Masukan nama pengguna
Cahaya itu kian menyisihkan keberadaan mereka berdua yang terus berlari menjauh dari jangkauan perciknya. Kaki bajanya kian merapuh. Lalu tersungkur di trotoar yang tenang.
“Hasut, istriku. Ketenangan di jalan ini makin melemahkan kakiku. Nafasku makin terengah-engah. Ayo kita segera cari kegaduhan dan pertikaian. Sehingga kekuatan kita pulih kembali,” ucap Hasud dengan tubuh lunglai dan kaki terseok-seok.
“Mau cepat bagaimana lagi? Dalam hitungan sepuluh langkah saja, kakiku akan kehilangan kekuatan. Arus energi yang menjalari urat-uratku kian menipis,” tanggap sang istri seraya membenarkan rambut kawat yang menghalangi matanya.
Hasud terpana memandangi istrinya yang sudah tersungkur di trotoar itu. Kemudian mendongak ke langit yang sudah sekian lama tidak pernah menyemburkan petir. Dia bergumam dengan geram, “ini gara-gara tongkat Muhammad di genggaman pengkhotbah bersorban dan pakaian serba putih di singgasana mimbar emas itu.”
“Menurut sensor otak energiku, stok kekuatanku sudah sangat menipis. Sepuluh langkah saja, kakiku sudah tak berfungsi,” rintih Hasut.
Hasud berpikir keras untuk menghadapi penderitaan berat yang dia tanggung saat ini. Dia melihat pantulan luas dunia dari langit bening. Semua darah pertikaian sudah kering dan hanya tinggal lukisan-lukisan kenangan yang ditoreh oleh para seniman. Gambaran sadis peperangan hanya terpotret dari cerita-cerita para novelis dan penyair.
Sang pengkhotbah itu terkekeh-kekeh sambil memegang erat tongkat bercahaya keemasan. “Muhammad! Muhammad! Muhammad! Sang rahmat pembawa kedamaian alam semesta!” Begitu suara sang pengkhotbah yang berulang-ulang memantul dari langit cerah itu. Mendengar suara itu, Hasud makin kekurangan energi. Segera ia turunkan pandangan ke bawah, kembali ke wajah istrinya yang makin melas.
“Aku sudah menyerukan kepada anak-anak kita di berbagai wilayah untuk masuk ke wilayah kita. Supaya mereka memerangi sang pengkhotbah keparat itu!” ucap Hasud.
Hasut sedikit demi sedikit menitikkan air mata. Memandangi tanah di seberang jalan, yang penuh kenangan indah tentang tusukan pedang pada perut orang-orang yang berebut harta warisan, saling mendaku kebenaran atas nama suku, agama, ras dan antar golongan.
“Ah! Mungkinkah kenangan indah itu akan bisa terulang kembali?” kenangnya.
“Pasti bisa istriku!” tanggap Hasud, “tunggu saja! anak-anak kita akan datang untuk memerangi pengkhotbah keparat itu!”
“Tidak mungkin, Kang! Semua hati manusia sudah tertutup rapat. Sementara akar-akar di kaki kita makin mengarat dan mengelupas sedikit demi sedikit. Ke mana kaki ini mencari inang untuk bertahan hidup, Kang?”
Hasud menahan sesak dadanya. Dia makin merasa bahwa semua kecerdikan dan kelicikan yang dia miliki selama ini benar-benar sudah tak berfungsi. Kemampuan strategi canggihnya sudah kehilangan kekeramatannya.
“Lihat cahaya itu makin menyilaukan mataku!” jerit Hasut tiba-tiba, “aku tidak kuat, Kang! Tidak kuat! Aaaaaaaaaaaa.....” Kemudian lenyap, tersisa lubang-lubang kecil bekas tusukan akar kakinya.
“Istriku! Istriku!” Dia berputar-putar di tempat lenyapnya makhluk betina berambut kawat panjang itu. Kemudian berteriak histeris. Tiba-tiba seberkas cahaya tadi muncul kembali, menyeruak dari tengah-tengah kedamaian jalan yang sepi. Hasud berusaha menghindar dari cahaya itu dengan sekuat tenaga yang tersisa. Kemudian melompat ke dalam selokan. Dia menemukan kegelapan yang begitu pekat. Ya, tempat inilah yang dia inginkan. Di sana, dia menemukan pelataran empuk untuk merebah, merasakan lunglai kakinya yang sudah nyaris tak berenergi. Tapi dia masih merasakan kehampaan, tanpa ditemani oleh Hasut yang menjadi belahan jantungnya.
