Cerpen
Disukai
0
Dilihat
4,780
Baliho
Slice of Life

Lelaki berkopyah nasional bernama Alim merasa geram sendiri. Sepuluh teman seperguruannya rebutan pengaruh di hati umat. Menebar fitnah di sana-sini. Mimbar-mimbar yang menjadi panggung mereka bersuara dijadikan ajang untuk mengangkat nama diri dengan memojokkan nama yang lain. Story WA dan status facebook mereka berisi sindiran-sindiran untuk saling menyalahkan. Orang-orang yang hadir di majlis taklim atau menonton pengajian mereka, pasti langsung merasa sebagai orang paling baik yang berhak menyalahkan dan menjelek-jelekkan siapapun.

Tentulah Alim menggeleng-geleng kepala dengan nafas memburu.

“Ini sudah melampaui batas!” katanya, “ilmu hanya dijadikan jualan untuk mencitrakan diri di hadapan orang-orang bodoh. Sangat jauh melenceng dari nilai-nilai luhur yang diwarisi oleh guru. Mereka sudah terbawa oleh keedanan zaman. Para ahli ilmu sudah tidak sungkan-sungkannya rebutan posisi di mata umat. Rupa-rupanya pengkuan manusia sudah dianggap lebih penting dari pada posisi di hadapan Tuhan. Hh! Tidak ada ketulusan sama sekali. Keikhlasan dianggap tidak berharga. Sangat melampaui batas!”

Dia yang selama ini dikenal rendah hati, tidak cinta dunia, anti popularitas, bersikap teduh dan menjaga diri dari hal-hal yang tercela, tiba-tiba mengerahkan seluruh santrinya untuk mencetak seribu baliho berisi promosi bahwa dia mempunyai ilmu tinggi yang tak tertandingi, jutaan kitab dan buku telah dia kuasai dan hapal di luar kepala. 

“Oke,” cetusnya, “mari kalau kita mau rebutan pengaruh, ayo! Jangan setengah-setengah!”

Kemudian merekrut seratus karyawan untuk mengelola medsos. Perekrutan itu diumumkan melalui pamflet-pamflet yang ditempel di tiang-tiang listrik, ditabur di pinggir-pinggir jalan, dibagi-bagikan di lapak-lapak ibu-ibu di pasar, disodorkan ke kantor-kantor pemerintahan, dilayangkan di tempat-tempat wisata, dibagi-bagikan di pintu makam-makam para wali dan semua tempat yang didatangi orang banyak lainnya.  

Orang-orang di seluruh kabupaten tentu tergaget-kaget. Tak terkecuali sepuluh temannya yang sedang berjibaku dalam perebutan pengaruh. Tiba-tiba mereka memutuskan untuk berkumpul membicarakan fenomena aneh ini. Mereka bersepakat untuk istirahat dulu dari persaingan yang mereka akui sebagai persaingan yang buruk itu untuk sementara waktu. “Nanti kita lanjutkan lagi!” usul salah satu dari mereka, kemudian melanjutkan perbincangan langsung ke inti.

“Kawan kita, Alim, yang paling jago ilmu dari seperguruan kita memaklumatkan diri!”

“Hah?! Alim memaklumatkan diri?”

“Ahli ilmu yang paling anti popularitas di seantero kabupaten ini memaklumatkan diri?”

“Betul! Orang yang terkenal tidak cinta dunia telah memaklumatkan diri.”

“Apakah dia sudah berubah? Yang nanti akan berpengaruh terhadap perubahan umat? Apakah hatinya sudah mencintai dunia secara tiba-tiba?”

“Alim memaklumatkan diri? Mau menyaingi kita?”

