Cerpen
Disukai
1
Dilihat
4,373
Pukuc Kadit Odlas
Slice of Life

"Kami dari PT. Indah Jaya menawarkan pinjaman dana online dengan bunga 0,3 %. Proses pencairan dana cepat & aman. Minat chat kode otak: 140292.” Pesan itu sudah tiga kali memasuki menu pesan di software otakku. Sebelumnya juga datang pesan-pesan yang sudah tak terhitung jumlahnya menyesaki memori penyimpananku. Aku kewalahan menghapusnya. Kadang kurasa pening di kepala saat kebanyakan pesan datang bertubi-tubi. Agggrrrhhh... Dunia macam apa ini? Selalu menyajikan sampah tak diundang di kepala.

Twit! Twit! Kulihat, ada notifikasi berita berjudul ‘Terkena Hack, Otak Presiden Eror!’

“Hahaha... ” Kudengar suara tawa cucuku yang sedang duduk di teras luar rumah. Sontak, pandangan mata melompat ke arahnya. Tawanya terpingkal-pingkal, begitu asyik dan tanpa beban. Dahiku mengerut. Pikiranku membentuk kalimat-kalimat tanya. Segera kukirim pesan ke kode otaknya.

“Ada apa, Jon?”

“Otak presiden kena hack katanya, Kek. Otaknya eror. Hahaha... ”

Hah! Dia membaca berita itu rupanya. Aku juga tidak bisa menahan tawa. Melihat kelucuan itu, pening di kepalaku hilang sebentar. Tapi terasa pening lagi saat datang pesan-pesan sampah menyesaki otakku lagi. Sementara sampah-sampah lama masih menumpuk dan menyeruakkan bau busuknya ke hidung. Mulutku mual-mual ingin memuntahkannya.

Semua yang maya tidak mau kalah dalam memberi pengaruh terhadap yang nyata. Berita-berita itu hanyalah sampah maya, tapi baunya menyengat ke indra nyata. Bahkan kebisingannya melebihi semua suara yang terjadi di sekitar alam fisikku. Otak presiden yang eror terdengar lebih menggema dari pada kabar tentang tetangga yang tiba-tiba sinting karena patah hati berkali-kali.

Aku segera mengambil langkah dengan menghapus data-data lama yang sudah membusuk. Lalu membuang data-data baru yang tercemari oleh sisa kebusukan data-data sebelumnya yang tersimpan secara otomatis di memoriku untuk meringankan beban kepala. Begitu kepalaku terasa ringan, aku kirim pesan ke Joni.

“Joni, ayo, main bola offline sama kakek!”

Hingga beberapa menit, pesanku masih belum dibaca juga. Dia masih menggerak-gerakkan kepala, seperti ada permainan lain yang lebih asyik dalam kepalanya. Dengan sabar, aku menunggu dia menanggapi. Sesekali dia geram sendiri, tegang, bersemangat lalu menerkamkan kedua tangannya ke atas seraya berteriak, “goooooolll!!!” Kemudian berdiri dan berjoget-joget melakukan sebuah selebrasi. Bahkan berjingkrak-jingkrak melompat-lompat di sofa, lalu bersujud berkali-kali di lantai berkarpet tebal bergambar Lionel Messi memegang bola emas.

Aku mengerutkan dahi yang memang sudah mengerut karena ketuaan.

Lama sekali menunggu balasan dari cucuku satu-satunya itu. Sambil lalu, aku memperhatikan file-file di otak. Kutemukan sebuah file yang tersimpan sejak lima tahun yang lalu. Aku temukan sebuah berita, bahwa semua keluargaku, semua penduduk di kotaku, semua rakyat di negeriku bahkan seluruh penduduk dunia sudah bersepakat untuk menyambungkan antar otak secara online. Gejet yang dulu pernah semarak di masa mudaku sudah punah. Karena otak manusia sudah bisa berfungsi lebih dahsyat.

Beberapa tahun lalu telah lahir teknologi baru yang kecil mungil, ditempelkan di atas kepala manusia. Orang-orang menyebutnya rayap-angin. Aku tidak tahu kenapa bernama begitu. Aku hanya mengira-ngira, mungkin karena dengan makhluk baru itu, semua otak bisa bertukar pikiran dengan siapa saja di seluruh dunia meskipun tidak pernah bertemu secara offline, seperti rayap berbentuk angin yang membawa pemikiran dan informasi merayapi seluruh otak manusia. Tentu itu hanya perkiraan yang sangat memaksakan. Yang jelas, penamaannya sudah menjadi kesepakatan global yang tak ada satu orang pun berhak mempertanyakannya.

