Cerpen
Disukai
4
Dilihat
8,783
Daun Terakhir di Ranting yang Sepi
Romantis

Aku teringat saat pertama kali mendengar kata-katanya. “Kau bilang aku burung?” ucapnya dengan nada pelan, nyaris seperti gumaman pada dirinya sendiri. Di matanya, ada sorot lelah yang sulit diabaikan, sorot yang membawa beban kisah yang terlalu dalam untuk diungkapkan dalam satu pertemuan singkat.

Perempuan itu bernama Laras, dan pertemuan kami bukanlah kisah pertemuan biasa. Aku menemukannya saat berjalan sendirian di sebuah hutan kecil di pinggiran kota, sebuah tempat yang jarang dikunjungi orang. Hari itu musim gugur, daun-daun berguguran dan menyelimuti tanah dengan karpet keemasan. Di sanalah, di tengah sunyi dan dinginnya sore, aku melihat sosok Laras duduk di atas akar pohon besar, menatap ke arah sungai kecil yang mengalir tenang. Dia tampak sendirian, terasing, seperti sebuah daun terakhir yang bergeming sendirian di ranting pohon besar itu.

Awalnya, aku ragu untuk mendekatinya. Namun, sesuatu dalam diriku mendorong untuk mengetahui siapa dirinya dan apa yang membuatnya begitu sendu. Ketika aku mendekat, dia hanya mengangkat pandangan dan menatapku dengan tatapan tenang, seakan menyadari keberadaanku sejak lama. Tanpa banyak kata, aku duduk di sampingnya, dan kami terdiam dalam kebisuan yang anehnya terasa begitu nyaman.

“Aku sering datang ke sini,” ucapnya akhirnya, tanpa menoleh ke arahku. “Tempat ini adalah satu-satunya ruang di mana aku bisa benar-benar merasa bebas.”

“Kenapa kau memilih tempat ini?” tanyaku dengan nada hati-hati.

Dia tersenyum samar. “Di sinilah aku merasa terhubung dengan diriku sendiri. Seperti daun terakhir di ranting, yang berusaha bertahan, meski angin tak pernah berhenti menerpa.”

Aku tidak terlalu mengerti apa yang dia maksud, tapi aku tetap mendengarkan. Kata-katanya seperti rangkaian puisi yang penuh makna tersembunyi, namun terasa dekat di hati. Laras mulai bercerita tentang hidupnya, tentang bagaimana ia tumbuh sebagai seorang anak yang selalu haus akan kebebasan, namun terpenjara oleh banyak harapan yang tidak pernah bisa ia pahami sepenuhnya.

Dia pernah bercita-cita menjadi seorang seniman, melukis keindahan dan kesedihan dunia dalam warna-warna yang hanya bisa ia lihat. Tapi keluarganya memiliki rencana lain. Mereka menginginkan Laras menjalani kehidupan yang “normal,” kehidupan yang terarah dan mapan—pekerjaan tetap, rumah di pinggiran kota, dan rutinitas yang bisa diprediksi. Keinginan mereka membuatnya semakin merasa terikat, seperti daun yang tidak boleh jatuh, meskipun sudah kering dan ingin terlepas.

“Aku tidak suka membayangkan keindahan pada diriku,” katanya lagi sambil menatap ke arah langit yang mulai memerah. “Orang lain melihat aku sebagai seseorang yang bebas, tapi sesungguhnya aku selalu merasa terkekang. Aku seperti daun terakhir yang mencoba bertahan di ranting yang sudah tua dan rapuh. Sebenarnya aku ingin jatuh, tapi aku tidak berani. Aku tidak tahu apa yang akan menungguku di bawah sana.”

Laras memandang jauh ke dalam air sungai, seolah mencari jawaban dalam riak-riak kecil yang terbentuk di permukaannya. Aku hanya bisa diam, menyadari bahwa kata-katanya datang dari kedalaman hati yang jarang ia tunjukkan pada orang lain. Dia mengaku mencintai alam, tapi membenci angin, seakan angin adalah pengingat bahwa hidup selalu berubah, dan perubahan itu sering kali tak bisa dikendalikan.

