Cerpen
Disukai
2
Dilihat
4,431
Mimpi yang Dikubur Hidup-Hidup
Slice of Life

Malam yang sunyi itu diporak-porandakkan oleh ledakan keras dari tempat pemakaman tua di belakang rumah kuno bekas jajahan Belanda. Ledakan itu menggelegar, seakan mengguncang bumi. Bahkan gelombang bunyinya merambat ke permukaan tanah seluruh dusun, hingga melewati kasur tempatku berbaring, menghentak dan mengibaskan kepalaku ke atas. Menarik seluruh kesadaranku yang sempat berkelana dalam nyenyak mimpi selama beberapa jam.

Aku cepat-cepat melompat dari kasur, menggedor pintu dan menembus pekat malam yang buta. Mengikuti arah suara ledakan. Melewati jalan setapak di pinggir sawah dengan berkali-kali kaki tergelincir. Kemudian berhasil sampai ke jalan raya poros kecamatan. Sebuah gedung kuno tak berpenghuni dan berserakan sampah daun-daun kering di halamannya telah bertengger di depan mata. Yang bisa diraba mata hanyalah bentuknya yang seperti istana-istana bersejarah dalam film-film Eropa, serta bau daun-daun busuk yang menyeruak merongrong hidung. Sedangkan warna dan detail-detail arsitekturnya tertutupi oleh hitam pekat malam.

Dari atas bagian belakang bangunan itu, ada bekas-bekas asap yang masih menggumpal. Aku bergegas ke arah jalan kecil menuju pemakaman di belakang. Dan, alam pikiranku mendadak saja berkabut ribuan pertanyaan dan keheranan. Gulita malam yang mengental seakan melambatkan waktu dan gerak kesadaranku. Sama lambatnya dengan rambatan serpihan lampu pijar yang terseok-seok melewati celah-celah sunyi, demi menunjukkan suara sesosok makhluk seperti bayi yang merangkak dari lubang tanah yang mengepulkan gumpalan asap dari ledakan tadi. Kemudian ia menyandar ke sebuah batu nisan tak bernama dengan napas yang berangsur-angsur cepat. 

Aku mendekatinya, lalu kuperhatikan tubuhnya dari dekat dalam bentuk tidak sempurna. Kaki belum bertelepak, tapi bagian ujungnya seperti daging-daging lunak yang menggelambir. Matanya belum berbola mata, hanya ada kelopak yang seperti menaungi sebuah lubang kosong. Ada sayap kecil di punggungnya yang kuperkirakan tidak akan berfungsi dengan baik untuk membawa terbang pemiliknya.

Sosok itu tolah-toleh, kebingungan mencari arah. Aku heran pada diriku sendiri. Tak ada setitik rasa takut pun di hati. Malah kakiku bergerak untuk mendekatinya. Bahkan tanpa gentar sedikit pun, mulutku bergerak meluncurkan kalimat, “apakah kamu tidak kuat menanggung siksa malaikat sehingga bangkit mendobrak kuburanmu?”

Ia menghentikan gerakan kepalanya yang tadi bergerak ke segala arah. Ia menyorotkan mata yang berlubang itu ke arahku. Kali ini sedikit mampu membuatku keder. Kemudian ia menanggapi dengan suara bayi yang mengerikan, “aku tidak pernah bersentuhan dengan malaikat. Aku adalah jelmaan lain dari mimpi tetanggamu yang saat ini sedang tidur nyenyak. Sementara diriku dibiarkan dalam kuburan yang dingin ini sendirian.”

Mimpi tetanggaku? Siapa yang telah tega mengubur mimpinya sendiri? Tiba-tiba aku membayangkan seorang pemuda miskin yang hingga saat ini dipasung di dapur rumahnya. Dipasung karena dituduh gila telah menggali kuburan tengah malam. Dia menggali tanah saat malam yang begitu sunyi, bersembunyi dari pantauan orang lain. Beberapa minggu sebelumnya dia berperang dengan kegalauannya sendiri. Serangan bertubi-tubi dari kalimat-kalimat motivator yang dikagumi mengganggu tidur nyenyaknya. “Kamu harus berani bermimpi!” begitulah bisikan yang selalu menggempurnya setiap waktu. Gempuran yang bersetubuh dengan hasratnya, hingga membuahi mimpi yang terus membesar dalam batok kepalanya. Tapi dia tidak tahu bagaimana merawatnya. Setiap ketekunan dalam usaha merawatnya selalu melahirkan cemooh dan hujatan dari orang-orang sekitar. Setiap dia menulikan diri dari cemooh dan hujatan, selalu membuatnya sadar, bahwa dia tidak memiliki bahan yang cukup untuk mengasupinya dengan gizi dan vitamin agar mimpi itu tumbuh dan berkembang sehingga menumbuhkan sayap yang akan membawanya terbang ke awan.

