Masukan nama pengguna
Kota ini adalah labirin beton. Gedung-gedung tinggi berdiri angkuh, melindungi bayangan mereka dari sinar matahari yang perlahan menghilang di ufuk barat. Jalanan macet, suara klakson bersahutan, dan udara penuh polusi seperti biasa. Kota ini seolah-olah bernapas dengan kesibukan dan kepenatan, memaksa siapa pun yang hidup di dalamnya untuk bergerak cepat atau tersingkir.
Di sebuah halte bus, Lala duduk terpaku. Kardus di pangkuannya terasa lebih berat dari seharusnya, seperti beban dari semua kenangan yang bersemayam di dalamnya. Sore ini, ia kehilangan pekerjaannya. Tidak ada peringatan, tidak ada belas kasihan. Sebuah amplop dengan tulisan “PHK” sederhana tadi pagi telah mengakhiri delapan tahun dedikasinya sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan properti.
Matanya yang sembab memandang kardus yang penuh dengan dokumen kantor. Di antara lembaran-lembaran itu, ada satu foto yang mengintip dari sela-sela berkas. Foto masa kecilnya—saat ia berusia tujuh tahun—bersama ayah dan ibunya. Dalam foto itu, mereka semua tersenyum lebar. Ayahnya menggenggam erat bahunya, sementara ibunya memegang seragam sekolahnya yang terlalu besar. Kenangan itu menyakitkan, karena sekarang kedua orang tuanya sudah tiada, dan Lala harus menghadapi dunia sendirian.
Lala menahan napas. “Apa yang akan terjadi sekarang?” pikirnya. Tanpa pekerjaan, bagaimana ia akan membayar sewa apartemennya? Bagaimana ia akan bertahan hidup di kota yang tidak pernah memberi ruang untuk berhenti?
Saat ia terhanyut dalam pikirannya, dari sudut matanya ia melihat seorang pria tua berjalan di antara mobil-mobil yang berhenti karena lampu merah. Pria itu membawa setumpuk koran di tangannya. Dengan suara lantang, ia menawarkan koran kepada siapa pun yang lewat.
“Korannya, Pak! Bu! Berita terbaru! Murah meriah!” seru pria itu.
Lala memperhatikan pria itu dengan saksama. Ia tampak lincah meskipun tubuhnya ringkih dan langkahnya tidak terlalu cepat. Topinya yang kusam bertengger miring di kepalanya, sementara kemeja lusuhnya berkibar terkena angin. Ada sesuatu tentang pria itu—kesederhanaannya, kerja kerasnya, atau mungkin senyumnya—yang menarik perhatian Lala. Ia merasa bahwa pria itu, entah bagaimana, memahami betapa beratnya hidup di kota ini.
Pria itu, Sapardi namanya, akhirnya berjalan ke arah halte. Ia melihat Lala duduk sendirian dengan mata yang masih merah karena menangis. Sapardi menghentikan langkahnya dan menyapanya.
“Permisi, Mbak. Mau koran?” tanyanya sambil menyodorkan koran.
Lala mendongak, terkejut oleh suaranya. Ada kehangatan dalam senyuman Sapardi yang membuatnya, meskipun hanya sesaat, lupa pada kesedihannya. Ia mengangguk kecil.
“Boleh, Pak,” jawab Lala sambil mengambil beberapa lembar uang dari sakunya. Senyum tipis terlukis di wajahnya, yang sebelumnya murung.
Sapardi menyerahkan koran itu dengan cekatan. Setelah itu, ia duduk di sebelah Lala di halte. Ia menghela napas, lalu menyeka keringat dari dahinya dengan sapu tangan yang sudah kusut.
Lala membuka koran itu, meskipun pikirannya jauh dari isi berita. Sementara itu, ia memperhatikan Sapardi dari sudut matanya. Pria tua itu mengeluarkan termos kecil dari tasnya, menuangkan kopi ke cangkir plastik, lalu menyeruputnya pelan-pelan.