Selama berbulan-bulan setelah pertemuan pertama itu, kami sering bertemu di tempat yang sama. Tanpa sadar, kami menjadi sahabat tanpa ikatan yang resmi, saling mengisi kekosongan dalam hidup masing-masing. Aku mendengarkan ceritanya, dan dia mendengar segala keluh-kesahku tanpa penilaian. Setiap kali bertemu, ada kehangatan yang seolah menyelimuti kami, menguatkan kami untuk menghadapi realita hidup yang keras di luar sana.

Namun, semakin kami dekat, aku mulai menyadari bahwa ada sesuatu dalam diri Laras yang membuatnya sulit untuk benar-benar merasa bebas. Meski ia terlihat seolah menikmati kebersamaan kami, ada kalanya tatapan matanya menjadi kosong, seakan ia sudah tidak lagi hadir di sini. Aku pernah menanyakannya suatu hari, bertanya tentang apa yang sebenarnya ia rasakan, tetapi Laras hanya menjawab dengan senyuman tipis. “Mungkin, aku hanya ingin menemukan tempat di mana aku bisa benar-benar menjadi diriku sendiri. Tanpa perlu berpura-pura, tanpa harus mengejar harapan orang lain.”

Hari demi hari, musim berganti. Suatu sore di musim dingin, Laras tiba-tiba berkata padaku bahwa ia berencana untuk pergi. “Aku tak bisa terus bertahan di sini,” katanya dengan nada yang tak pernah kudengar sebelumnya. Ada kesedihan di matanya, namun juga ada keberanian yang tak pernah kulihat darinya sebelumnya. “Aku harus mencari tempat di mana aku bisa menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar daun terakhir di ranting.”

Aku terdiam, mencoba mencerna maksudnya. Kami duduk dalam kebisuan, hanya suara angin musim dingin yang terdengar, menggoyangkan ranting-ranting pohon di sekitar kami. Aku tak tahu harus berkata apa, tak tahu bagaimana cara meyakinkannya untuk tetap tinggal. Pada saat itu, aku menyadari bahwa tidak ada yang bisa mencegahnya. Laras harus menjalani perjalanan yang ia yakini, meski itu berarti meninggalkan segala yang telah kami bagi.

Keesokan harinya, Laras benar-benar pergi. Tak ada kata perpisahan, tak ada pesan yang ia tinggalkan. Hanya kenangan akan dirinya yang tersisa, dan hutan kecil yang sunyi itu. Aku sering kembali ke tempat itu, berharap menemukan jejaknya atau setidaknya mendengar suaranya. Tapi semua telah berubah. Sungai yang dulu tenang kini terasa berbeda, seperti meratapi kepergiannya yang tak terelakkan.

Bulan demi bulan berlalu, hingga akhirnya aku menerima kabar darinya. Sebuah surat singkat, tanpa alamat pengirim. Di dalamnya, ia menulis sebaris kalimat sederhana yang penuh makna, “Aku tidak suka membayangkan keindahan pada diriku, karena aku tidak pernah percaya janji api akan menerjemahkanku ke dalam bahasa abu.”

Aku tidak sepenuhnya memahami apa yang ia maksud, namun di dalam kalimat itu aku bisa merasakan jiwanya, semangatnya yang bebas. Laras, daun terakhir yang menolak tunduk pada angin, akhirnya menemukan jalannya, meskipun itu berarti ia harus meninggalkan segala yang pernah kami alami bersama.

Aku melipat surat itu dengan hati-hati dan menyimpannya di dalam laci. Meski kepergiannya terasa seperti kehilangan yang mendalam, aku tahu bahwa pertemuan kami bukanlah kebetulan. Laras telah mengajarkan padaku arti kebebasan yang sejati, kebebasan yang tidak bisa dimiliki oleh mereka yang selalu ingin tetap bertahan. Kadang, kita harus berani jatuh, menanggalkan ranting yang kita pegang erat, dan mempercayakan diri pada nasib—meski kita tidak tahu apa yang menanti kita di bawah sana.

Hari-hari terus berjalan, dan aku kembali ke hidupku yang biasa. Namun, dalam benakku, Laras tetap hidup. Ia akan selalu menjadi daun terakhir di ranting pohon besar itu, yang tak pernah takut pada jatuh, meski bumi dan udara masih menantinya dalam ketidakpastian

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)