Cerpen
Disukai
0
Dilihat
5,724
Tidak Ada yang Spesial di Hari Ulang Tahu
Drama

Malam itu, aku duduk sendirian di kamar kosku yang sempit, ditemani segelas kopi instan yang mulai dingin di atas meja. Ponselku tergeletak di samping, sunyi tanpa notifikasi berarti. Aku melirik jam dinding, jarumnya mendekati angka dua belas. Di luar sana, dunia sepertinya masih hidup; suara tawa dan obrolan dari tetangga kos menyusup melalui celah pintu. Tapi bagiku, dunia terasa mati.

Hari ini ulang tahunku. Tepat 23 tahun. Namun, sama seperti tahun-tahun sebelumnya, tidak ada yang mengingatnya. Aku menghela napas panjang, mencoba mengusir rasa sepi yang menggantung di udara. Dulu, ulang tahun adalah sesuatu yang kutunggu-tunggu. Saat aku masih kecil, ibuku selalu memastikan hari itu istimewa. Sebuah kue kecil dengan lilin-lilin mungil, nyanyian sederhana, dan senyum hangat dari keluargaku.

Tapi semuanya berubah ketika aku mulai dewasa. Keluarga kami tidak lagi sedekat dulu. Ayah sibuk dengan pekerjaannya, ibu lebih sering di luar rumah, dan aku? Aku berusaha menyesuaikan diri dengan hidup yang perlahan kehilangan kehangatannya. Hingga akhirnya, ulang tahun menjadi sesuatu yang kusesali, sebuah kenangan pahit yang entah mengapa tetap harus dirayakan.

Aku memandangi kalender di dinding. Tanggal 24 November. Tidak ada tanda khusus di sana, tidak ada coretan merah, tidak ada catatan kecil yang menandakan bahwa hari ini berbeda. Semua tampak biasa saja. Aku berusaha menerima itu, tapi tetap saja ada rasa sesak yang tak bisa kuhindari.

Saat aku berusia tujuh tahun, ulang tahunku dirayakan dengan meriah. Ayah membawa pulang kue tart besar bergambar karakter kartun favoritku. Teman-temanku diundang, dan kami bermain sampai lelah. Ibuku memasak makanan yang paling kusuka: nasi kuning, ayam goreng, dan puding cokelat sebagai pencuci mulut. Hari itu, aku merasa menjadi anak paling istimewa di dunia.

Namun, segalanya mulai berubah ketika aku masuk SMA. Keluargaku tidak lagi menganggap ulang tahunku sebagai sesuatu yang spesial. Hanya ucapan singkat di pagi hari, kadang bahkan terlambat karena mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Teman-teman sekolah pun tidak ada yang peduli. Mungkin itu hal yang wajar. Aku juga tidak pernah mengingat ulang tahun orang lain, kecuali jika ada perayaan besar-besaran.

Puncaknya adalah ulang tahunku yang ke-18. Usia yang katanya menandakan kedewasaan. Aku berharap sesuatu yang spesial, tapi justru sebaliknya. Hari itu berlalu seperti hari biasa. Tidak ada pesta, tidak ada kue, bahkan tidak ada ucapan dari keluargaku. Aku ingat duduk di sudut kamar, memandangi layar ponsel yang kosong. Rasanya seperti dunia menertawakanku.

Kembali ke malam ini, aku mencoba membiasakan diri dengan kesendirian. Bagaimana pun, ini bukan pertama kalinya. Aku membuka ponsel, menggulir media sosial, berharap menemukan sesuatu yang bisa mengalihkan pikiranku. Namun, yang kulihat justru foto-foto pesta ulang tahun orang lain, lengkap dengan senyum bahagia mereka.

Aku menutup ponselku, merasa semakin kecil. Rasanya seperti ditinggalkan di sudut gelap, sementara semua orang bersenang-senang tanpa peduli keberadaanku. Tapi aku tahu, ini bukan salah mereka.

Aku menghela napas panjang dan mencoba berdamai dengan situasi ini. Mungkin sudah waktunya aku berhenti berharap. Berhenti menunggu orang lain untuk mengingat hariku.

Pukul dua belas tepat, aku memutuskan untuk membuat ulang tahunku berbeda. Aku pergi ke dapur kos, mengambil mie instan, dan mulai memasaknya. Aku tidak punya lilin, jadi aku menyalakan korek api dan menancapkannya di atas mie yang sudah matang. Aku tertawa kecil melihat betapa konyolnya itu, tapi entah kenapa aku merasa sedikit lebih baik.