“Masih laku ya, Pak, koran seperti ini?” tanya Lala tiba-tiba.
Sapardi tersenyum kecil. “Laku, Mbak, kalau ada orang gedongan yang mau borong.”
Lala tertawa pelan. “Tumben. Saya pikir zaman sekarang sudah jarang yang baca koran. Semua kan serba digital.”
Sapardi mengangguk. “Iya, gimana ya, Mbak. Kalau hari biasa, paling laku nggak sampai sepuluh. Kadang malah dibeli buat bungkus gorengan. Tapi ya… yang penting bisa buat makan keluarga.” Nada bicaranya santai, meskipun ada sedikit satire di balik kata-katanya.
Lala tersenyum mendengar itu, meskipun hatinya masih terasa berat. Ia melihat kembali ke dalam kardus yang dipangkunya. Dokumen-dokumen itu kini terasa tidak berarti. Mereka adalah hasil kerja kerasnya selama bertahun-tahun, tetapi sekarang tidak ada nilainya lagi.
Sapardi melirik ke arah kardus itu. “Mbak-nya habis dari mana? Kelihatannya kok murung banget.”
Lala menghela napas panjang. Matanya berkaca-kaca lagi. “Baru saja… dipecat dari kantor, Pak.”
Sapardi tertegun. Ia menatap Lala dengan penuh empati. “Oh, maaf ya, Mbak. Saya nggak bermaksud bikin sedih.”
Lala menggeleng. “Tidak apa-apa, Pak. Mungkin memang sudah takdirnya begini. Saya cuma harus lebih giat lagi dan belajar bersyukur.”
Sapardi mengangguk pelan. “Iya, Mbak. Yang sabar ya. Hidup ini kan kadang memang nggak adil. Tapi kalau kita ikhlas, insya Allah ada jalan.”
Lala hanya tersenyum kecil. Ia ingin percaya pada kata-kata Sapardi, tetapi hatinya masih dipenuhi oleh kecemasan.
Setelah beberapa saat hening, Sapardi menatap kardus di pangkuan Lala dengan penuh penasaran. “Itu apa, Mbak? Brosur, ya? Kalau butuh bantuan, saya bisa bantu sebarin. Profesi kita kan sama, sama-sama menyebarkan.”
Lala tertegun mendengar itu. Sebelum ia sempat menjelaskan, Sapardi sudah berdiri dan mengambil kardus itu dari pangkuannya.
“Eh, Pak! Itu bukan brosur!” seru Lala panik, tetapi Sapardi sudah berjalan ke trotoar jalan.
Sapardi mengangkat kardus itu tinggi-tinggi, lalu mulai berteriak kepada orang-orang yang lewat, “Ayo, brosur baru! Yang mau kerja bisa ambil di sini!”
Lala buru-buru mengejar Sapardi. “Pak! Itu berkas kantor saya, bukan brosur! Tolong kembalikan!”
Sapardi menoleh, wajahnya penuh kebingungan. “Oh, bukan brosur, ya? Maaf, Mbak. Saya kira ini buat disebarin.”
Lala menghela napas panjang, lalu dengan lembut mengambil kardus itu dari tangan Sapardi. Meski hatinya masih kesal, ia tidak bisa marah. Ada sesuatu dalam raut wajah pria tua itu—ketulusannya, atau mungkin caranya tersenyum dengan polos—yang membuat beban di hati Lala terasa sedikit lebih ringan.
“Maaf, Mbak. Saya kira itu brosur buat disebarin. Maksud saya cuma mau bantu,” kata Sapardi, sambil menyeka peluh di dahinya. Suaranya lirih, hampir seperti seorang anak kecil yang baru saja dimarahi.
Lala mengangguk, mencoba menenangkan diri. “Nggak apa-apa, Pak. Saya tahu maksud Bapak baik.” Ia menarik napas dalam-dalam, kemudian meletakkan kardus itu kembali di pangkuannya. “Ini bukan brosur, Pak. Isinya berkas-berkas kerjaan saya dari kantor. Saya baru saja dipecat tadi pagi.”
