Cerpen
Disukai
1
Dilihat
1,960
Raga yang Membeku
Slice of Life


Risa tumbuh dalam keluarga yang sederhana. Sejak kecil, hidupnya terasa cukup karena kedua orang tuanya bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Ayahnya adalah seorang pegawai swasta, sementara ibunya menjalankan usaha kecil-kecilan di rumah. Meskipun bukan keluarga kaya, mereka masih bisa hidup dengan nyaman.

Namun, seiring berjalannya waktu, keadaan mulai berubah. Saat Risa memasuki bangku SMA, kondisi ekonomi keluarganya semakin menurun. Kakaknya masih berkuliah di semester akhir, dan kesehatan orang tua mereka mulai menurun. Perlahan, Risa mulai merasakan bagaimana hidupnya tak lagi sebebas dulu. Ia harus mulai menyesuaikan diri dengan keterbatasan yang ada.

Setelah lulus SMA, Risa menghadapi dilema besar. Orang tuanya ingin ia melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, meyakini bahwa gelar sarjana adalah jalan menuju kehidupan yang lebih baik.

Namun, Risa tahu betul bahwa kondisi keuangan keluarganya tidak cukup stabil untuk membiayai kuliah sekaligus memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Ia ingin realistis, mempertimbangkan untuk bekerja terlebih dahulu sebelum kuliah. Tetapi di sisi lain, ia juga tidak ingin mengecewakan orang tuanya.

Akhirnya, dengan perasaan bimbang, Risa tetap melanjutkan kuliah. Ia tidak ingin menjadi beban, tetapi pada saat yang sama, ia sadar bahwa langkah ini akan semakin membebaninya.

Masalah mulai muncul sejak awal perkuliahan. Orang tuanya hanya bisa memberinya uang saku sebesar Rp200.000 per minggu. Jumlah yang terasa sangat terbatas, terutama karena ia harus memenuhi kebutuhan akademik seperti buku, fotokopian, dan tugas-tugas kuliah, selain biaya makan dan kebutuhan pribadi lainnya.

Ia berusaha sekuat tenaga untuk menghemat, tetapi tetap saja uang itu selalu terasa kurang. Sementara itu, biaya kuliahnya terus meningkat karena ia mengambil SKS lebih banyak demi bisa lulus tepat waktu.

Yang membuatnya semakin frustrasi adalah ketika ia melihat bagaimana orang tuanya masih mengutamakan hal-hal lain seperti renovasi rumah atau membeli barang-barang baru. Ia tidak ingin menyalahkan mereka, tetapi sulit baginya untuk tidak merasa sendirian dalam perjuangan ini.

Di tengah perjuangannya menghadapi kesulitan finansial, Risa mengalami luka lain—kali ini dari lingkaran pertemanannya.

Di kampusnya, ada budaya di mana teman-teman sekelompoknya sering mengumpulkan uang untuk membelikan hadiah ulang tahun bagi anggota kelompok mereka. Awalnya, Risa mencoba berpartisipasi sebisa mungkin. Namun, semakin lama, jumlah iuran semakin besar.

Biasanya, mereka mengumpulkan Rp100.000 per orang untuk membeli hadiah mewah, seperti jam tangan mahal, parfum branded, atau barang-barang lain yang sedang tren. Setiap bulan, ada saja yang berulang tahun, bahkan kadang lebih dari satu orang dalam sebulan.

Bagi Risa, jumlah itu terlalu besar. Ia sadar bahwa uang Rp100.000 bisa ia gunakan untuk makan selama beberapa hari atau membeli kebutuhan kuliahnya yang lebih mendesak.

Suatu hari, ketika seorang teman mereka berulang tahun, Risa dengan berat hati berkata bahwa ia tidak bisa ikut iuran karena sedang kesulitan keuangan. Ia berharap teman-temannya mengerti. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.

Sejak hari itu, perlahan mereka mulai menjauh darinya. Mereka tidak lagi mengajaknya berbicara, bahkan di dalam grup obrolan, Risa sering diabaikan. Ketika ia mencoba bergabung dalam percakapan, mereka hanya memberikan jawaban singkat, seolah tidak tertarik dengan keberadaannya.

“Seratus ribu aja nggak bisa? Kan cuma setahun sekali,” salah satu dari mereka pernah berkata dengan nada meremehkan.

Risa hanya bisa diam. Ia ingin menjelaskan bahwa iuran itu bukan hanya sekali, tetapi terjadi berkali-kali dalam setahun. Namun, ia tahu, tidak ada gunanya berbicara kepada orang-orang yang tidak ingin mengerti.

Sejak itu, ia mulai merasa benar-benar sendirian.

Kesulitan finansial yang terus menekan membuat Risa akhirnya mengambil keputusan yang salah: mengajukan pinjaman online sebesar 10 juta rupiah tanpa sepengetahuan orang tua dan kakaknya.

Awalnya, ia berpikir bahwa pinjaman itu akan membantunya bertahan. Ia berniat melunasi utang tersebut sendiri, sedikit demi sedikit, dengan mencari pekerjaan sampingan.

Namun, kenyataan tidak seindah yang ia bayangkan. Uang itu cepat habis, sementara cicilan yang harus dibayar terus bertambah dengan bunga yang mencekik. Risa mulai terjebak dalam lingkaran utang yang sulit ia kendalikan.