Dia termasuk orang yang mengakui bahwa mimpi yang terlanjur lahir dari imajinasinya adalah anak kandung yang harus dirawat dengan baik. Dibelikan susu terbaik, disuapi bubur terbaik bahkan ditaruh dalam toples termahal. Dia mulai membeli buku-buku paling ilmiah untuk menunjang pengetahuannya dalam mengasuh anak kandung satu-satunya itu. Di mana-mana dia membaca buku-bukunya satu-persatu. Saat ke pasar mengantarkan ibunya, dia menunggu sambil membaca buku itu. Saat diam sebentar dalam antrian vaksin di balai desa, dia membuka buku. Saat makan, tak lepas dari buku. Tangan kanan mengambil suapan, tangan kiri membolak-balik halaman buku. Hingga selesai makan kemudian masuk wc, dia mengisi posisi jongkoknya dengan membaca buku. Kemudian mempraktekkannya kepada mimpi yang sudah terlanjur lahir. Dia sudah menyediakan toples emas paling mahal sebagai tempat persemayaman mimpi.

“Kau ini gila!” umpat tetangga yang melihatnya. Dia memahami bahwa kata ‘gila’ adalah ungkapan yang menunjukkan ketakwarasan akal. Tapi bagaimana dikatakan waras orang yang tidak mau merawat anaknya sendiri? Tetap saja dia tak menggubris umpatan itu. Dia hanya mencintai anak kandungnya. Maka dia harus merawatnya dengan cinta. Dia meletakkan toplesnya yang berisi mimpi itu dalam lemari khusus dengan hati-hati. Meskipun sebutan ‘gila’ terus menyerbunya secara bertubi-tubi. Dia menghunus pisau untuk menepis semua serbuan itu. Maka mereka menyebutkan kata ‘gila’ sambil berlari-lari. Bahkan sambil melompat-lompat untuk menghindar dari hadangan batu-batu besar. Namus walaupun serbuan itu bisa ditepis, ketakmampuan untuk memenuhi segala kebutuhan mimpi menyiksa perasaannya. Matanya memandangi pisau yang masih dalam genggamannya. Apakah pisau ini cukup tajam untuk mencincang mimpi? Ah, betapa gilanya dia kalau sampai berani membunuh anak kandung itu.

Lihat! Mimpi itu menangis, meronta-ronta karena kahausan, atau mungkin karena kelaparan. Pemuda itu sudah lama tidak membelikannnya susu dan bubur yang sehat. Dia dekatkan pisau itu ke leher lembut mimpi. Tapi segera dia lemparkan benda tajam itu sejauh mungkin tanpa peduli akan jatuh di mana, bahkan akan mengenai siapa. Dia membusurkan tatapan kasih-sayang pada anak kandung yang jeritan tangisnya makin tak terkendali.

“Penderitaanmu harus segera diakhiri, Nak!” ucapnya pelan.

Dia mengambil sehelai sarung lembut. Kemudian membungkusnya dan mengatingnya ke luar. Dia tolah-toleh ke kanan-kiri. Gelap. Hanya beberapa berkas sinar merkuri dari rumah sejarak dua puluh meter di sana berhasil merambat ke sini. Keadaan sudah sangat sepi. Tapi kesepian itu dikacaukan oleh jeritan mimpi yang makin melengking keras. Jam sudah menunjuk pukul setengah dua belas malam. Dengan menenteng cangkul paling tajam miliknya, dia melangkah menuju pemakaman. Kemudian dalam kesendirian bersama jeritan mimpi yang memekakkan telinga, dia bersimbah keringat menggali tanah padat itu. Hingga tubuhnya basah, rambutnya basah, bajunya kumal dan baunya menyengat, menyeruak ke seluruh area pemakaman. Bahkan jangkrik-jangkrik malam itu akan berhenti mengerik karena dikagetkan oleh bau. Anai-anai yang melompat-lompat akan pingsan mendadak karena dibius oleh aroma busuk yang menusuk.