Sapardi terdiam sejenak, menatap Lala dengan sorot mata penuh empati. Ia tidak tahu harus berkata apa, tapi dalam benaknya, ia bisa merasakan beratnya cobaan yang sedang dialami wanita muda di depannya. Ia duduk kembali di samping Lala, mengambil posisi yang lebih nyaman, lalu berkata pelan, “Ya Allah, berat banget ya, Mbak. Tapi… Mbak masih muda, masih banyak jalan. Jangan terlalu dipikirin. Nanti malah sakit.”
Lala tersenyum kecil mendengar itu, meski senyumnya lebih menyerupai lengkungan getir. “Iya, Pak. Tapi kadang saya bingung. Saya sudah kerja keras selama bertahun-tahun, tapi akhirnya tetap harus berhenti. Rasanya seperti semuanya sia-sia.”
Sapardi mengangguk pelan. Ia mengerti perasaan itu, meskipun hidupnya sendiri penuh dengan kegagalan kecil yang ia terima dengan lapang dada. “Kadang hidup memang nggak adil, Mbak,” katanya, memandang jalanan yang mulai sepi dari kendaraan. “Tapi kita ini kan cuma manusia. Nggak semua hal bisa kita kendalikan. Yang penting, jangan berhenti jalan.”
Kata-kata itu terasa sederhana, tapi ada kedalaman yang membuat Lala terdiam. Ia memandang pria tua itu, mencoba memahami bagaimana seseorang dengan kehidupan yang tampak begitu berat bisa berbicara dengan tenang dan penuh keyakinan.
“Pak Sapardi sendiri gimana? Bapak kelihatannya capek banget,” tanya Lala, mencoba mengalihkan pikirannya.
Sapardi tertawa kecil. “Capek? Ya jelas, Mbak. Jalan dari pagi sampai sore nawarin koran, siapa yang nggak capek? Tapi ya… gimana lagi? Saya punya keluarga di rumah yang harus makan. Anak-anak saya masih sekolah. Kalau saya berhenti, mereka juga berhenti.”
Lala mendengar itu dengan hati yang tiba-tiba terasa sesak. Ia sadar, sebesar apa pun masalahnya, ada orang-orang di luar sana yang menghadapi tantangan hidup yang jauh lebih berat. Tapi Sapardi tidak terlihat menyerah. Pria tua itu tetap menjalani hari-harinya dengan semangat, meskipun hidup memberinya begitu banyak alasan untuk menyerah.
Lala menatap kardus di pangkuannya, lalu menoleh ke arah Sapardi. “Pak Sapardi, terima kasih ya. Saya rasa… mungkin saya butuh waktu untuk melihat semuanya lebih jernih. Tapi kata-kata Bapak tadi bikin saya sadar kalau saya harus terus jalan, meski pelan-pelan.”
Sapardi tersenyum lebar, memperlihatkan barisan gigi yang tidak sempurna. “Betul, Mbak. Jalan aja dulu. Nanti juga ketemu arahnya.”
Dalam hati, Lala merasa bahwa pertemuan ini bukan kebetulan. Sapardi mungkin hanya tukang koran, tapi ketulusannya telah menyentuh sisi rapuh dalam dirinya, memberikan secercah harapan di tengah keterpurukannya.
Hujan mulai turun rintik-rintik. Sapardi segera berdiri, menyimpan koran-korannya di tas plastik agar tidak basah. “Saya duluan ya, Mbak. Semoga sore ini jadi lebih baik buat Mbak.”
Lala mengangguk, lalu melambaikan tangan saat pria itu berjalan menjauh, menyatu dengan keramaian kota. Hujan yang turun perlahan membasahi halte, tapi Lala tetap duduk di sana. Di tengah dinginnya sore, untuk pertama kalinya ia merasa sedikit lebih hangat.