Gelap memang mampu memulihkan sedikit energinya. Tapi kehilangan Hasut sungguh menyiksa hatinya. Dia bangkit, mencoba mengintip ke luar selokan.
“Cahaya itu!” Dia segera kembali ke persembunyian. Lalu mengelus dada. Mendongak ke atas seraya berujar, “Tuhan! Lihat makhluk-Mu yang kini menderita. Bukankah dulu aku tercipta karena Cahaya Muhammad? Kenapa kini aku tersiksa di dunia karena ia pula?”
Tak dia dapati jawaban yang menenangkan perasaannya. Dia terus memandang ke atas, mencari-cari kode dari Tuhan tentang keluhannya. Sepertinya Dzat yang dia harapkan tanggapannya sedang mempermainkan peranannya. Dia berusaha menyusuri selokan. Dia berharap, Hasut sedang terdampar di sisi selokan yang lain. Atau mungkin Tuhan sedang menyediakan jawaban itu di tengah jalan. Bukankah Tuhan memang Maha Mengejutkan?
Sesekali dia mengintip keluar. Dia bersemangat lagi ketika cahaya di luar makin meredup. Dia naik, bersembunyi di balik taman. Ternyata cahaya itu hanya menyebar biasa, tak seganas tadi. Tapi kedamaian yang disebabkan oleh cahaya itu tetap melemahkan taring besi dan seluruh persendiannya. Dia hanya bisa hidup dan bernapas, tapi tak bisa apa-apa. Terbersit kembali ingatan tentang istrinya yang menghilang. Kemana dia? Hancurkah? Punahkah? Ah, apakah Tuhan sudah mengingkari janji-Nya tentang kodrat penciptaan Hasut?
Dia mengingat-ingat masa lalunya. Masa pengenalan pada kodratnya sendiri. Kemudian dia ingat ribuan tahun yang lalu, pertama kali diciptakan dalam keadaan sebatang kara. Dia menghadap kepada Sang Pencipta. Dia menghaturkan sebuah hasrat, “Tuhan, kini Engkau ciptakan aku dari api yang bercampur udara. Apakah tugasku?”
“Menyalakan kebencian dan menghidupkan amarah,” jawab Tuhan.
“Apakah aku bisa hidup sendirian tanpa seorang teman?”
“Kerjakan saja tugasmu, tak usah kau mendikte-Ku!”
“Oh! Oh! Ampuni aku, Tuhan!”
Dia langsung bersujud, menyesali tuntutannya, seraya berkata, “aku tidak bermaksud mendikte-Mu. Aku hanya meminta kepastianmu, bahwa bagaimana bisa aku melaksanakan tugasku dengan baik, sementara aku hanyalah sebuah parasit yang butuh menempel di hati setiap manusia yang mau membuka pintunya untukku. Siapakah yang akan menyerbukkan semua energiku untuk membuatku berkembang-biak dengan leluasa?”
“Oh! Oh! Bangunlah, Sud! Aku sudah tahu apa yang ada di hatimu!”
“Kenapa Engkau tadi memarahiku?” Hasud mendongakkan kepala.
“Hahaha... Aku sedang bersandiwara denganmu.”
Hasud mengerutkan dahi. Dia menyaksikan tangan Tuhan merangsek masuk ke perut sisi kirinya. Dia merasakan perih luar biasa menerima perlakuan itu. Kemudian semuanya terasa ringan. Tiba-tiba muncullah makhluk berambut kawat panjang. Tersenyum dengan bibir manisnya. Keanggunannya menjadi sempurna ketika pandangan Hasud tertuju pada taring si perempuan. Sepasang taring besi yang elok. Laki-laki abstrak itu langsung terpesona.
“Siapakah itu, Tuhan?” Hasud terbuai dalam pesona itu.
“Aku anugerahkan kepada engkau seekor makhluk perempuan ini. Aku ambil dari tulang rusukmu untuk menemani hidupmu. Menemani kesepianmu. Darinyalah kau bisa mengembang-biakkan jenismu dan menyerbukkan aroma untuk menjaga kelangsungan hidup.”
