini. Bagaimanapun juga aku bertanggung jawab menjaga iman dan akhlak adik sebagai bukti bahwa aku sangat mencintainya.
Itulah sebabnya aku memilih pergi meninggalkan adik. Ku terima tawaran seorang teman bekerja ke negeri seberang untuk membawa hatiku agar tidak larut dalam kesedihan. Aku bertemu untuk terakhir kalinya dengan adik, menjelaskan semuanya dengan segala bantahan adik. Aku susah payah memujuk dan memberikan pengertian padanya bahwa semua ini kulakukan demi kebahagiaannya. Bahwa tak ada orangtua yang tak menginginkan kebahagiaan untuk anaknya.
Itulah pertama kalinya aku melihat adik menangis. Benar-benar menangis.
“Ternyata jalan hidup adik tak seindah yang adik impikan. Takdir yang Allah berikan pada adik tak sebahagia seperti yang selama ini adik angankan. " Adik mengusap matanya. “Terkadang adik bertanya-tanya, apakah semua ini adil untuk adik? Apa dosa dan kesalahan adik hingga adik mendapatkan jalan hidup yang seperti ini? Adik sungguh tak mengerti. Benar-benar tak mengerti. "
“Dan adik tahu jawabannya bukan? Karena pertanyaan inilah yang dulu kita ucapkan kala kita harus berpisah; apakah takdir ini adil untuk kita?” jawabku. “Bahwa semua ini tergantung bagaimana cara kita memandang hidup, apakah kita akan memandang hidup ini dari kacamata dunia semata ataukah kita akan memandang semua takdir ini dari kaca mata akhirat.”
Adik menatapku. “Ya, adik mengerti. Karena untuk alasan itu pulalah adik meminta cerai darinya.”
Aku diam. Alasanku kembali ketanah kelahiranku sebenarnya bukanlah karena kerinduanku pada kampung halamanku semata. Alasanku mengakhiri kontrak kerjaku dan tak memperpanjangnya lagi adalah karena ini. Karena emak mengabarkan padaku bahwa adik mencariku. Adik mengunjungi rumahku untuk menanyakan keberadaanku. Dan emak tak sampai hati melihat kesedihan diwajah adik. Setiapkali, disetiap pembicaraanku dengan emak melalui telepon, emak selalu memujukku untuk pulang dan menemui adik. Karena emak begitu menyayangi adik dan sudah menganggap adik sebagai anaknya sendiri.
Dan dari emak pulalah aku mendapatkan kabar bahwa adik telah bercerai. Bahwa cobaaan yang Allah berikan dengan tak jua menganugrahkan seorang anak menjadi alasan suami adik untuk menikah lagi. Dan ternyata wanita yang menjadi madu adik adalah kekasih lelaki itu dulu sebelum menikah dengan adik. Bahwa sama seperti yang adik alami, ternyata lelaki itu juga dijodohkan oleh orangtuanya meski dia telah memiliki seorang kekasih. Dan kekurangan serta ketidak sempurnaan adik sebagai seorang wanita yang telah menjadi seorang istri, yang belum jua diberikan seorang anak menjadi alasan untuk suami adik menikah dengan kekasih lamanya.
“Adik tak ingin menjadi kufur dengan terus menerus menyesali jalan hidup yang Allah berikan. Adik ingin menghadapi setiap ketakutan dengan keyakinan. Adik tak ingin hidup dalam syak wasangka kepada tuhan yang hanya akan meracuni hati. Adik hanya ingin menghindarkan lelaki yang telah menjadi suami adik dari kesalahan dan dosa karena tak bisa berlaku adil kepada adik, istrinya. Karena itulah adik ikhlas melepaskan segala perlakuan dan kesalahan yang dia berikan pada adik dengan memohon talak.”
Aku menatap adik. “Bagaimana degan abi?”