Tiba-tiba si mimpi berhenti melengkingkan tangis saat perlahan tangan pemuda ini meraih toples yang mengurungnya. Ia menatap kepada ayah kandung yang sangat dicintai itu. Dengan setengah tak percaya, ia meronta dengan lontar harapan, “ayah, aku sudah bisa berpikir dan berbicara. Cikal-bakal sayap yang akan membawamu terbang sudah mulai muncul dan sangat terasa sekali loh, Yah!” Tapi tak bisa mencegah tangan si pemuda dari niat untuk menguburkannya. Si mimpi kembali melengkingkan tangis dengan tangisan kesedihan dan harapan yang diabaikan. Toples itu terlepas dari tangan si pemuda, meluncur pelan ke bawah, seperti balon utama yang kehabisan udara.

Rintihan si mimpi dari dalam toples sudah tidak terdengar lagi bersamaan dengan gempuran tanah yang menumpukinya. Hingga mungkin sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, si mimpi menjadi dewasa dalam kuburan. Atau mungkin arwahnya selama bertahun-tahun memaksa malaikat atau siapa pun yang punya otoritas di alam kubur untuk masuk ke jasadnya, lalu mendesak tumpukan tanah yang menimbunnya, kemudian menimbulkan ledakan yang mengguncang. 

“Sudah kubilang, aku tidak pernah bersentuhan dengan malaikat!” bentaknya, masih seperti suara anak kecil. Seakan mengetahui apa yang aku bisikkan. 

“Yang aku bisikkan dalam anganku bukan harus malaikat! Boleh siapa pun yang punya otoritas di alam kubur,” belaku. 

Tiba-tiba ia menatap ke arahku, membuat bulu kudukku tiba-tiba agak merinding. Kemudian bangkit dari nisan batu itu. Ia melangkah agak melayang dengan kaki menggelambir ke bawah. Aku mengikuti. Ia pasti akan mendatangi ayah kandungnya. Untuk menuntut hak sebagai anak kandung yang diterlantarkan dalam kesepian bawah tanah. Aku mengikutinya. Ternyata tidak menuju ke arah pemuda yang aku bayangkan tadi. Melainkan ke arah jalan setapak yang tidak kutahu akan ke mana. Aku relakan diri untuk meralat imajinasiku. Yah, memang imajinasi tadi sulit diterima. Karena pemuda di samping rumahku baru dipasung hanya beberapa bulan yang lalu dengan penyebab yang tidak jelas. Jika kulihat tumpukan dari kuburannya sepertinya kejadian penguburan sudah sekitar beberapa tahun yang lalu atau mungkin lebih lama lagi, bahkan sangat lama.

Sembari mengikuti arah perjalanannya, aku mengira-ngira lagi. Mungkin pemilik mimpi itu bukan seorang pemuda miskin yang tidak mampu memberikan perawatan maksimal terhadapnya. Mungkin seorang penulis perempuan dari anak seorang kaya-raya. Kemudian dinikahkan dengan anak konglomerat yang menguasai pertambangan di beberapa daerah. Sebelum menikah, dia selalu menulis kegelisahannya tentang ekspoitasi alam yang dilakukan oleh para pengusaha pertambangan dan beberapa sektor perusahaan lain yang mempunyai andil besar dalam pengrusakan lingkungan. Dia dipuja-puja oleh para aktivis lingkungan. Bahkan dalam banyak kesempatan diundang untuk mengisi seminar-seminar tentang kesadaran lingkungan. Diwawancarai oleh media-media besar. Bukunya diperebutkan oleh banyak penerbit yang menggunakan kertas dari hasil penggundulan hutan. 

Tapi sang ayah mempunyai kekuasaan penuh untuk menikahkan dia dengan siapa dan melabuhkan hak cintanya kepada siapa. Pikirannya boleh liar dalam menulis apa pun, bahkan andaikan bertentangan dengan kepentingan bisnis orang tua, tidaklah masalah. Misalkan menulis tentang lingkungan yang sering dijadikan sebagai alat kritik bisnis ayahnya oleh para aktivis, juga tidak masalah. Namun untuk masalah dengan siapa dia merajut masa depan, semuanya ada di balik kebijakan sang ayah. Dalam pernikahan dengan putra kongklomerat itu, tiba-tiba sang suami melarangnya menulis apa pun. 

“Tugasmu hanya melayani aku dengan sepenuh hati! Menulis akan membuatmu lalai dari tugasmu sebagai istri seorang konglomerat,” ungkap sang suami.

Dia mencoba menimpali, “tapi menulis adalah hidupku! Impian jangka panjang yang ingin kujadikan satu-satunya aktivitas utama di masa tua!”

“Hidupmu hanyalah aku! Ingat, hanya aku! Dan masa tuamu hanya aku! Tak ada yang lain selain untuk diriku!”