Si Makhluk perempuan mendekati Hasud. Mereka masih saling merasa canggung. Kemudian saling bergandeng tangan.
“Siapa namamu?” tanya Hasud memulai perkenalan.
Si perempuan melirik pada Tuhan. Meminta ilham pada-Nya, tentang nama apakah yang disematkan oleh Sang Pencipta itu untuknya.
“Aku beri nama ia Hasut! Huruf ‘D’ adalah tanda kejantanan, sedangkan ‘t’ adalah simbol kebetinaan.”
Hasud mengangguk-angguk. Sementara Hasut tersenyum bahagia karena mengetahui siapa namanya. Kemudian Sang Pencipta melanjutkan, “kalian Kutakdirkan hidup abadi. Tak ada satu makhuk pun yang bisa membinasakan kalian.”
Ya, begitulah yang diingat Hasud. Dia dan istrinya sudah dikodratkan sebagai makhuk yang abadi. Firman itu benar adanya. Sudah dibuktikan dari ribuan tahun mereka melalui kehidupan. Ribuan generasi manusia pula mereka lalui, menyaksikan bermacam-macam pertikaian dan pertumpahan darah yang makin mengenyangkan dan menggemukkan tubuh mereka—dari pembunuhan Qabil atas Habil sebagai cikal-bakal peranan Hasud. Tapi kini kenapa Cahaya Muhammad yang menjadi penyebab penciptaan itu malah melenyapkan Hasut? Apakah benar Tuhan telah menghkhianati kodrat penciptaan Hasut?
Dia melihat di balik taman, cahaya itu sudah benar-benar berdamai dengannya. Tidak memberikan ancaman apa-apa, hanya membuatnya tidak bisa menguasai kehendaknya. Hidup enggan, mati pun segan.
Dia merogoh kaca benggala untuk memantau perkembangan dunia. Ah, bukan. Mengetahui perkembangan dunia hanya akan menyesakkan dadanya. Dia semata-mata hanya ingin mengetahui kemajuan anak-anaknya yang dia panggil dari berbagai penjuru untuk membantu memerangi sang pengkhotbah yang memegang erat tongkat Muhammad itu. Hanya kedatangan merekalah, satu-satunya yang bisa dia harapkan untuk melawan. Kemudian mencari Sang Istri yang diuapkan oleh cahaya.
Dia kaget manakala terlihat dari kaca benggala itu, anak-anaknya langsung tak berdaya memasuki wilayahnya. Gumpalan uap wangi zaitun menyeruak mengepung mereka. Memasuki semua hidung dan menggelantung pada bulu-bulu besi mereka. Uap itu menyembur dari untaian kalam sang pengkhotbah yang selalu mengangkat tongkat Muhammad di mimbar emasnya.
“Kekuatan besar ini tak bisa dilawan,” gumamnya.
Dia rebahkan tubuhnya di belakang taman itu. Napasnya terengah-engah. Tiba-tiba kerinduan pada sang istri bergejolak. Menggemparkan seluruh isi hatinya. Dia tak bisa tenang berbaring. Dia bangkit kembali. Melihat apa yang terjadi di jalan sebelah taman itu. Dia mendesis, “ah, sampai kapan ketenangan ini akan berakhir?”
Dia berbaring lagi. Mempersilahkan matanya untuk memantau langit kembali. Lagi-lagi pantulan kejadian dunia yang tercermin dari langit yang bening itu terpampang di matanya. Kini sampai pada adegan Kiai Sudrun di sebuah sudut desa. Dia berpelukan dengan Kiai Kamirun dengan damainya. Para pengikutnya saling bergotong-royong membangun rumah-rumah ibadah dan menjalani kegiatan-kegiatan keagamaan. Tak ada sekat fanatisme yang memecah mereka.
Hasud geram menyaksikan pemandangan itu. Dia teringat bahwa ketika dahulu hati Kiai Sudrun menjadi inangnya, dia merasakan kejayaan dan kemakmuran. Tubuhnya gemuk, urat-uratnya kuat dan tulang-belulangnya kokoh. Berahinya selalu menyala. Pertarungan sengit dalam mengadu syahwat dengan Hasut tak pernah libur. Anak-anak baru berlahiran tiada penghalang. Kini semua itu hanya tinggal kenangan yang mengiris-iris perasaannya.
