Masukan nama pengguna
Hari yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya, aku harus beranjak pergi meninggalkan kampung halamanku di Jawa.
Sebagai seorang staf personalia disalah satu perusahaan tambang, harus siap dipindahkan kemana saja sesuai perintah Atasan.
Beberapa hari sebelumnya, aku telah bersiap mengemasi pakaian dan barang-barang yang perlu dibawa nanti. Karena di mess lebih banyak karyawan laki-laki, aku memilih untuk mengontrak yang tak jauh dari kantor tempatku bekerja.
****
Paginya setelah sampai dikantor.
Salah satu staf cabang sudah mempersiapkan sebuah kontrakan untukku. Kontrakan kayu berjejer 3 pintu.
"Ndak ada yang pake tembok Ti?" Tanyaku saat salah satu rekanku menunjukan foto-foto kontrakan kayu yang dikirimkan staf cabang.
"Tidak ada bu, karena disana memang hampir semuanya pake kayu rumahnya. Tapi ibu tenang saja, aman kok disitu. Saya pernah satu tahun di cabang dan itu kontrakan yang pernah saya tempati. Jadi staf cabang rekomendasikan kontrakan itu lagi buat ibu tempatin. Masalah kendaraan udah disiapin juga dari kantor, ibu tinggal pake." Jawabnya.
"Lah... Nanti barangkali ada yang bolong - bolong gimana? Takutlah ada yang ngintipin kalau lagi mandi atau ganti baju."
"Nanti yang bolong tinggal ibu tutup aja pake wallpaper dinding, abis pulang kerja aku temenin ibu nyari wallpaper oke?" Jawab Tia dengan senyuman.
"Oke Ti... Baiklah, makasih ya Ti infonya, kamu bisa lanjut kerja lagi."
"Baik bu..."
Tia kembali ke tempat duduknya.
Aku yang terlalu overthinking, ingin sekali rasanya mengundurkan diri. Tapi apalah daya ada seorang ibu dan adikku yang harus aku bantu karena kami hanya bertiga semenjak ayah meninggal dunia, sampai aku hampir menginjak kepala tiga belum terpikir untuk memiliki pasangan.
Tak terasa sudah tiba saatnya aku berangkat. Aku menangis memeluk ibu dan adikku.
Sekalinya merantau harus terbang keluar pulau. Batinku.
Dit dit!
Sebuah mobil kantor telah sampai di halaman rumahku.
"Bu... Keyla berangkat dulu ya, Ibu dan Lena jaga kesehatan. Kalau ada apa-apa jangan lupa kabarin Keyla." Sambari ku usap airmata ku yang tak berhenti menetes.
"Keyla... Pesan ibu kamu jaga diri baik-baik disana. Kamu tamu, hati-hati kalau bicara dan jaga sikap. Doa ibu tidak akan pernah terputus untuk anak-anaknya."
Sambil tersenyum dan mengusap air matanya, ibu mengelus kepalaku yang terbalut hijab.
Saat aku hendak memasuki mobil, Lena menangis mengejarku.
"Kak Keyla, jangan pergi. Lena sendirian ndak ada temen di rumah. Hiks, hiks, hiks." Pintanya diiringi tangisan.
"Lena kan masih ada ibu, nanti tiap kali senggang kakak telepon ibu sama Lena. Lena jaga ibu, kalau ibu sakit langsung belikan ibu obat atau bawa ibu ke dokter langganan kita. Oke?" Jawabku menenangkannya walaupun ingin sekali rasanya ku menangis lagi.
"Baik kak." Lena menangguk.
Ibu yang berdiri menghampiri Lena dan ikut menenangkannya.
"Ibu... Keyla pamit ya..." Dari dalam mobil dengan mata berkaca-kaca aku menatapnya.
"Hati-hati di jalan Key, kalau udah sampai jangan lupa kabarin ibu dan Lena."
" Siap bu... Dah ibu... Dah Lena... Assalamualaikum..."
"Walikumsalam..."