Seratus baliho berjejer di pagar-pagar pondok yang diasuh Alim. Supaya lebih meluas lagi, dia menyewa papan-papan reklame untuk menampilkan ribuan baliho yang lain. Foto-foto Alim saat membaca kitab di rak-rak panjang yang memuat jutaan kitabnya ditampilkan di situ. Juga foto saat membaca ribuan kitab secara bersamaan. Bahkan tidak ketinggalan foto-foto ribuan buku yang sudah dia kritik habis-habisan juga menjadi bagian yang mewarnai baliho-baliho itu. Dia seperti mengingatkan bahwa begitulah cara terbaik memamerkan ilmu. Begitulah juga cara paling bergengsi dalam menarik perhatian umat.

“Di jalan menuju tempat bencana itu banyak orang lewat. Pasangi juga di sana!” perintah Alim kepada salah seorang santrinya.

“Tapi, orang-orang tidak akan sempat melihatnya, Kiai! Mereka yang lewat pasti sedang larut dalam rasa duka.”

“Apakah semua orang begitu? Orang-orang yang datang juga banyak yang sekadar untuk mencari muka dan konten.”

Tak seberapa lama, baliho-baliho itu sudah terpasang di jalan utama menuju tempat bencana. Seluruh lapisan masyarakat makin ternganga-nganga. Sepuluh temannya benar-benar tak sempat lagi melanjutkan perebutan posisinya. Mereka hanya bisa menelan ludah dan saling melirik. Kanal yutub yang menjadi panggung utama mereka dihentikan tiba-tiba. Medsos yang awalnya mereka pakai untuk saling mencaci, tiba-tiba sunyi selama beberapa hari.

“Jadi kita jangan sungkan-sungkan lagi menjadikan ilmu agama sebagai kendaraan untuk menguatkan posisi di hati umat. Ilmu yang kita buru dengan susah payah selama di pesantren dan sampai menghabiskan uang yang banyak, sangat rugi kalau tidak kita buat untuk dijual kembali,” jelasnya dalam sebuah podcast di kanal yutub yang sudah mempunyai jutaan pelanggan dan dalam satu jam sudah ditonton ratusan juta kali. “Aku sudah terlalu capek bersembunyi dalam ketidaktenaran hanya demi memaksakan diri untuk mempraktekkan ilmu yang sudah kukumpulkan dari jutaan kitab dan buku yang kubaca. Dunia terlalu bising. Dalam persembunyianku saja, kebisingan itu riuhnya minta ampun. Hampir semua orang yang punya ilmu hanya sibuk berbicara untuk rebutan panggung! Untuk apa? Ilmu itu tidak akan tegak jika hanya dibicarakan. Ilmu akan menjadi warna jika dikerjakan. Umat benar-benar berada kondisi yang mengkhawatirkan.”

“Loh! Anda sendiri kenapa kok tiba-tiba memasang baliho di mana-mana? Sebuah langkah yang sulit dimengerti dari seorang ulama seperti Anda.”

“Karena ilmu sudah bukan lagi sebagai cahaya. Ilmu sudah berubah menjadi komoditas yang harus dijajakan. Puncak ilmu sudah berhenti di mulut setiap pemiliknya. Lebih tinggi lagi ketika bisa disulap menjadi jaring untuk memperangkap orang-orang bodoh agar mau berkerumun membesarkan keberadaan pengembannya. Terus terang, semua orang ingin dimuliakan di mana-mana, kan? Seperti kamu itu, bikin podcast dan memanggil saya ke sini hanya numpang keterkenalanku sekarang, kan? Iya, kan?!”

*

Kini sudah menjadi rutinitas baru, setiap pagi dia berjalan-jalan membawa sopir pribadi dengan Alphard Hitam yang masih mengkilat, mengitari seluruh jalan kabupaten. Dia sudah merekrut sopir baru yang tahan melayani majikannya mau berkeliling ke mana pun. Dengan kaca mobil sedikit terbuka, ia memerhatikan semua sisi jalan yang dipenuhi baliho memamerkan penampakannya. Semua baliho caleg, baliho politisi yang berisi ucapan belasungkawa atas bencana, baliho promosi sekolah-sekolah dan pondok serta baliho penjualan tanah tertutupi oleh baliho miliknya. Bahkan baliho-baliho informasi tentang penampilan-penampilan sepuluh temannya di acara-acara pengajian juga dirobohkan. Dan, ada sebagian yang memang sengaja dibakar.