Tiba-tiba seorang tukang kebun menyapu sampah di belakang taman. Mencakar-cakarkan sapu lidi di tempat rebahnya Hasud, mengenai matanya, mulutnya, pipinya dan mengacak-acak bulu-bulu besinya. Tukang kebun tidak sadar. Dia hanya melakukan tugasnya untuk membersihkan batas wilayah kerjanya.
“Bangsat! Manusia bangsat! Awas, kalau aku sudah kuat lagi, akan aku koyak-koyak hatimu dengan kebencian dan iri hati. Akan aku siksa hatimu dengan kecemburuan dan kecurigaan.” Hasud bangkit ketika sudah tidak kuat lagi menahan lidi-lidi sapu itu yang mencakar-cakar wajahnya. Dia melompat, mencari persembunyian yang aman, seraya berpikir untuk mencari sang istri. Sekonyong-konyong, sensor di otaknya memberikan kode bahwa dalam hitungan dua puluh langkah, kakinya akan benar-benar tidak berfungsi. Dia teringat bahwa Hasut berhasil dilenyapkan oleh Cahaya Muhammad ketika stok langkahnya hanya sisa sepuluh. Apakah dia juga akan mengalami nasib yang sama? Ah, tidak! Tidak boleh. Dia mencari akal supaya stok langkahnya tidak habis.
“Aha! Aku harus menggelinding saja untuk mempertahankan stok langkahku,” ujarnya ketika ide brilian itu menggeliat dalam pikirannya. Dia menggelinding ke arah yang menjauhkannya dari posisi tukang kebun. Kemudian diam di bawah bongkahan batu besar. Dia memandangi tukang kebun. Membidik pintu hatinya. Semua sisi pintu itu sudah digembok dengan slot yang besar. Sangat tidak mungkin untuk dijadikan inang. Tapi adakah yang tidak mungkin jika mau berusaha? Lalu bagaimana cara berusaha untuk membuka slot itu sementara dia sudah tidak berdaya lagi?
Dia menggelinding perlahan. Mencoba membenturkan gelindingannya ke pintu hati tukang kebun. Ternyata pintu itu terbuat dari kaca bening yang memancarkan cahaya Muhammad. Hasud kaget bercampur takut. Bayang-bayang hilangnya sang istri menyerbu seketika. Dengan segala daya upaya dia berusaha bangkit. Dia berlari. Satu langkah, daya kakinya berkurang. Dua langkah, otot-otot kawatnya mengendur. Tiga langkah, sebagian akar-akar telapak kakinya rontok, sebagian lagi meleleh seperti kawat timah yang disentuh panas dua ratus derajat celcius.
Dia sadar ketika bergerak di langkah yang keempat. Salah satu jarinya sudah kehilangan tulang besi. Cepat-cepat dia berhenti dan merobohkan diri. Energi gerak mempercepat gelindingnya menuju sebuah kuburan pahlawan. Dia berhenti di sebuah nisan. Lalu memandangi nama yang tertera di nisan itu. Letjen Handoko. Pahlawan Nasional.
“Hahahaha...” Hasud tertawa lepas, seakan semua penderitaannya sudah selesai. Dia tak bisa menahan tawa ketika melihat nama di nisan itu disebut sebagai pahlawan nasional. Dia tahu betul seluk-beluk terdalam di balik jenderal yang namanya tertera di nisan itu. Jejak kiprah Hasud di dalam hati sang jenderal masih basah dalam ingatannya.
“Kenapa manusia sebodoh itu?” gumamnya dalam kekeh yang belum berhasil dia hentikan. Sepak terjang sang jenderal mengelilingi otaknya, lalu menampilkan diri dengan jelas sejelas-jelasnya. Sang Jenderal yang bertubuh tegap, pandangan tajam ke depan, menyaksikan seorang aktivis HAM disalib di depan istana negara. Seorang raja berdasi dan bersongkok hitam berdiri di kursi kehormatan. Sebuah peluru sudah siap melaju di ujung pistol. Sementara Hasud sedang terkekeh-kekeh di hati Sang Jenderal. Sebuah kemenangan sudah berada di ujung mata.
“Semburkan terus kekuatanmu, Sayang!” seru Hasud kepada Hasut yang menempel di otak Sang Jenderal.