Rayap-angin sudah mampu membentuk semacam norma baru; komunikasi offline harus mengalah dari komunikasi online. Otakku berkali-kali nge-blank karena tidak sanggup menghadapi keramaian yang sulit aku redam. Semua kalimat kesedihan, suara deru tangisan, bahkan kekeh-kekeh tawa dari manusia seluruh dunia bercampur aduk melintasi arus pikiranku. Bahkan hati yang belum sempat diprivasi oleh pemiliknya menghamburkan uap kebusukan yang menyengat dan mengguncang perut untuk membuncahkan muntah. Berkali-kali aku mesti sibuk men-skip sengatan bau hati yang terbuka begitu saja.

Sebagai makhluk purba yang hidup di periode rayap-angin ini, aku menjadi manusia yang paling tersiksa. Seperti kali ini, rasa pening karena bising selalu singgah di kepala. Perut mudah mual dengan beraneka ragam berita dan tersingkapnya tabiat manusia yang menghamburkan bau yang menyiksa. Anehnya Joni dan orang-orang segenerasinya biasa-biasa saja dan seakan menerima semua bau dan kebisingan sebagai kenikmatan.

*

Kuperhatikan Joni—melalui otaknya—pasti sedang main game online dengan orang lain di seberang sana. Dan dia sedang memenangkan permainan itu. Sudah pasti aku tak mungkin mengajaknya bermain sebagaimana keinginanku untuk meringankan peningku. Aku harus memasuki permainannya secara online. Tapi aku tak pandai bermain begitu. Berkali-kali Joni mengajariku, tapi aku tak kunjung bisa.

“Ah! Kakek ini gak asyik!” ucap Joni suatu ketika, karena kesal melihatku tak kunjung bisa belajar permainannya. Lantas dia meninggalkanku, memasuki permainan dan dunianya sendiri.

Aku memeras otak. Mencari cara, dengan apa aku bisa menyela permainannya agar bisa mengajaknya bermain bola offline? Aha! Eureka! Satu-satunya yang paling aku ketahui adalah telepon. Aku jalankan otakku. Aku cari menu panggilan. Aku menelepon Joni. Benar saja, ini menjadi cara yang ampuh. Kulihat kepalanya gemetar sejenak. Lalu dia melihat ke arahku. Sementara di telingaku terdengar suara, “Kode otak yang Anda tuju sedang sibuk. Cobalah beberapa saat lagi.” Ternyata Joni me-rejek panggilanku. Dia melangkah menuju ke arahku. Lalu menatap mataku.

“Klung!” Kurasakan ada inbox di otak. Aku membaca sejenak.

“Ada apa, Kek?” tulisnya.

“Ayo main sama kakek!” balasku.

“Gak. Kakek bisanya cuman main offline. Kalau main online sama kakek gak asyik.”

Aku tercengang. Aku tak tahu mesti membalas bagaimana. Jarak generasi yang begitu jauh, membuatku tidak bisa berbuat apa-apa agar bisa selaras dengan zaman yang sedang dia hadapi. Aku langkahkan kaki keluar rumah. Untung, salah satu peninggalan alam yang bernama angin masih ada dan membersamai masa tuaku. Sehingga aku masih bisa menghirup udara segar yang meliuk-liuk halus menuju ke lubang hidung. Meskipun kenyataan angin selalu kalah dengan kenyataan cahaya yang dipancarkan oleh segala peristiwa maya.

Di teras ini, aku melihat para tetangga yang berada dalam beraneka-ragam posisi. Tetangga yang kumaksud adalah orang-orang yang usianya masih segenerasi dengen Joni. Sangat sulit menemukan orang yang segenerasi denganku. Aku seperti manusia yang terkucil dan terasing dari kehidupan yang memaksaku mengikuti segala huru-haranya ini—huru-hara dunia lain yang bergema di tengah-tengah kesepian dunia nyata.