“Pelan-pelan saja, Pir! Lihat itu! Balihoku sudah menguasai jalan,” dia mengintip ke samping seraya menepuk-nepukkan tangan tangannya ke arah belakang, tepat di paha Si Sopir, “mereka berkerumun menyaksikan kehebatanku.”

“Mereka hanya berkerumun, Bos! Belum tentu menganggap hebat pada gambar di baliho.”

“Lihat saja! Wajah mereka terkagum-kagum. Apa lagi makna dari wajah mereka kalau bukan karena menganggapku hebat?”

“Ya pasti tidak bermakna apa-apa.”

“Sudah jutaan kitab dan buku yang aku lahap. Kamu masih mau mengajari aku, Pir?”

“Begitu juga aku. Sudah jutaan rute jalan yang telah aku lewati. Tentu aku paham betul pada makna setiap raut wajah mereka.”

“Memahami raut wajah, tidak berarti memahami makna hakikinya, kan?”

“Lalu kalau Bos tahu maknanya, dan mereka memang betul-betul kagum, Bos mau ngapain?”

“Ah! Jangan lanjut berdebat lagi. Kamu ini hanya sopirku. Tidak pantas mendebat bosnya.”

Suasana kembali hening. Matahari makin meninggi. Alphard itu terus bergerak maju pelan. Alim menikmati sekerumunan orang yang menyaksikan balihonya. Terpasang rapi, menutupi taman-taman pinggir jalan. Terpampang tegak, menempeli pohon-pohon besar. Dan, lihat! Jalan tiba-tiba macet. Segerombolan mobil berhenti menyaksikan sebuah baliho besar yang memalang di atas jalan. Mobil yang dia tumpangi berada di pinggir mobil-mobil yang lain dan ikut berhenti tepat di samping baliho yang dipenuhi oleh banyak orang.

“Kau memang hebat, Bos!”

“Ngapai sekarang kau muji aku?”

“Karena aku hanya sopir!”

“Sudahlah, lanjutkan saja jalannya! Aku sudah kepanasan.”

“Tapi di depan masih sesak, Bos!”

“Lewat di bahu jalan! Mobil ini pasti muat!”

“Tapi banyak orang yang masih menonton balihomu.”

“Klakson! Biar mereka bubar. Lalu kita lewat.”

Si Sopir mengikuti perintahnya. Benar saja. Mereka langsung berhambur. Terpecah-belah, memberikan celah untuk dilewati oleh Alphard itu. Alim sengaja menampakkan wajah, saat mobil itu lewat di tengah-tengah mereka. Sekumpulan orang itu tiba-tiba menganga, sembari gonta-ganti pandangan dari gambar di baliho ke wajah yang melongo dari jendela mobil. Hingga gonta-ganti pandangan yang ke sekian kali, mobil itu makin jauh dan tidak bisa dipandang lagi. Alim sengaja tidak memberikan waktu yang cukup untuk mengobati rasa penasaran mereka. 

Sebenarnya yang membuat mereka berkerumun, bukan karena tertarik pada siapa yang ada di gambar. Bukan pula sekumpulan kitab dan buku yang dia pamerkan. Mereka hanya mengira-ngira, apakah yang di gambar punya tujuan politik atau untuk apa. Kalau memang karena punya tujuan politik, berarti akan ada uang banyak yang akan dibag-bagi secara gratis. Yah, yang mereka butuhkan hanyalah uang. Mereka sudah capek menghadapi modus-modus politik dengan romantisme iming-iming yang semu. Mereka ingin sesuatu yang jelas-jelas dan pasti. Ada uang dipilih. Tak ada uang, tak mau peduli. “Toh dunia akan baik-baik saja walaupun tidak ikut-ikutan berpolitik,” kata mereka yang sudah kecewa berkali-kali oleh janji-janji para politisi.