Sampailah aku pada sebuah stasiun, perjalananku menggunakan kereta Ekonomi Premium yang lumayan penuh penumpang saat ini.
Rasa sedih, ngantuk, lelah, bercampur hingga tak terasa aku tertidur dikereta.
"Kak... Kak... Bangun kak...."
Terdengar suara seorang wanita membangunkanku.
"Hmmmmm..." Aku masih mengantuk dan sedikit bingung.
" Kakak, keretanya sudah sampai di tujuan akhir."
"Owhya kak, makasih ya kak."
"Sama-sama kak..."
Ternyata seorang prami cantik yang membangunkanku. (Prami = pramugari kereta)
Tiga jam perjalanan sudah ku lewati, mata ini rasanya masih berat.
Aku kembali melanjutkan perjalananku menuju bandara kurang lebih satu jam dari stasiun kereta.
Sampailah di Bandara Soekarno Hatta, saatnya aku terbang menuju salah satu pulau yang terkenal dengan perusahaan tembangnya.
Tak terasa, pesawat telah berhasil mendarat dengan mulus di sebuah bandara di Kalimantan setelah dua jam perjalanan. Aku menunggu staf cabang yang hendak menjemputku di restoran Solaria, sekalian mengisi perutku yang sudah mulai keroncongan. Setengah jam kemudian, terlihat dua orang berpakaian rapi menghampiriku.
"Dengan ibu Keyla?" Seorang lelaki menyapaku.
"Iya betul saya..." Jawabku.
"Perkenalkan bu, saya Edo yang akan menjadi rekan ibu di kantor dan ini Ambar asisten ibu disini." Terangnya.
"Hallo ibu, perkenalan saya Ambar." Sapanya.
Ambar tersenyum menyapaku.
Kamipun berkenalan sambil mengobrol sebentar di resto.
Selang beberapa lama, kami langsung menuju sebuah perkampungan dengan menaiki sebuah mobil kantor.
Benar-benar masih asri, terlihat indah dan sederhana. Rumahnya terbuat dari kayu dengan warna-warna yang senada dengan jarak-jarak yang begitu jauh, tidak seperti dikampungku yang padat rumah penduduk.
Mobilpun berhenti di sebuah kontrakan kayu yang berdempetan. Terlihat ada seorang lelaki di kontrakkan ujung yang duduk di depan rumah. Aku tersenyum sebagai tanda menyapanya.
Diapun membalas senyumanku.
Aku segera masuk ke kontrakan ku dibantu staf cabang merapikan dan membersihkan kontrakannya.
"Semoga betah ya bu..."
"Makasih ya pak, mba, sudah bantu saya membereskan semua ini."
"Sama-sama bu... Ini sudah tugas kami, kalau ibu butuh bantuan silahkan hubungi kami."
Akhirnya mereka berduapun berpamitan untuk pulang.
Saat aku hendak mandi, aku bingung karena belum ada air sama sekali, waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 WITA.
Akupun bergegas keluar untuk bertanya ke tetangga kontrakan ujung tadi.
"Permisi pak, pak kalau mau ngisi air bagaimana ya? tadi aku coba putar krannya, airnya ndak ngalir."
"Nunggu jam 5 sore bu, nanti airnya keluar sendiri. Baru kah ibu kesini? darimana Bu?"
"Hemmm iya saya baru pertama kali ke Kalimantan. Saya dari Jawa pa..."
"Owh ibu dari Jawa, perkenalkan saya Ardi Bu, saya perantauan juga sudah lama bekerja di sini." Sembari mengulurkan tangannya.
"Owhya pak, saya Keyla, salam kenal..." Aku membalas uluran tangan tersebut dengan sedikit berbasa-basi.
Ardi namanya, usianya sekitar 35tahun dengan perawakan kurus dan tidak terlalu tinggi, kulit sawo matang dengan kumis tipis dan senyumnya yang begitu terlihat manis. Begitulah gambarannya.