Hasut tak sempat menanggapi. Kekuatan apinya tak henti-henti berkobar dari mulutnya. Menjilat-jilat mata Sang Raja, juga menggairahkan perasaan Sang Jenderal. Ya, Letjen Handoko merasa bahwa inilah puncak dari perjuangannya melawan pemberontakan-pemberontakan dari seorang aktivis yang enggan menghentikan gerakannya hanya dengan penjara meskipun berkali-kali. Penjara tak pernah melemahkan tajinya untuk memberontak; menuntut pengadilan atas pembantaian-pembantaian yang dilakukan oleh Sang Jenderal terhadap para pemikir dan intelektual yang mengguncang tangan besi kekuasaan.
“Ah! Apakah cita-cita hidupnya hanya untuk memberontak?” geram Sang Jenderal.
“Mampuskan saja seorang pemberontak tak bercita-cita itu!” dorong Hasud menepuk-nepuk permukaan hati inangnya. Seraya melihat ke sekitar. Berjejer para ahli agama, para intelektual, para seniman dan para serdadu kerajaan.
Seorang agamawan yang membawa duplikat tongkat Muhammad berseru, “para penentang pemerintahan yang sah adalah bughot. Darahnya manis dan lezat. Halal disantap bersama-sama!” seraya menjilat ketiak Sang Raja.
Sang intelektual berkelakar, “stabilitas negara adalah tujuan utama dalam bernegara. Siapapun yang menyuarakan perlawanan, berarti mengganggu stabilitas. Harus kita babat sehabis-habisnya, hingga ke akar-akarnya.” Seraya membenarkan dasi dan posisi jasnya. Mereka sudah dalam kendalinya Letjen Handoko.
Sedetik, dua detik, tiga detik, dor! dor! dor! Moncong pistol itu memuntahkan pelurunya. Melesat cepat, tak terkejar oleh pandangan mata biasa. Menembus ulu hati, membocorkan kening dan mengoyak perutnya. Percikan darah bercampur serbukan tulang memancar, menyebar ke sekitar. Diabadikan dengan kamera tercanggih kala itu. Diberitakan di mana-mana. Kemudian ditambahkan ke daftar mayat pembangkang yang baru. Menyumbangkan konten baru untuk para sejarawan istana. Para sejarawan istana itu menulis dengan yakin bahwa sang aktivis adalah seorang pengkhianat yang harus menerima konsekuensinya. Kemudian disebarkan kepada para pelajar. Para guru berpesan: “Janganlah meniru para pengkhianat!” Para murid mengangguk-angguk.
Hasud melihat kaca benggala lagi. Tampilan layar dia alihkan pada keadaan manusia ketika hati mereka sudah tidak dihuninya lagi. Saat dunia tanpa peperangan, tanpa permusuhan, tanpa pertikaian, tanpa persaingan dan tanpa perebutan wilayah dan kekuasaan. Dia dapati sebuah kejenuhan mulai terjadi di salah satu pojok dunia. Di sebuah kota kecil yang lebih dulu berhasil menutup pintu hatinya dengan slot gembok yang besar. Hingga tidak ada satu hati pun yang bisa dijadikan inang oleh Hasud.
Dia menengadahkan kepala. Mendongak ke langit yang memantulkan keadaan dunia yang tenang itu. Namun di balik kedamaian itu, hatinya tercabik-cabik dan terkoyak-koyak manakala dia saksikan anak-anaknya juga bergelimpangan di pinggir-pinggir jalan. Ada yang terseok-seok tak berdaya. Ada yang menjerit karena telinganya diterkam oleh suara pengkhotbah yang makin semangat mengangkat “Tongkat Muhammad” yang asli disertai kilatan-kilatan cahaya yang menyambar ke mana-mana, bahkan mencambuk sebagian anaknya yang berusaha menembus pintu tebal salah seorang anak manusia. Dan, ada yang meringkuk di dalam jembatan yang kotor.
Dengan mata berkaca-kaca, Hasud meraba-raba apa yang diinginkan Tuhan. Dia tak kuasa lagi menjalani penderitaan ini. Dia gerakkan bibir dengan berseru, “Tuhan! Bukalah satu pintu hati saja yang bisa kurasuki! Atau gantilah makananku! Bisa kau ganti dengan darah harimau atau darah serigala. Jangan Kau tetapkan darah pertikaian sebagai makananku! Aku lapar!”