“Dengan baliho sebanyak ini, pasti uangnya juga banyak,” kasak-kusuk perbincangan mereka.

“Tapi apa hubugannya buku-buku dan kitab yang dia tampilkan dengan politik?”

“Buku dan kitab sebagai lambang kepintaran. Dengan kepintarannya, dia bisa saja menjual ilmu dengan kepentingan politik.”

“Ah, sok tahu saja kamu. Kalau yang dia obral untuk memancing kepentingan politik hanya ilmu, berarti kita gak punya harapan untuk ditaburi uang dong!”

Di sudut lain, sepuluh temannya masih sibuk menggelar gosip tertutup di kalangan mereka sendiri. Tentu mereka masih membicarakan tema yang sama: teman karib paling wara dan zuhud tiba-tiba memburu gelimang popularitas yang tak tertandingi. Dari salah satu mereka terbersit sebuah usulan untuk mempertanyakan sikap tak wajar itu kepada sesepuh pondok asuhan Alim. 

“Yah, kakek Alim masih hidup,” cetusnya.

Maka benar saja, suatu waktu kakek Alim memanggilnya. Sudah pasti ada kaitan dengan laporan mereka.

“Alim, kamu ini seorang alim ulama yang wara dan zuhud. Kenapa kamu kini jadi gila begini?”

“Gila apanya, Kek? Justru aku sedang merayakan kewarasanku.”

“Kamu kok sekarang sibuk memamerkan ilmu di mana-mana?”

“Memang salah, Kek? Itu kan hasil jerih payahku mencari ilmu.”

*

Aksi aneh Alim makin menggila. Semua kegiatan ngaji kitab untuk para santrinya digelar di alun-alun kota. Tempatnya menyewa ke pemerintah. Dengan sound terbaik yang sudah mendapatkan penghargaan secara nasional. Terop termewah beserta kursi-kursinya. Disediakan bis khusus untuk mengangkut mereka pulang pergi dari pondok ke alun-alun yang sejarak 20 km. Semuanya nyewa. Hanya alat-alat dokumentasi termahal yang tidak dia sewa, melainkan beli sendiri. Baliho-baliho dipasang mengitari seluruh pagar alun-alun. Seratus pegiat medsos yang sudah dia rekrut, siap mempublikasi kegiatan ini. 

Sudah berhari-hari kegiatan ini berlangsung. Di medsos menjadi perbincangan yang heboh. Semua berisi komentar keheranan dan hujatan. Padahal sebelumnya, Alim termasuk orang yang lurus, tidak neka-neko dan tentu anti terhadap keterkenalan, meskipun dengan sifat-sifat mulianya itu dia menjadi terkenal dengan sendirinya di kapupaten dan kotanya. Orang-orang menganggap sebagai tokoh teladan yang rendah hati; sebagai role model yang tak tertandingi dan sulit menemukan padanannya di era penuh pencitraan seperti ini. Sekali dia bicara, quote-quote bijaknya bertebaran dan berseliweran di media sosial tanpa dia rasakan. Yah, dia tak pernah merasakan semua itu. Maka mereka merasa, semua tokoh agama tampak wajar saja berebut pengaruh dan posisi, tapi tidak dengan Alim.

“Beliau satu-satunya paku bumi yang menjadi penentu dunia ini,” ujar salah satu pemujanya suatu ketika, “Jika beliau tidak ada, bisa menjadi penanda kiamat besar!”

“Betul!” tanggap teman gosip yang lain, “Beliau sebagai sampel utama yang menjelaskan dalam bentuk haliyah bahwa ilmu adalah untuk dikerjakan, bukan sekadar dibicarakan apalagi untuk dikoar-koarkan.”