“Bagaimana dengan gejolak pikiran yang selalu mengganggu tidurku? Gejolak pikiran yang selalu meminta untuk dituliskan? Gejolak pikiran yang selalu menuntutku untuk dilahirkan?”

“Gejolak yang boleh kamu turuti hanya gejolak berahi! Gejolak berahi yang hanya terhidang untukku! Untukku!”

Penulis perempuan diam membisu. Tiba-tiba seekor mimpi melompat dari kepalanya. Lalu hinggap ke bahu sang suami. Mencengkeram telinga dan menggigitnya.

“Apa ini?” kaget laki-laki itu sembari menghempaskan sang mimpi hingga terkapar di lantai dengan hina.

“Itu adalah jelmaan mimpiku yang kau zalimi!” tanggap perempuan penulis.

Mendadak, dalam pandangan mata perempuan penulis muncul warna kunang-kunang menggeliat. Bersamaan dengan sakit di pipi akibat tamparan keras yang menghantamnya. Kemudian dorongan keras menghempaskannya ke dinding. “Sekali lagi, tugasmu hanyalah melayani aku sebagai suami.” Lalu laki-laki meraih mimpi yang masih terkapar di lantai. Kemudian mamanggil para ajudan yang bertubuh kekar dan dada bidang serta berotot keras.

“Lenyapkan makhluk tak berguna ini!” perintahnya dengan nada kasar dan rasa jijik. Salah satu dari mereka langsung mengambil seekor mimpi yang meronta-ronta dalam cengkeraman si laki-laki. Mereka meremas-remasnya bergantian, hingga cikal-bakal sayapnya patah dan menangis tersedu-sedu. Namun mulutnya langsung disumpal dengan sepatu hingga tidak bisa mengeraskan jeritan tangisnya. Mereka langsung beranjak membawa si mimpi ke pemakaman lalu dikuburkan dalam keadaan menangis histeris. Si mimpi terus menyimpan dendam kepada mereka dan ingin membela sang ibu kandung yang dihardik berkali-kali oleh suaminya sendiri.

Di bawah keangkuhan suaminya, perempuan penulis kehilangan semua energinya. Sejak mimpi dilenyapkan dari daya dan pikirannya, dia takluk seketika pada sang suami. Dia melayani apa pun yang diinginkan oleh pasangan hidupnya itu. Bahkan dia benar-benar lupa bahwa dahulu pernah punya sesosok anak kandung yang membuat hidupnya berdaya; membuat gerak-geriknya penuh gairah; sensitifitas kemanusiaannya mudah tersentuh ketika ada penindasan antar manusia.

Tapi, siapa dari tetanggaku yang mungkin punya kisah tragis seperti itu? Yang aku tahu semua tetanggaku hidup dalam kesahajaan. Tak ada perempuan yang suka menulis apalagi kaya-raya. Jadi khayalanku yang satu ini sudah jelas sisi bodohnya. Di depan, sosok itu masih terus melangkah, entah ke mana. Aku pun terus mengikuti, entah untuk apa. Pikiranku terus mereka-reka dan menyusun imajinasi untuk memuaskan rasa ingin tahu walau hanya sementara waktu. Pekat malam yang kesunyiannya sedikit dirusak oleh kebisingan suara jangkrik di sekitar sawah makin membangkitkan rasa ingin tahuku. 

Apakah orang tua kandungnya adalah seorang yatim yang jaraknya sepuluh rumah dari rumahku? Seorang yatim yang kini menjadi gembong mafia di ibu kota. Mula-mula si yatim menyadari bahwa hidupnya berada dalam kasih-sayang yang timpang. Berbagai pergolakan batin yang tidak dia mengerti selalu berkecamuk hebat. Dia terombang-ambing dalam problem kejiwaan yang sengit. Sementara dalam sebuah pamflet yang masih dia tempel di kamar, dia selalu membacanya berulang-ulang, “kita harus berani bermimpi!” Maka dia ingin melangkah ke depan menghidupi mimpi yang sudah terlanjur lahir. Tapi salah seorang pamannya berteriak, memaki-maki dan menghakimi, “kamu kurang ajar!” Kemudian dia memutuskan untuk mundur saja. Lantas, salah seorang anggota masyarakat menghardik, “kamu pengecut!” Kemudian mencoba diam saja tanpa melakukan apa-apa, hanya rebahan di kamar, di pinggir jalan, di gardu-gardu pos ronda. Tiba-tiba seorang tetangga berseloroh, “kamu pemalas!”