“Oh ya, Kek! Aku baru punya cara. Biar kakek tahu cara main yang asyik, aku mau share kemampuan bermainku,” Joni menulis agak panjang, seperti magnet yang menarik kepalaku agar menoleh ke dalam. Kemudian menyusul pesan lagi, “Aktifkan share-it-nya, Kek! Aku mau membagi kemampuanku.”

Aku senang tak kepalang. Usia senjaku akan benar-benar terisi dengan hal-hal yang menyenangkan. Atau mungkin aku tidak akan merasa terasing lagi dari kehidupan ini. Aku lakukan apa yang Joni minta. Yup! Aku siap menerima kiriman file kemampuan Joni main game online. Tiba-tiba aku merasakan beban yang berat di kepala. Aku merasa pening lagi. Lebih parah dari pening-pening sebelumnya.

“Kenapa, Kek?” tanya Joni yang suaranya kini keluar langsung dari mulutnya. Lantas melompat dengan tangkas manakala melihatku menekan-nekan kepala. Dia memapahku menuju kamar lalu merebahkan tubuhku di situ. Kemudian meraba-raba keningku. Dia menggesek-geseknya dengan telunjuk hingga beberapa menit. Di luar kendaliku, seluruh program di otak seperti berjalan sendiri, mengiringi gerakan jari telunjuk Joni.

“Kakek ini suka menyimpan sampah di memorinya. Pantas saja gak muat nerima file dariku. Lihat ini! Banyak sampah-sampah masa lalu yang kakek simpan. File masa lalu gak usah disimpan, Kek! Sebaiknya dihapus aja. Nanti kalau butuh tinggal download lagi.” Joni terus menggeser-geser telunjuknya. Sepertinya dia membersihkan beberapa file yang dia anggap tak penting bagiku. Perlahan, kepalaku mulai agak ringan. Lalu tak terasa berat sama sekali. Otakku terasa lebih segar dari sebelumnya.

*

Makin lama kulalui masa senja, diriku makin menyesal kenapa dahulu selalu berdoa panjang umur. Aku benar-benar sulit untuk menghadirkan sepenuh diriku ke gelanggang zaman. Mengikuti percaturan hidup yang makin kejam. Udara yang kuhirup setiap hari makin tidak bersahabat. Sejak kebusukan hati manusia dan berita-berita sampah ikut-ikutan mengeluarkan uap, menerobos seluruh kenyataan alam semesta, ternyata asap knalpot, semburan kabut dari cerobong pabrik dan iuran CO2 dari para perokok dan pembakar hutan tidak begitu memberikan pengaruh yang besar bagi pencemaran udara.

Kurasakan di memoriku makin ramai dengan suara teknologi buatan manusia yang terus berganti. Namun kebisuan antar sesama manusia makin menjadi-jadi. Bahkan aku makin merasa asing dengan cucuku sendiri. Meskipun beberapa file kemampuan Joni dalam main game online dan file-file penting lainnya sudah dikirim ke otak, aku masih kesulitan mengaplikasikannya, bahkan sering kali nge-blank ketika memaksakan diri.

Kulihat sekitar rumahku selalu sepi manusia. Kotaku seperti menjadi kota mati yang seakan tak berpenghuni. Tak pernah kulihat lalu lalang anak muda kebut-kebutan motor seperti yang terjadi di masa mudaku. Hanya tadi, waktu pagi-pagi sekali ada lalu-lalang anak-anak sekolah. Setelah itu kembali senyap. Sementara kepalaku makin ramai dengan sajian berbagai berita yang tak karuan temanya. Ternyata kutemui Joni sudah tak mau pergi sekolah lagi.

“Kok gak sekolah, Jon?” Aku mengirim pesan ke kode otaknya. Langsung kutangkap tanda bahwa dia sedang berpikir menyusun jawaban. Hal itu terjadi agak lama. Aku menunggu jawabannya.

“Malas!” tukasnya ketus, “aku tak butuh lagi sama sekolah. Toh ilmu apa saja sudah bisa diunduh bebas di internet dengan kecanggihan otakku. Kalau aku butuh ilmu, tinggal minta transfer ilmu pakai bloetooth kalau lagi hadap-hadapan. Kalau lagi jauh tinggal minta kirim via e-mail. Sekarang, percakapan dengan teman-temanku cukup chatting antar otak. Semua makna dari kata-kata sudah bisa dikirim ke semua otak tanpa berpayah-payah menggerakkan bibir, Kek!” jawabnya panjang.