Apa yang terjadi saat ini telah merobohkan citra itu. Dalam pengajian-pengajian di alun-alun, dia menyampaikan dengan lantang dan tanpa ragu-ragu: “Kalian sudah ada di zaman pascakontemporer. Baik-buruknya nasib kalian ditentukan oleh keberanian untuk menjual diri; promosi diri tiada henti-henti seperti yang saat ini saya lakukan. Kalian jangan malu-malu lagi menawarkan ilmu agama yang kalian miliki untuk memperkaya diri. Juga untuk memperjaya diri. Maka penting kalian memahami cara memasarkan ilmu dan diri kalian sendiri. Jika kalian punya sifat ingin dipuji, maka periharalah! Itu akan menjadi energimu untuk mencapai tujuan. Jika kalian punya rasa ingin terkenal, maka kembangkanlah! Suatu saat rasa itu akan memberikan sesuatu yang besar kepadamu. Kalau tidak begitu, nasibmu akan buruk. Ini harus menjadi falsafah utama dalam hidup kita, mengimbangi keadaan dunia yang terus menuju kehidupan terbarunya. Percayalah itu! Yang tidak mau percaya, langsung angkat tangan, akan saya keluarkan dari golongan santriku dan kusertai doa semoga ilmunya tidak manfaat dan tidak barokah.”

Para santri terbengong-bengong mendengar pemaparan kiainya. Ada yang menerima penuh seratus persen, dari kalangan santri-santri yang tumpul akalnya. Ada yang mengernyitkan dahi, meraba-raba kejanggalan dari pernyataan itu; mengapa sang kiai bisa berkata seperti itu? Masih sangat jelas dalam ingatan mereka, bahwa mereka berguru kepada sang kiai tiada lain dan tiada bukan hanyalah karena ingin belajar tentang ilmu anti-keduniawian kepadanya. Dan, memang, selama ini ajaran yang selalu dijejalkan kepada para santri adalah agar mereka memendam diri dalam bumi khumul (tidak terkenal). Menurutnya, perjalanan hidup menuju ridha Tuhan ibarat menanam sebuah biji. “Bagaimana bisa tumbuh sempurna sebuah biji yang tidak dipendam?” ujarnya suatu ketika dalam kesempatan ngaji di madarasah diniyah. 

Alim menambah kegiatan lagi, yaitu mengaji kitab keliling menggunakan Alphard tiap sore hari. Dia berkeliling melewati jalan-jalan kabupaten. Anehnya, semua kendaraan pasti menyingkir ketika mobilnya lewat. Mereka memperlakukan perjalanannya seperti memperlakukan kendaraan darurat yang berkejaran dengan waktu. Padahal mobilnya berjalan pelan, tidak ada sedikit pun tanda-tanda berkejar-kejaran dengan waktu. Gerakan mobilnya seperti menyesuaikan dengan ritme suara utawi iki iku yang keluar dari speaker di mobil. Setiap jalan yang dilewati selalu ditunggui oleh banyak orang yang berjubel ingin menyaksikannya. Mereka berkerumun bukan semata-mata ingin menyimak pengajian itu, tapi hanya ingin mencari hiburan karena mendapati sebuah kejadian yang tidak biasa. 

Ketika melewati jalan yang di pinggirnya terdapat sebuah warung kopi tempat sepuluh temannya berkumpul, dia mengeraskan suara kajiannya. Sembari melongo seakan mau bilang, “ini loh aku yang sekarang bisa terkenal tanpa rebutan seperti kalian.” Yah, memang sebelumnya dia selalu mengingatkan mereka agar tidak sibuk rebutan pengaruh. 

“Segala upayaku di mata umat jadi hancur gara-gara aksi gilanya Alim,” ujar mereka mulai bergosip.

“Ah! Alim itu pasti cuman main-main kok!”

“Mungkin sebenarnya dia cuman menasehati kita secara halus.”

“Menasehati? Kok pakai ngabisin dana besar kayak gitu? Ngomong langsung ke kita kenapa? Kan lebih murah meriah.”

“Kita terlalu bebal saja kali.”

“Kalau begitu, mungkin kita saja yang terlalu buruk. Sampai tidak peduli pada kode nasehat.”

“Tapi mungkin juga dia memang punya tujuan penting di balik aksinya. Dia ingin mengobral ilmunya untuk kepentingan politik. Dia benar-benar tergiur terhadap jabatan tinggi.”