Makhluk berjubah putih dan bersayap turun dari langit. Melayang-layang, mendekati posisi Hasud. Makhluk itu menyebutkan diri sebagai malaikat. “Aku utusan Tuhan!” akunya dengan wajah berwibawa. Lantas menatap Hasud dengan tatapan tajam.
“Aku terpaksa turun untuk menyampaaikan pesan Tuhan.”
“Pesan apa yang Tuhan titipkan untukmu?”
“Dia menyampaikan bahwa Dia hanya ingin mengabulkan doamu.”
“Jadi aku bisa hidup dengan darah serigala atau harimau?”
“Bukan itu, maksudku, Goblok!”
“Utusan Tuhan yang tidak berakhlak!”
“Aku tidak punya banyak waktu untuk basa-basi.”
“Ayo, cepat katakan pesan Tuhan yang kaubawa!”
“Aku sudah sampaikan! Coba ingat-ingat, dahulu apa yang pernah kau minta pada Tuhan beberapa tahun yang lalu?”
Hasud tercenung. Dia menyisir semua ingatannya. Datang sebuah ingatan di masa lalu. Masa lalu yang sangat jauh. Yaitu pada masa kekhalifan ketiga pasca kerasulan. Mungkin di celah-celah peristiwa itu pernah melontarkan sebuah doa. Bayangan di situ dimulai dari seorang pemuda mengambil paksa jenggot seorang sepuh yang dipanggil sebagai khalifah. Di sekeliling, sekumpulan orang siap menghunus pedang. Sang khalifah masih memeluk mushaf di tangan.
“Pelan-pelan, Anak Saudaraku! Engkau telah menarik jenggot yang tak pernah ditarik oleh ayahmu,” ungkap sang khalifah dengan nada lembut, seakan tak merasakan ancaman apa-apa di tengah kepungan para tangan penghunus pedang. Hanya dengan kalimat itu, tangan sang pemuda bergetar dan diiringi lelehan air mata. Mendadak, tak ada satu pun di antara mereka mengeluarkan suara. Dengan menunduk, sang pemuda mundur sembari menjatuhkan pedang dan beranjak jauh dari tempat yang mengoyak hatinya itu.
Seorang pemuda yang lain melompat, menghantam kepala sang khalifah dengan dahan kurma, hingga darah mengalir ke atas mushaf di pangkuannya. Sang khalifah hanya memejamkan mata, menahan sakit dan perih yang akan memusnahkan nyawanya. Seorang lagi maju, menusukkan pedang ke dada sang khalifah. Seorang wanita melompat ke tengah-tengah keberingasan manusia yang berperilaku setan. Berusaha mencabut pedang yang menancap di dada orang mulia itu. Sang pemuda memenggal tangan si wanita hingga menjerit histeris. Tapi jeritan tidak menggugah hati mereka. Malah mereka menjarah semua benda berharga di ruangan itu. Kemudian pergi tanpa merasa berdosa. Seluruh umat Islam berada dalam mendung duka.
Hasud masih ingat, kala itu dia berpesta bersama istri dan anak-anaknya, mereguk darah segar yang mengalir dan menyeruakkan bau harum semerbak. Perayaan mereka makin meriah ketika seluruh kaum muslimin bergemuruh dalam tangis yang berselimut duka. Huru-hara fitnah menyebar ke seluruh antero negeri.
“Kerja-kerja kita tidak sia-sia!” ungkap Hasud kepada Hasut.
“Jerih payah selama berbulan-bulan setelah beberapa kegagalan selama bertahun-tahun sebelumnya telah terbayar dengan sempurna.”
“Ke depan, kita akan bertemu dengan tahun-tahun yang menyenangkan. Darah ini akan terus mengalir ke generasi-generasi yang akan datang. Kita akan menjalani masa senja yang menyenangkan.”