Tak lupa aku mangabari ibu dan adikku. Bercerita tentang perjalananku menuju Kalimantan dan keadaan sekitarnya.
****
Kebetulan semua tetanggaku laki-laki dan dari berbagai daerah. Kami jarang bertemu dan mengobrol, karena memang sama-sama kerja di perusahaan yang berbeda. Hanya saja Ardi dan temannya lebih sering ku lihat, karena mereka pulang lebih awal. Sedikit kami bercerita, hanya sesekali saat bertemu di warung, saat berbelanja sayur, dan saat bergantian selang air.
Tak terasa 6 bulan sudah aku berada di sini, aku yang hobi fotografi, di hari libur memilih berjalan sendiri menyusuri perkampungan bertemu warga sekitar atau sekedar untuk mempotret dan menikmati keindahannya. Sesekali Ambar menemaniku ke hutan ataupun ke pelabuhan hanya untuk berjalan - jalan sebagai hiburan semata, karena memang jauh dari perkotaan.
Selain memotret, aku juga kerap kali memancing saat berada di kampungku. Jadi tak lupa aku membawa alat pancing ke tanah rantau.
****
Di hari minggu pagi, Edo mengajakku memancing bersama Ambar dan rekan kerja lainnya yang sedang libur kerja. Akupun dengan senang ikut serta bersama mereka.
Sampailah kami di sebuah pelabuhan kampung tempat warga biasa menunggu speed. Beberapa warga sudah terbiasa memancing di sekitar pelabuhan kampung. Kami mencari tempat keberuntungan masing-masing di sekitarnya.
Terlihat Edo begitu semangat dan langsung melemparkan umpan pancingnya. Hanya selang beberapa menit, umpannya mulai bergerak, dengan semangat Edo manariknya. Kami semua bersorak ikut senang saat umpan Edo mendapatkan ikan nila yang cukup besar.
"Keren kali kau, dapat ikan nila besar! Baru juga lempar umpan sebentar." Teriak salah satu rekan kerja.
Dan beberapa orang pindah ke tempat Edo memacing, berharap mendapat keberuntungan yang sama.
Tak lama kemudian umpanku seperti ada yang menarik.
"Yey aku dapet juga..." Teriaku.
"Wih ibu Keyla dapet juga tuh..." Ambar dari jauh menimpali.
Saat aku kesusahan menarik senar pancing, tiba-tiba ada tangan yang membantuku.
"Ardi..." Gumamku saat aku menoleh kebelakang.
Jarak wajah kami begitu dekat, tangannya menyentuh tanganku sembari membantuku menarik senar pancing.
"Hmmmm..." Ardi hanya tersenyum menatapku.
Aku pun menatapnya, senyumnya memang begitu manis. Membuatku terpesona.
"Oi dapet besar nih ibu... Pantesan berat sekali." Teriak Ardi membuyarkan lamunanku.
"Hui... Gede sekali ikannya bisa dimakan rame-rame nih..." Terdengar suara mereka berteriak.
Akhirnya ikan nila pun berhasil kami angkat ke darat.
"Makasih pak, udah bantu angkat ikannya."
"Sama-sama bu..." Dengan senyuman Ardi meninggalkanku dan kembali ke tempat pancingannya.
Aku yang sedari tadi fokus memancing tidak menyadari ada Ardi yang juga sedang memancing tidak jauh dari tempatku.
"Oi aku dapat juga oi..." Teriak Ambar.
Kami beruntung hari itu beberapa ikan kami dapatkan. Aku lihat Ardi juga mendapatkannya.
Matahari mulai terik, rasanya begitu menyengat kulit. Aku mulai membereskan alat-alat pancing beserta kawanannya.
"Ibu... Mau pulang bareng?" Ardi menghampiriku sambil bersiap pulang.
" Emmmh... Gimana kalau bapak yang ikut kami aja naik mobil. Kebetulan masih muat." Jawabku.
"Emmm, boleh deh... Ibu lain kali kalau mau mancing ajak saya aja bu. Saya mancing sendirian tiap kali pulang kerja, temen saya diajak cape katanya."