Ia mencoba mencari pekerjaan tambahan, tetapi penghasilannya tidak cukup untuk menutupi utang yang terus membengkak. Ia mulai stres, sulit tidur, dan semakin sulit berkonsentrasi di kelas.

Akhirnya, dengan berat hati, ia mengakui semuanya kepada kakaknya.

Kakaknya akhirnya membantu melunasi pinjaman itu. Namun, bukan dengan hati yang sepenuhnya ikhlas.

Yang paling menyakitkan bagi Risa bukanlah sekadar masalah utang itu sendiri, tetapi kenyataan bahwa kakaknya menceritakan kejadian ini kepada tante-tante mereka dan beberapa orang lainnya.

Risa merasa harga dirinya hancur. Ia sudah merasa bersalah, tetapi kini ia juga merasa dipermalukan. Ia tahu ia telah membuat kesalahan, tetapi apakah harus diumbar kepada orang lain?

Namun, meskipun hatinya sakit, Risa berusaha untuk tetap tegar. Ia berjanji bahwa suatu hari nanti, saat ia sudah bekerja dan kehidupannya lebih stabil, ia akan mengganti semua uang yang telah dikeluarkan kakaknya.

Di saat Risa merasa benar-benar sendirian, ia bertemu dengan dua orang yang perlahan menjadi cahaya dalam hidupnya.

Mereka adalah Dinda dan Ayu—dua mahasiswi yang memiliki latar belakang sederhana seperti dirinya. Berbeda dengan teman-teman sebelumnya, Dinda dan Ayu tidak pernah menilai seseorang berdasarkan materi.

Mereka tidak mempermasalahkan apakah Risa bisa ikut iuran ulang tahun atau tidak. Mereka tidak peduli apakah Risa memiliki barang-barang mahal atau sekadar memakai pakaian sederhana.

Yang mereka lihat hanyalah pribadi Risa yang sebenarnya—seseorang yang baik, pekerja keras, dan selalu berusaha untuk bertahan meskipun dalam kondisi sulit.

Pelan-pelan, Risa mulai merasa lebih dihargai. Bersama Dinda dan Ayu, ia bisa menjadi dirinya sendiri tanpa takut dihakimi.

Suatu hari, Dinda berkata, “Persahabatan bukan tentang seberapa banyak uang yang kita punya. Yang penting adalah bagaimana kita bisa saling mendukung.”

Kata-kata itu membuat Risa sadar bahwa selama ini, ia terlalu berusaha untuk diterima oleh orang-orang yang salah.

Sampai saat ini, Risa masih merasa bersalah atas apa yang terjadi. Namun, dengan dukungan dari Dinda dan Ayu, ia mulai belajar untuk memaafkan dirinya sendiri.

Risa tahu bahwa ia tidak bisa terus terpuruk dalam rasa bersalah. Menghabiskan waktu dengan menyalahkan diri sendiri tidak akan mengubah apa pun. Masa lalu memang penuh dengan kesalahan, tetapi bukan berarti ia harus terperangkap di dalamnya selamanya. Ia masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki semuanya.

Ia mulai menata kembali langkahnya, meskipun perlahan dan penuh perjuangan. Setiap harinya, ia mencoba lebih fokus pada kuliahnya, menyelesaikan tugas-tugas dengan lebih tekun, dan mencari peluang agar bisa segera lulus. Ia sadar bahwa satu-satunya cara untuk keluar dari situasi ini adalah dengan menyelesaikan studinya dan mendapatkan pekerjaan yang layak.

Meskipun banyak orang yang menyalahkannya—menganggapnya ceroboh, tidak bertanggung jawab, atau bahkan bodoh karena mengambil keputusan yang salah—ia memilih untuk tidak lagi terjebak dalam penilaian mereka. Ia tidak bisa mengubah cara orang lain memandangnya, tetapi ia bisa membuktikan bahwa dirinya lebih dari sekadar kesalahan masa lalu.

Yang memberinya kekuatan bukanlah pengampunan dari orang-orang yang menghakiminya, tetapi keyakinan bahwa masih ada orang-orang yang percaya padanya. Dinda dan Ayu, sahabat-sahabat yang selalu mendukungnya, tetap ada di sisinya tanpa menghakimi. Mereka tidak melihatnya sebagai seseorang yang gagal, tetapi sebagai seseorang yang masih memiliki kesempatan untuk bangkit.

Risa mulai bekerja lebih keras, mencari pekerjaan sampingan agar bisa meringankan bebannya. Ia tahu, jalannya tidak akan mudah. Akan ada malam-malam di mana ia merasa lelah dan ingin menyerah, tetapi ia menolak untuk kembali terjebak dalam keputusasaan.

Setiap langkah kecil yang ia ambil adalah bukti bahwa ia tidak menyerah pada keadaan. Suatu hari nanti, ia akan berdiri di atas kakinya sendiri, bukan hanya untuk membayar semua yang pernah ia pinjam, tetapi juga untuk menunjukkan kepada dirinya sendiri bahwa ia mampu.

Dan selama masih ada harapan, selama masih ada orang yang percaya padanya, itu sudah cukup untuk membuatnya terus maju.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)