Aku hanya diam terpaku. Kupikir, makin hari, dunia offline benar-benar akan makin sunyi. Tak ada percakapan lisan antar manusia yang bisa kusaksikan dan kudengarkan. Tiap pertemuan, cukup saling menatap, sudah bisa menyerap banyak makna. Tanpa menghambur-hambur kata-kata.

Tiba-tiba saja aku teringat bahwa dahulu aku termasuk orang yang malas belajar. Bahkan sering bolos sekolah. Sudah sekian lama aku sangat menyesali kebiasaan masa laluku. Aku sering mengutuk diri sendiri karena kebodohan yang pahit selalu kukecap sepanjang usiaku. Mataku berbinar menyaksikan kenyataan saat ini. Aku perlu belajar pada Joni bagaimana cara memperoleh ilmu melalui rayap-angin dengan progam teranyar yang baru aku ketahui itu.

“Ah, kakek masih mau mengoleksi ilmu?”

Itu adalah pesan yang aku terima di kode otak. Aku menggeragap. Dia langsung bisa membaca bisikan hatiku, meskipun aku belum mengungkapkannya. Padahal aku sudah mengatur privasinya. Agar semua kebusukan hatiku tidak menyumbangkan polusi di udara. Apakah ada fitur terbaru lagi dari teknologi aneh jaman ini? Ah, begitu lambannya diriku mengikuti kecepatan laju dunia ini.

“Gak usah heran, Kek!” gelaknya, “aku bisa membobol lapisan terdalam dari privasi siapapun. Bahkan setiap bisikan hati yang belum terucapkan, bisa kudengar suaranya. Kecuali bau busuk yang menusuk, aku langsung alihkan ke spam.”

Aku hanya bisa menganga. Apakah dunia memang makin sedemikian gila?

“Bukan gila, Kek!” Lagi-lagi tak ada yang bisa aku rahasiakan dari setiap gumam keherananku. “Generasi manusia makin menuju ke puncak kecemerlangannya,” ungkapnya dengan pongah, masih dalam bentuk pesan melalui kode otak. Bibirnya hanya menyungging senyum yang tak imbang, seakan menunjukkan siratan kata, “ini loh jamanku!”

“Tapi kehidupan makin sunyi, Cucuku!” ketikku lalu aku kirim.

“Kakek berada di dunia yang salah. Semua orang sudah beralih ke dunia lain, Kek. Dunia lama sudah makin ditinggalkan. Jika ingin menemukan keramaian, tempati dunia baru dengan sepenuh jiwa.”

“Tapi di mana aku bisa menyembunyikan rahasia jika dengan mudah semua gumamku terbaca olehmu?”

“Makanya kakek enggan mengikuti anjuranku. Aku sudah ingatkan supaya setiap lapis dalam memori diverifikasi dua langkah. Biar tidak sembarang orang bisa membobol.”

Otakku makin berat menangkap materi baru ini. Namun tiba-tiba ada rasa geli menggerayang otak. Aku merasakannya selama beberapa saat. Kemudian terasa agak ringan kembali.

“Sudah, Kek! Aku sudah melakukan verifikasi dua langkah untuk masing-masing lapis memorinya. Tapi sayang lapisan-lapisannya sudah agak rapuh dan menipis. Sepertinya memori kakek dalam waktu yang tidak lama lagi sudah tidak akan bisa menyesuaikan lagi dengan perkembangan teknologi termutakhir.”

Aku diam membisu sangat lama. Joni tampak masih sedikit meremehkan ketertinggalanku mengejar laju zamannya. Tiba-tiba kuterima pesan menghentak darinya, “Ayo makan, Kek! Dari tadi kita belum makan.”

“Makan di mana?” tanggapku.

“Biasa. Di warung sebelah.”

“Sebentar. Aku mau pesan dulu.”

Langsung aku cari aplikasi warung sebelah. Kucari semua macam menu. Lalu aku memulai transaksi dan membayarnya via e-banking di otak. Au! Aku kaget ketika pembayaranku gagal dan muncul pesan: “Maaf, saldo Anda tidak cukup!” (*)


Probolinggo, 07 September 2019


Cerpen ini dimuat dalam antologi cerpen "Mereka Mencari Air di Bawah Terik Matahari" (DivaPress, 2023) dengan judul asal "Rayap-Angin".

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)