"Oke pak... Next kalau mau mancing aku kabarin bapak."
"Boleh minta nomer WhatsApp ibu kah? Biar gampang ngabarinnya?"
"Owh boleh pak, 0853********."
"Oke bu... Aku save ya, nanti aku WA ibu."
"Mari kita ke mobil..." Ajakku seraya mempersilahkan.
"Ndak repotin nih?"
"Ndak kok tenang aja..." Terangku.
Dit dit!
"Ayo pulang yok..." Teriak Edo yang sudah mulai bersiap untuk menyetir.
Ambar, aku dan Ardi duduk di bagian tengah.
Mereka semua sudah menikah, kecuali aku dan Ardi yang masih belum ku ketahui status pernikahannya.
Sesekali Edo menggodaku, diluar jam kerja kami semua sama, tidak ada atasan dan bawahan. Kami semua teman.
"Keyla kamu kan cantik, tinggi, putih, langsing, karir oke, nunggu pangeran yang kaya apa si?" Cletuknya.
"Nanti juga saatnya pasti ketemu... Yah kan bu?" Ambar yang selalu tetap memanggilku ibu ikut menyeletuk.
Kulihat Ardi senyum-senyum liat aku digoda teman-temanku. Sesekali Ardi juga ikut mengobrol dan bercanda dengan kami.
Hari demi hari kami lalui, setahun lebih kami sering bersama. Kini Ardi lebih sering mengajakku, entah memancing, menemani memotret, nyari buah Lai ke hutan, membuat hubungan kami semakin dekat. Hingga bukan lagi ibu dan bapak panggilan kami satu sama lain.
****
Pada suatu ketika Ardi mengajakku ke pelabuhan di waktu sore, bukan untuk memancing tapi untuk melihat senja.
Angin terasa begitu sepoi-sepoi, ditemani suara burung dan riuk ombak yang begitu syahdu. Aku dan Ardi menatap ke arah lautan yang begitu luas sembari menanti senja. Kami mengobrol masalah pekerjaan dan keluarga.
Dan tiba-tiba...
" Keyla, kamu maukah menikah denganku?" Tanyanya.
Dengan wajah berbinar aku mengangguk menyetujuinya.
"Alhamdulillah... Nanti aku dan keluargaku akan segera mempersiapkannya, terimakasih Keyla sudah mau menerimaku dan menemaniku selama ini, ya walaupun cuma lewat telepon kita saling berkenalan sama keluarga."
"Hmmmmm... Iya mas... Semoga niat baik kita Allah lancarkan ya." Timpalku.
"Aamiin..." Ardi menimpalinya.
Ardi bekerja di perusahaan sebelah sebagai seorang sepervisor mekanik. Orangnya dewasa, supel, humoris dan tegas itu yang membuatku jatuh cinta.
Kamipun menikah di Jawa, keluarga Ardi yang dari jauh datang ke acara pernikahan kami. Edo, Ambar dan temen-temen dekatku mengajukan cuti agar bisa hadir juga diacara pernikahanku dan Ardi. Acara kamipun berjalan lancar.
Selesai cuti aku dan Ardi segera berangkat ke Kalimantan untuk kembali ke rutinitas masing-masing.
Kini Ardi yang berpindah ke kontrakan ku. Kontrakan ujung ditempati salah seorang temannya.
****
Aku mengambil cuti bulanan, karena sedang tidak enak badan. Saat aku sedang santai di teras rumah, terlihat seorang wanita dengan membawa dua anaknya. Mengetuk - ngetuk kontrakan ujung.
Tok tok tok...
"Assalamualaikum..." Hingga berulang.
Aku pun keluar dari rumah dan menghampirinya.
"Maaf mba cari siapa ya?"
"Cari mas Ardi mba, mereka berdua sangat rindu ayahnya." Terangnya sambil mengelus rambut anaknya.
Deg!!! Ayah???
Jantung ini rasanya mau copot. Mataku mulai berkaca-kaca, melihat seorang wanita dengan 2 anak kecil yang dibawanya.
