Masukan nama pengguna
Langit sore itu seperti kanvas hitam dengan sapuan abu-abu kelabu. Pukul lima, Indah duduk di bangku halte yang berwarna kusam, ditemani oleh deru kendaraan yang berlalu-lalang di jalanan basah. Hujan belum turun, tetapi angin dingin yang membawa aroma tanah basah mulai menggigit kulitnya. Sesekali ia melirik ponselnya—layar menampilkan pukul 17.15—dan berulang kali ia memeriksa aplikasi transportasi, berharap ada bus yang mendekat. Namun, semuanya nihil.
“Kenapa lama sekali?” gumam Indah, setengah mengeluh, setengah berdoa. Langit tampak seperti akan runtuh.
Hampir pukul enam, bus yang dinantinya belum juga datang. Kegelapan mulai menyelimuti, dan Indah merasa seperti ditelan oleh suasana mencekam. Kilatan cahaya dari petir menyambar sebatang pohon di seberang jalan, disusul suara gemuruh yang memekakkan telinga. Indah tersentak, menggenggam erat tali tasnya. Dia merasa ada sesuatu yang salah.
Hujan akhirnya turun deras, menghantam genting halte dan mengguyur jalanan dengan intensitas yang membuat air menggenang. Indah menunduk, merapatkan jaket tipisnya yang tidak cukup hangat. Pukul 18.30, tak ada gunanya lagi menunggu di halte. Ia memutuskan untuk bergerak—mencari tempat berteduh atau angkutan umum yang barangkali lewat.
Langkah kakinya membawanya melewati jalan sempit yang sepi, diterangi lampu-lampu jalan yang redup. Di tengah derasnya hujan, ia melihat gubuk kecil di sisi jalan, dikelilingi oleh anyaman bambu yang tampak rapi. Ada suara tawa dan obrolan dari dalam. Indah, yang sudah basah kuyup, memutuskan untuk meminta izin berteduh. Ia berharap orang-orang di dalamnya cukup ramah untuk memberinya tempat hingga hujan reda.
“Permisi,” katanya sambil mengetuk pintu kayu yang setengah terbuka. Beberapa lelaki muda di dalamnya menoleh, menghentikan percakapan mereka sejenak.
Salah satu dari mereka, seorang lelaki dengan rambut cepak dan senyum ramah, menyambutnya. “Silakan masuk, Mbak. Hujannya deras sekali di luar.”
Indah mengucapkan terima kasih dengan suara gemetar. Dia duduk di sudut gubuk, mencoba menghangatkan diri. Para lelaki itu terlihat santai, bahkan sedikit bercanda tentang cuaca buruk yang tiba-tiba datang. Namun, ada satu sosok yang membuat Indah merasa tidak nyaman.
Di antara mereka ada seorang lelaki yang tampak berbeda. Tubuhnya kekar, rambutnya panjang, dan tatapannya tajam. Indah merasa sorot matanya terlalu lama tertuju padanya, seperti sedang menilai atau merencanakan sesuatu.
“Nggak bawa payung ya?” Lelaki itu akhirnya berbicara, suaranya berat dan tegas.
Indah mengangguk. “Iya, tadi nggak nyangka bakal hujan deras.”
“Namamu siapa?” tanyanya lagi.
“Indah,” jawabnya singkat, merasa agak gugup.
“Sigit,” lelaki itu memperkenalkan diri sambil tersenyum tipis. Tapi ada sesuatu dalam senyum itu yang membuat Indah semakin waspada.
Sigit memberikan jaketnya kepada Indah. Awalnya Indah ragu, tetapi dinginnya malam membuatnya menerima tawaran itu. “Makasih,” katanya pelan, meski ia tetap menjaga jarak.
“Di sini lama-lama nggak enak. Rumahku deket, kalau mau, bisa numpang istirahat,” kata Sigit.
Indah menolak dengan halus, tetapi Sigit terus membujuknya. Lelaki lain di gubuk itu sepertinya tidak terlalu peduli; mereka lebih sibuk dengan obrolan mereka sendiri. Setelah beberapa kali desakan dan rasa dingin yang mulai tak tertahankan, Indah akhirnya setuju.
“Cuma sebentar aja, ya. Sampai hujan reda,” katanya.
Sigit mengangguk. “Tenang aja.”