“Selamat ulang tahun,” bisikku kepada diriku sendiri. “Kamu sudah bertahan sejauh ini. Terima kasih karena tidak menyerah.”

Aku meniup korek api itu, lalu menikmati mie instan di hadapanku. Rasanya biasa saja, tapi malam ini, aku ingin percaya bahwa ini adalah hadiah terbaik untuk diriku sendiri.

Setelah selesai makan, aku duduk di depan cermin, memandangi wajahku yang sedikit kusut karena kelelahan. 23 tahun. Usia yang tidak terlalu muda, tapi juga belum terlalu tua.

Aku mulai berpikir tentang apa yang sudah kucapai selama ini. Mungkin tidak banyak. Pekerjaanku hanya pegawai biasa di sebuah toko, gajiku pas-pasan, dan masa depanku masih penuh tanda tanya. Tapi setidaknya, aku masih hidup. Masih punya kesempatan untuk berubah, untuk mencoba lagi.

Aku ingat salah satu teman kantorku pernah berkata, “Hidup itu seperti ulang tahun. Kadang ada pesta, kadang tidak. Tapi intinya, kamu masih ada di sini, dan itu sudah cukup untuk dirayakan.”

Kata-kata itu membuatku tersenyum. Mungkin dia benar. Mungkin ulang tahun bukan tentang orang lain, bukan tentang pesta atau hadiah. Ini adalah hari di mana aku bisa menghargai diriku sendiri, apa pun yang terjadi.

Malam semakin larut, dan aku mulai merasa sedikit lega. Meskipun tidak ada yang mengingat ulang tahunku, aku tidak akan membiarkan itu merusak hariku. Aku berhak untuk bahagia, meskipun hanya untuk diriku sendiri.

Saat aku berbaring di tempat tidur, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa tahun depan akan lebih baik. Bukan karena orang lain, tapi karena aku ingin hidupku lebih berarti.

Dan untuk malam ini, aku hanya ingin berterima kasih pada diriku sendiri. Karena telah bertahan. Karena tidak menyerah. Karena telah menjadi aku.

Selamat ulang tahun, diriku. Kamu pantas mendapatkan kebahagiaan, meskipun itu dimulai dari hal kecil.

Aku berbaring di tempat tidur setelah malam panjang yang kulalui sendirian. Rasanya aneh mengucapkan selamat ulang tahun kepada diriku sendiri, tetapi aku merasa itu perlu. Dalam kesunyian malam, aku mencoba menenangkan pikiran, mengingat kembali perjalanan hidupku hingga usia 23 tahun.

Mungkin aku tidak seperti orang lain yang memiliki banyak kenangan indah di hari ulang tahun mereka. Aku tidak pernah mendapat kejutan dari teman-teman di tempat kerja, tidak pernah mendapati balon-balon berwarna cerah menggantung di langit-langit kamarku saat bangun tidur. Tapi, itu bukan alasan untuk merasa kurang berharga.


“Selamat ulang tahun, diriku,” bisikku pelan. “Terima kasih karena sudah bertahan sejauh ini. Terima kasih karena masih di sini, meskipun tidak ada yang merayakanmu. Kamu pantas mendapatkan kebahagiaan, bahkan jika itu dimulai dari hal kecil seperti ini.”


Sambil berbaring di ranjang, aku kembali merenung. Apa yang sudah kucapai dalam hidup ini? Pekerjaan yang kubanggakan mungkin belum ada, mimpi-mimpi yang dulu kubuat saat SMA masih terasa jauh. Tapi aku tahu satu hal: aku masih memiliki waktu.


Aku memejamkan mata dan berjanji pada diriku sendiri. Tahun depan, aku tidak akan membiarkan ulang tahunku berlalu dengan perasaan kosong seperti ini. Bukan karena aku berharap orang lain akan ingat, tetapi karena aku ingin membuatnya istimewa untuk diriku sendiri. Aku ingin belajar mencintai diriku lebih baik. Aku ingin membangun hidup yang membuatku tersenyum bangga setiap kali aku bercermin. Malam ini, meskipun sederhana, adalah langkah pertama untuk mewujudkan itu semua.

Selamat ulang tahun, diriku. Terima kasih telah menjadi aku. Semoga tahun-tahun ke depan membawa lebih banyak keberanian, cinta, dan kebahagiaan. Kamu layak mendapatkannya.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)