"Ardi siapa ya mba?" Tanyaku memastikan.
"Ardi Alamsyah mba, udah hampir 2 tahun dia tidak pulang kampung. Wajar si mba, dia sekarang jadi supervisor mungkin sibuk. Hanya uang transferannya saja yang masuk sama videocall kami, kasihan mereka nyari in ayahnya. Apalagi yang paling kecil baru ketemu ayahnya bentar doang waktu baru lahir."
Aku jatuh lemas tersungkur, lelaki yang aku nikahi baru sebulan ini ternyata suami orang yang sudah memiliki dua anak kecil yang begitu lucu.
Tega sekali kamu mas, sudah membohongiku.
"Mba kenapa mba???" Wanita itu panik membangunkanku.
Aku menangis memeluknya tanpa sepatah katapun, dengan perasaan yang amat merasa bersalah.
"Mba aku antar masuk ke rumah ya..."
Wanita itu mamapahku masuk ke dalam kontrakanku diikuti kedua anaknya.
Aku masih menangis dan mematung melihat mereka bertiga.
Wanita itu tampak bingung, sesekali melihat ke arahku. Aku yang masih lemas berusaha untuk beranjak mengambilkan minum dan snack untuk mereka.
"Silahkan mba, diminum seadanya. Ayo dek dimakan snacknya." Sambil ku buka beberapa snack kemasan.
"Sudah berapa lama mba menikah?" Tanyaku.
"Lima tahun mba, tapi kami menikah siri. Keluarga mas Ardi tidak merestui hubungan kami." Jawabnya sedih.
Pantesan saat cek berkas sebelum menikah tidak ada yang janggal, karena memang mereka nikah siri dan keluarga Ardipun sama sekali tidak mengetahuinya.
"Kenapa gak diresmikan mbak? Lima tahun sudah lama sekali mba?" Sambungku agak kesal.
"Itu ndak akan pernah terjadi mba. Selagi mas Ardi masih bertanggungjawab pada kami, saya ikhlas kok mbak... A-em..." jawabnya dengan senyuman kecil sembari menyuapkan snack ke anaknya.
Bodoh, kenapa mau seperti ini! Hardiku dalam hati.
Aku membiarkan mereka tinggal di kontrakkan ku sampai mas Ardi pulang kerja.
Aku ajak mereka makan siang bersama di sekitar sini. Saat kami berpapasan di jalan, tak ada tetangga dan teman kerja mas Ardi yang tau kalau wanita yang bersamaku adalah istri siri suamiku.
Aku kecewa sama kamu mas, sangat kecewa.
Waktu sudah mulai sore. Sebentar lagi suamiku pulang. Aku menunggu dengan penuh amarah yang masih kutahan.
Rengganis dan dua anaknya masih menunggu di rumahku.
Ya namanya Rengganis, dia begitu cantik dengan rambut panjangnya yang tergerai.
Bim!
Suara klakson mobil suamiku pulang.
Aku segera membukakan pintu sebelum suamiku turun dari mobilnya.
Dua anak Rengganis langsung lari menuju suamiku saat baru saja turun dari mobil.
"Ayah... Ayah..." Teriak mereka sambil berlari menuju ayahnya. Ya mas Ardi, suamiku juga!
Pemandangan yang begitu indah, aku dan Rengganis melihatnya dari depan rumah. Dua anak mereka kini di pelukan mas Ardi, suamiku yang juga merupakan suami Rengganis.
Terlihat mas Ardi mematung, dengan tetapan tidak percaya bahwa ada istri sirinya sedang bersamaku.
Dia segera menghampiri kami.
" Rengganis..." Gumamnya.
" Mas Ardi..." Rengganis menyambutnya dan segera memeluknya.
Tak terasa air mataku jatuh, ku seka air mataku. Berpura-pura kuat dihadapan mereka.
"Keyla, kenapa ada Rengganis disini?" Tanya mas Ardi.