Dia pun memberontak pada semua paradigma masyarakatnya. Dia kacaukan keadaan desa. Kemudian seorang tokoh agama membentak dan marah-marah, “kamu perusak moral!” Dia pun diam dalam kesendirian, merenungi kembali nasib hidup yang menderanya. “Aku harus bagaimana?” lirih hatinya. Tiba-tiba dia menjawab sendiri: “Aku harus pergi dari sini. Aku harus menjadi orang kaya yang ditakuti oleh siapa pun. Aku akan belajar mencuri uang di bank sebanyak-banyaknya. Kemudian membangun toko di mana-mana. Mempekerjakan anak-anak yatim agar tidak menelan pahit perlakuan orang-orang yang tidak punya perasaan.”

Kemudian, mimpi yang sedang tidur nyenyak dalam otaknya dia bangunkan. Dia elus-elus dan dirayu-rayu. Si mimpi yang masih bayi itu tertawa-tawa dengan begitu lucu. Pipi yang menggemaskan. Bibir yang manis. Ah, sesosok anak kandung yang pasti akan selalu mengikat hati si yatim dengan rindu. 

“Tapi aku harus segera meninggalkanmu, Nak!” bisik hatinya, “kamu sepertinya memang harus jauh dariku. Bahkan kamu harus binasa.” Si mimpi masih tertawa manis. Mungkin mengira bahwa tatapan mata orang tua kandungnya adalah tatapan tanggung jawab seorang ayah yang siap menanggung hidupnya hingga dewasa kemudian membawa sang ayah ke langit tinggi dengan kepakan saya lebar dan kuat di punggungnya. Ia bahkan sempat tidur lelap ketika dibawa ke tanah pemakaman dan si yatim menggali kuburan basah untuknya. Ia tidak menyadari ketika tumpukan tanah perlahan menimbunnya. Menutup sedikit demi sedikit celah-celah masuknya udara ke dalam liang kuburan itu. Mimpi itu melewati waktu bertahun-tahun dalam timbunan tanah dengan rasa sakit hati yang tak terobati, hingga energi sakit hatinya menggumpal dan memaksa untuk meledak. Dan, malam inilah puncak ledakan itu terjadi. Kemudian ia mencari ayah kandungnya untuk membayang-bayangi dengan dendam kusumat.

Aku terus mengikuti jejak perjalanan si mimpi yang tampak mengendus-endus bau. Kemudian berbelok ke sebuah jalan yang jauh dari rute rumah si yatim yang sudah kosong sejak sepuluh tahun lalu dan kini kabarnya sudah menjadi gembong mafia di ibu kota yang ditakuti oleh pemerintah. Berarti si mimpi tidak ada kaitannya dengan si yatim. Atau apakah sebenarnya mimpi ini sedang kebingungan mencari si yatim yang telah pergi? Ternyata semua tebakanku keliru. Ia memasuki sebuah perkebunan kopi. Kemudian menuju ke sebuah makam yang sendirian di tengah-tengah perkebunan itu. Mungkin inilah makam yang selama ini menyimpan banyak misteri yang tak terpecahkan. Aku hanya tahu di tempat ini ada makam dari cerita-certia orang tua. Tak ada yang berani masuk dan memastikan keberadaannya. Sudah banyak dongeng-dongeng beredar tentangnya. Dongeng-dongeng yang kurasa penuh bumbu yang berisi tema yang simpang-siur. Konon, katanya makam di sini sudah berusia ratusan tahun. Berarti si mimpi sudah dikubur ratusan tahun pula?

Imajinasiku untuk mengira-ngira cerita di balik makam itu tiba-tiba buntu. Bahkan semua dongeng yang pernah aku dengar dari para orang tua dengan versi masing-masing tiba-tiba lenyap tiada sisa. Sedangkan si mimpi menangis tersedu-sedu di atas gundukan tanah itu. Ia menguruk tanah gundukan itu dengan penuh kesedihan dan seakan tidak ada aku di belakangnya. Aku tidak mengerti pada diriku sendiri, kenapa aku bisa sampai ke makam misterius ini. Kenapa pula aku tiba-tiba dihinggapi oleh perasaan sentimental begini; ingin ikut menangis sebagaimana jelmaan si mimpi itu menangis. Bahkan ingatan tentang mimpiku sendiri yang pernah aku kubur hidup-hidup beberapa tahun yang lalu menggeliat dalam ingatan. Apakah suatu saat nanti ia akan bangkit bergentayangan mencariku? 

Aggghhhrrr!!! Mengerikan! (*)


Probolinggo, 28 Januari 2022

Cerpen ini dimuat dalam sebuah kumpulan cerita pendek "Mereka Mencari Air di Bawah Terik Matahari" (DivaPress, 2023)

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)