“Ah! Tidak mungkin!”

“Bisa jadi ini memang strategi dia untuk melebarkan dakwah. Aku tahu betul bagaimana prinsipnya dari dulu. Dia tidak akan pernah berubah dari prinsip dasarnya.”

“Bisa saja dia memang berubah. Dia memang benar-benar sudah keranjingan terhadap sanjungan dan ambisi ingin lebih terkenal. Jangankan makhluk serapuh hati manusia. Makhluk sekeras batu saja jika ditetesi air terus menerus tiada henti bisa berlubang kok. Sekarang gempuran pengaruh yang bisa mengubah hati manusia selalu menyerang, bahkan tiap detik. Mungkin karena itulah hati Alim berubah. Yah, ini sudah menjadi kenyataan bahwa Alim memang benar-benar sudah berubah.”

“Masih sulit menerima.”

“Tapi ini benar-benar terjadi, kan?”

“Yah, dengan begitu kita akan memasukkan Alim sebagai tambahan saingan antara kita?”

“Lah, memang kita masih mau melanjutkan persaingan buruk kita? Bukankah selama Alim begitu, kita sudah berhenti saling mencaci dan merendahkan antara kita? Kita disatukan oleh keanehan Alim. Aku merasakan betul kok bagaimana damainya kalau kita tidak lagi saling mencaci dan menebar kebencian. Kulihat umat pun sepertinya makin damai.”

Dalam Alphard yang mengkilat itu, Alim masih merapalkan pasal per-pasal kitab dengan makna Jawa. Kemudian dia mengangkat kepala untuk melihat keluar, membuat perjalanan hening sejenak. Dia pandangi hilir mudik kendaraan yang tiba-tiba menyingkir, memberikan celah padanya untuk lewat. Juga dilihatnya taman-taman indah di pinggir jalan yang bersanding dengan baliho-baliho yang menampilkan wajahnya. Dia memandangi wajah sendiri di sana. Dia bertanya-tanya, apa nikmatnya menampilkan wajah seperti itu; apa untungnya ketika namanya tiba-tiba menjadi pembicaraan hangat dan semua orang berduyun-duyun ingin menyaksikan dirinya?

Tapi dunia sudah kadung menghendaki seperti itu. Terdesain untuk berlomba-lomba menampilkan sesuatu meski tidak jelas muara dan ujungnya akan ke mana. Hidup hanya untuk mendengarkan riuh dan keramaian tepuk-tangan. Menampik kesunyian yang seringkali memberikan banyak makna dan permenungan.

*

“Pir, terlihatkah olehmu?”

“Apanya yang terlihat, Guru?” Si sopir mengubah panggilan menjadi ‘guru’, bukan lagi ‘bos’ sebagaimana panggilan-panggilan sebelumnya. Karena selama menemani Alim, dia telah merasa sebagai santrinya. Tanpa sengaja, ilmu tentang pentingnya ketenaran merasuk ke dalam pikirannya.  

“Orang-orang itu.”

“Ada apa dengan mereka?”

“Mereka menyaksikan diriku.”

“Kan sudah dari kemarin-kemarin memang begitu, Guru!”

Mobil terus melaju. Kini melewati sebuah jalan sepi. Sebuah jalan belantara yang asing bagi sang sopir. Pohon-pohonnya tak pernah dia lihat di belantara-belantara yang pernah dia lewati, bahkan dalam film sekalipun. Ternyata di pinggir-pinggir jalannya juga dijejeri oleh baliho-baliho berisi fotonya Sang Guru. Namun berbeda dengan biasanya. Tidak ada kerumunan manusia seperti yang lain. Tempat ini tampaknya memang tidak berpenghuni. Tak ada suara apapun kecuali pembacaan kitab yang menggema lebih lantang.

“Kita sudah di mana ini, Pir?”

“Tadi kita masih di kota, Guru?”