Aku hanya menggelengkan kepala tak bisa berucap, sulit rasanya untuk menerima semua kenyataan ini.
Aku berlari menuju kamar. Berteriak sekencang-kencangnya berharap semua ini hanya mimipi. Tapi nyatanya tidak, ini sebuah kenyataan yang harus ku hadapi.
"Keyla sayang... Maafkan mas, mas akan jelaskan semua ini."
"Kenapa mas? Kenapa kamu gak jujur dari awal? Kamu udah mempunyai istri dan anak. Apa kata orang nanti? Aku seorang pelakor yang udah menghancurkan pernikahan kamu dan Rengganis dan juga hati kedua anak kalian." Jawabku dengan suara serak sambil menahan air mata yang tak berhenti menetes.
"Rengganis memang istri siriku, tapi itu dulu. Dua tahun lalu aku telah mentalaknya, tapi sepertinya Rengganis tidak tau apa arti talak dalam agama ku. Selama ini aku tetap bertanggung jawab menafkahi kedua anakku. Aku takut kalau aku berkata jujur, kamu ndak akan mau menerimaku yang ternyata seorang duda yang sudah mempunyai dua orang anak. Aku tahu sampai kapanpun keluargaku tidak akan pernah merestui hubunganku dan Rengganis. Kami beda keyakinan. Awalnya Rengganis masuk ke agamaku, 5 tahun sudah aku bersamanya. Tapi dia memutuskan untuk kembali ke keyakinanya. Rasa cinta mungkin bisa mengubah segalanya, tapi tentang keyakinan akan tetap kembali ke hati masing-masing dan tak akan pernah ada keinginan untuk memaksanya. Rengganis selalu meminta ku untuk kembali, dan aku yang mengikuti agamanya. Tapi tidak, untukmulah agamamu, untukulah agamaku. Itu yang selalu aku tanamkan dalam kehidupanku."
" Mas Ardi... Maafkan aku mas..." Aku segera meminta maaf dan memeluknya.
"Masalah Rengganis, nanti kami bicarakan lagi berdua. Pasti dia akan memahaminya. Untuk masalah anak, terserah kamu mau ikut aku atau ikut Rengganis." Terangnya.
Kami berlima duduk di ruang tamu bersama dan mengambil jalan tengah untuk masalah ini. Rengganis sebenarnya masih mencintai mas Ardi. Tetapi mas Ardi lebih memilih agamanya dan dia telah memilihku.
Rengganis berpamitan dengan kami, kedua anaknya sementara ikut denganya. Karena aku dan mas Ardi masih sama-sama sibuk bekerja. Kamipun mengantarkannya sampai di bandara.
"Maafkan aku mba, aku ndak tau mas Ardi sudah pernah menikah dan memiliki anak. Semoga suatu saat mba Rengganis dipertemukan dengan lelaki baik yang seiman." Ucapku sambil memeluknya.
"Makasih ya mba, kamu sudah baik ke kami. Mas Ardi gak salah bisa mendapatkan wanita sebaik dan sholehah seperti kamu." Timpalnya.
"Ayah nanti kapan-kapan kita main bareng ya..." Cletuk anak sulungnya yang lucu dan menggemaskan.
"Iya sayang..." Jawabnya, sambil memeluk dan mencium anak-anaknya.
" Dah..." Seru mereka.
"Dadah..." Kami pun membalasnya.
Kami berpisah di bandara, aku dan mas Ardi melihat Rengganis dan anaknya dari kejauhan.
"Kamu bukan pelakor, ingat!"
Mas ardi mencubit hidungku.
"Iya mas," aku tersenyum menatapnya.
Mas Ardi orang yang baik, aku yakin itu! Dua tahun berlalu dia masih bertanggung jawab menafkahi kedua anaknya yang nominalnya lebih dari cukup. Sebagai wanita yang paham agama, tidak akan pernah melarang seorang ayah manfkahi anaknya. Karena sampai kapanpun tidak pernah ada yang namanya mantan anak.
TAMAT