Rumah Sigit terletak tak jauh dari gubuk, sebuah bangunan kecil dengan dinding kayu dan atap seng. Meski sederhana, rumah itu terlihat bersih. Indah duduk di sofa ruang tamu, sementara Sigit ke dapur untuk mengambilkan segelas air hangat.
“Kamu kerja di mana?” tanya Sigit, memulai obrolan.
Indah menjawab seadanya, berusaha menjaga percakapan tetap ringan. Namun, ada sesuatu dalam cara Sigit memandangnya yang membuatnya gelisah.
“Sendirian, ya? Nggak ada yang jemput?” Sigit melanjutkan.
Indah menggeleng. Ia merasa pertanyaan itu terlalu personal, tapi ia tidak ingin terlihat kasar.
Waktu berlalu, dan Indah yang kelelahan akhirnya terlelap di sofa. Sigit mengamati wajahnya yang tertidur, senyumnya perlahan berubah menjadi seringai licik. Dia merasa ini adalah kesempatannya.
Sigit berusaha mendekati Indah yang tertidur, tetapi suara ketukan keras di pintu membuatnya terlonjak. Dengan raut kesal, ia berjalan ke pintu dan membukanya.
“Ngapain lo?” tanya Sigit dengan nada tidak ramah kepada seorang pria yang berdiri di ambang pintu. Pria itu adalah salah satu teman Sigit dari gubuk tadi. Namanya Budi, seorang lelaki kurus dengan mata penuh perhatian.
“Gue cuma mau balikin jaket gue yang ketinggalan,” kata Budi sambil melirik ke dalam rumah. Dia melihat Indah yang tertidur di sofa dan segera menyadari ada yang tidak beres.
“Lo nggak bawa cewek itu buat hal-hal aneh, kan?” tanya Budi dengan nada mencurigakan.
Sigit tertawa kecil, berusaha mengelak. “Santai aja. Gue cuma bantu dia berteduh.”
Budi tidak percaya begitu saja. Dia memutuskan untuk tinggal lebih lama, duduk di teras rumah dan membuat alasan bahwa dia ingin menunggu hujan reda bersama.
Ketika Indah terbangun, dia melihat Sigit duduk di kursi di seberang sofa, menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Namun, kehadiran Budi yang masih di teras membuatnya merasa sedikit lega.
“Hujannya udah agak reda,” kata Indah sambil berusaha berdiri.
“Udah mau pulang?” tanya Sigit dengan nada yang terdengar seperti keberatan.
“Iya, terima kasih banyak udah ngizinin saya berteduh,” jawab Indah sopan.
Budi masuk ke dalam rumah, melihat situasi, dan menawarkan diri untuk mengantar Indah kembali ke jalan besar. “Gue sekalian mau balik. Gue temenin aja,” katanya.
Sigit hanya mendengus, tetapi tidak bisa menahan mereka. Dalam hati, dia merasa kesal karena rencananya gagal.
Dalam perjalanan kembali ke halte, Budi berbicara kepada Indah. “Mbak, hati-hati sama Sigit. Dia orangnya suka aneh-aneh kalau ada kesempatan.”
Indah merasa merinding mendengar itu, tetapi ia bersyukur bahwa ada orang seperti Budi yang membantunya. Setelah mencapai halte, ia menunggu taksi online yang akhirnya datang setelah beberapa menit.
Di dalam taksi, Indah termenung. Malam itu memberinya pelajaran berharga tentang bahaya yang tidak terduga. Hujan deras, halte sepi, dan gubuk kecil itu mungkin hanya awal dari sesuatu yang jauh lebih buruk jika ia tidak berhati-hati.
Ketika akhirnya sampai di rumah, ia langsung masuk, merapatkan pintu, dan memeluk dirinya sendiri. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu waspada, bahkan dalam situasi yang tampak sepele sekalipun.
Sigit, di rumahnya, duduk dengan wajah muram. Gagalnya rencananya malam itu membuatnya berpikir ulang tentang tindakannya. Namun, ia tahu bahwa kebiasaan buruknya tidak akan mudah hilang. Sedangkan Budi, yang merasa bahwa dia telah menyelamatkan seseorang dari bahaya, hanya bisa berharap bahwa Indah akan baik-baik saja dan melupakan kejadian malam itu.
Di luar, hujan akhirnya berhenti. Namun, malam tetap dingin, seperti mengingatkan bahwa bahaya bisa datang kapan saja, terutama ketika seseorang lengah di tengah derasnya badai kehidupan.