“Waduh! Kau ndak bilang-bilang kalau mau masuk ke alam Jin.”

“Aku tidak tahu, Guru!”

“Ya, kita akan masuk ke alam Jin, Pir!” 

“Hah?! Di tempat sesepi ini? Siapa yang mau mendengarkan pengajian di tempat seperti ini, Guru?”

“Ya para Jin!”

“Mengerikan, Guru! Apakah benar para Jin peduli?”

“Aku bukan hanya terkenal di kalangan manusia. Para Jin sudah terbiasa datang mengaji kepadaku. Sekarang aku hanya ingin lebih terkenal lagi di hadapan mereka.”

“Lalu kita mau ke mana ini, Guru?”

“Sudah kubilang, mau masuk ke alam jin.”

“Benarkah, Guru?”

“Ini sudah masuk pada lapisan pertama di alam Jin. Di lapisan utama, di jalan-jalannya juga sudah terpasang baliho-balihoku. Mereka pasti ingin segera menyaksikan penampakan asliku.”

“Baliho-baliho yang terpasang di sini untuk apa, Guru?”

“Untuk memberi tahukan manusia-manusia yang mau ke alam Jin. Biar mereka tahu bahwa aku juga dikenal bukan hanya di alam manusia.”

*

Sepuluh temannya terpecah lagi ketika tahu sudah seminggu Alim tidak muncul. Mereka tidak lagi menduduki warung kopi seperti biasa. Mereka mulai menghidupkan kembali panggung-panggung yang sudah lama mati. Isinya tetap sama: mencela, mencaci dan menularkan kebencian. Tujuannya hanya satu: agar jama’ahnya mau bertahan dan tidak mau pindah pada jama’ah yang lain. 

Yutub yang lama terhenti dilanjutkan kembali. Perang medsos kembali berkecamuk bahkan lebih parah dan lebih seru. Narasi-narasi yang berisi upaya untuk menfitnah dan mengadu antar jamaah kembali bergulir liar di grup-grup wattsaap.

Di alam lain sana, Alim masih melantunkan pembacaan kitab. Para Jin laki-laki berkerumun di pinggir jalan. Para Jin perempuan malah berebut ingin masuk ke dalam mobil. Sebagian mendendangkan bait-bait cinta untuk Alim. Sehingga alunan dendang mereka mengalahkan suara pembacaan kitabnya. Jin perempuan yang berebut masuk terus menekan kaca mobil hingga pecah. Badan mobil remuk. Mereka menarik Alim, berebut memeluknya. Si sopir hanya menganga. Dia tidak bisa berbuat apa-apa ketika mendengar Alim berteriak keras. 

Di alam manusia, kehidupan tetap berjalan normal, malah makin normal. Satpol PP mulai bergerak menertibkan baliho-baliho yang berjejer di pinggir-pinggir jalan. Pondok Alim ditutup dan dikelilingi police line. Para santri terpaksa dipulangkan dan diminta agar pindah ke pondok lain. Polisi melakukan pencarian tentang keberadaan Alim hingga bertahun-tahun, bahkan sampai seluruh temboknya ditumbuhi lumut. Kemudian kasus hilangnya Alim hilang begitu saja, menguap bersama waktu. Hingga tahun-tahun terlewati, pekarangan pondok itu ditumbuhi oleh pohon-pohon besar yang menyulap tempat itu serupa hutan. Gedung-gedung yang sudah dirambati akar-akar pohon, menyampaikan pesan bisu: “Betapa dahulu tempat itu pernah ramai.” 

Cerita yang sampai pada anak-anak kecil dari para orang tua adalah: “Dahulu ada seorang kiai di pondok itu, Nak. Yah, di pondok yang tak berpenghuni itu. Tapi kemudian kiainya hilang, dicuri oleh Ninja. Ya, dicuri Ninja!” (*)


Probolinggo, 18 Januari 2022

Cerpen ini dimuat dalam antologi cerpen "Mereka Mencari Air di Bawah Terik Matahari" (DivaPress, 2023)

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)