Adik menghela nafas. “Abi hanya diam saat adik mengatakan bahwa adik akan mengambil sebuah jalan yang dibenarkan Allah tapi juga sangat dimurkaiNYA. Adik memohon pada abi untuk kali ini saja membiarkan adik menentukan jalan hidup adik sendiri. Karena selama ini tak pernah sekalipun adik membantah keinginan kedua orangtua adik. Adik selalu patuh dan taat. Jadi untuk kali ini saja adik mohon pada abi untuk mengizinkan adik mendapatkan hak adik sebagai seorang anak, sebagai seorang wanita dewasa.”
“Dan jawaban abi?”
“Abi menyerahkan semuanya pada adik.” Jawab adik. “Untuk pertama kalinya abi memberikan hak adik untuk memilih jalan hidup yang terbaik untuk diri adik sendiri. Untuk pertama kalinya adik merasa sangat bahagia karena akhirnya bisa menjadi seorang wanita yang memiliki hak untuk menentukan pilihan adik sendiri tanpa harus melanggar syariat dan ketentuan agama. Adik sungguh bersyukur. Adik benar-benar bahagia. "
Aku tersenyum. Aku yakin bahwa adik akan menggunakan hak yang menjadi miliknya dengan penuh tanggung jawab.
Adik menghela nafas. “Sekarang abang tahu betapa tidaksempurnanya adik sebagai seorang wanita. Abang tahu kekurangan adik. Kini adik hanyalah seorang janda. Abang kini bisa melihat dan menilai dengan jelas semua kelemahan adik sebagai seorang wanita. Dan adik tak pantas berharap banyak pada abang. Adik harus bisa menempatkan diri dan menyadari siapa diri adik kini. Karena abang berhak mendapatkan kebahagiaan dari seorang wanita yang sempurna.”
Dan semua ini terdengar sangat menyentuh hatiku. Ketika kelemahan seorang wanita menjadi alasan untuk seorang suami menikah lagi, ketika ketidak sempurnaan seorang istri menjadi penyebab sang suami berpoligami, Seakan pernikahan hanyalah sekedar mencari kebahagiaan mutlak dan melupakan cinta dan kasih sayang sebagai pengikatnya. Seolah-olah mendapatkan keturunan menjadi sebuah kesempurnaan wajib bagi seorang wanita tanpa memperdulikan kekurangan dan kelemahan yang diberikan Allah. Bahwa cobaan, ujian, jalan hidup dan takdir yang Allah berikan tak akan pernah sama pada diri setiap manusia.
Aku tersenyum lembut. “Adik pasti masih ingat dengan perkataan abang dulu tentang Taj Mahal, bukan? Tentang mengapa Taj Mahal bisa menjadi sebuah bangunan yang bukan saja megah namun juga sangat terasa keindahannya. Bahkan kala kita mengucapkan namanya saja kita akan merasakan keindahannya.”
Adik menatapku.
“Karena Taj Mahal dibangun atas nama cinta sejati oleh seorang lelaki untuk wanita yang sangat dia cintai sebagai bukti besarnya cinta yang dia miliki hingga waktu dan ajalpun tak mampu merenggut cinta itu darinya.”
Mata adik kini berkaca-kaca.
“Dan abang bisa menciptakan satu untuk adik.” Kataku. “Mungkin tak akan bisa sebesar Taj Mahal. Mungkin juga tak akan pernah bisa menyaingi kemegahannya. Tapi abang janji bahwa keindahannya tak akan kalah dengan keindahan Taj Mahal. Karena bangunan itu akan abang ciptakan untuk adik atas nama cinta sejati seperti yang diberikan Shāh Jahān untuk istrinya, Mumtaz Mahal. Adik tahu apa nama bangunan itu?’
Adik menggelengkan kepala.
Aku kembali tersenyum. “Pernikahan.” Kataku. “Abang ingin mendirikan sebuah bangunan indah bernama pernikahan atas nama cinta dihati dengan wanita yang selama ini abang cintai. Dan abang berjanji akan menjadikannya bangunan yang indah seindah Taj Mahal untuk kita. Adik mau, kan?”
Dan adikpun menangis. Kini aku tak lagi melihat kesedihan diwajahnya. Aku tak lagi mendengar desah pilu ditangisnya. Karena kini aku melihat kebahagiaan terpancar indah dari wajah adik, seindah Taj Mahal.
“Adik mau….”