Kemudian bayangan itu seperti sebuah slide yang pindah ke halaman baru. Sebuah halaman yang menampilkan perang saudara. Menumpahkan darah yang berstatus abu-abu. Beberapa orang memilih untuk menumpulkan pedang karena tak tahu warna hitam-putih perkara yang mereka bela. Jelas, Hasud dan Hasut beserta anak-anaknya menari-nari makin dan makin menjadi. Bermiliar-miliar botol mereka sediakan untuk menampung darah-darah segar itu bahkan juga disediakan untuk darah-darah yang menjadi buntut dari peristiwa tersebut hingga berabad-abad. Mereka berpesta-pora sembari menyulut kebencian di tengah-tengah kaum yang lain.
Sampai di sini, dia berhenti menyisir masa lalunya.
“Aku tidak menemukan doa apa-apa dari masa laluku,” ucapnya kemudian.
“Itu urusanmu. Aku hanya menyampaikan salam dari Tuhan.”
“Tapi kamu harus jelas menyampaikan tugas!”
“Ini sudah jelas! Aku tidak sepertimu. Tidak ada kata-kata dan makna yang aku kurangi dan aku tambahi. Itu lah yang murni disalamkan Tuhan.”
“Jadi Tuhan mengirimmu hanya untuk ketidakjelasan ini?”
“Sudah kubilang, goblok! Yang kusampaikan adalah kabar yang jelas. Tugasmu hanyalah mengingat apa yang pernah kau minta dalam doamu. Tugasku sudah selesai.” Makhluk berjubah putih itu langsung berbalik dan terbang ke atas, memasuki celah-celah awan, lalu hilang di tengah-tengah permukaan langit yang menampilkan pantulan ketenangan dunia.
Hasud melihat penampakan di kaca benggala lagi. Melanjutkan tontonan sebuah arus hidup di sebuah kota yang tadi sempat teralihkan oleh kedatangan makhluk berjubah putih. Ia menyaksikan sebuah kota yang tenang tanpa diributkan oleh pertikaian. Di kota itu, orang-orang hanya tahu tentang senyum, ketenangan, keluguan dan kehidupan yang begitu sederhana. Lihat! Mereka yang dulu pernah bersaing dalam pilihan politik, kini tenang dalam kedamaian. Tapi lihat juga, peradaban di kota itu mandeg. Tak ada yang berebut untuk melakukan pembaharuan dan keinginan untuk menjadi orang yang paling dikenang. Arus persaingan yang menandai denyut kehidupan kota benar-benar tak ada detaknya. Saling sikut dan sikat untuk rebutan kursi di hadapan sesama yang semestinya menjadi nafas utama dalam dunia modern telah punah.
“Ini tidak bisa dibiarkan!” prihatin Hasud, seraya menggeleng-geleng kepala. Namun, ia terpasung dalam ketakberdayaan. Sisa langkah yang menjadi penentu keberlangsungan hidupnya membuatnya hanya bisa meratap. Dia berusaha berpikir dengan keras sembari menentukan dua tugas penting yang harus segera dia selesaikan secepatnya untuk memperbaiki keadaan ini. Yaitu mencari sang istri dan mencari inang yang membuatnya nyaman dan betah di dalamnya.
Oh ya, dia hampir saja lupa mengingat-ingat pesan Tuhan perihal doa yang pernah dia panjatkan sehingga harus tersungkur dalam keadaan seperti ini. Dia kembali menyisir satu-persatu perjalanannya dari masa banul-jan hingga masa keributan soal asal mula manusia; dari kera atau dari tanah atau dari manusia itu sendiri. Melewati masa-masa pergantian dari nabi ke nabi; dari khalifah ke khalifah; dari raja ke raja; dari dinasti ke dinasti; dari masa-masa penjajahan sebuah negeri terhadap negera lainnya hingga penjajahan terhadap bangsa sendiri di balik topeng negara.
Lama-lama kepalanya menjadi pening. Detail ingatan tentang doa yang pernah dia haturkan benar-benar tidak bisa dihadirkan. Tiba-tiba dia ingat pada Hasut. Tak ada satu kejadian sepanjang hidupnya yang tidak ditemai oleh istri tercinta. Dia menitikkan air mata. Cairan kesedihan yang baru meleleh pertama kalinya. Andaikan dia ada di sisinya, pastilah bisa berbagi ingatan tentang pertanyaan besar yang tidak bisa terjawab ini. Baginya, tidak pernah dia rasakan duka seberat kejauhan dirinya dari Hasut.
Dia bangkit dan melangkah pelan dengan tubuh sempoyongan. Alarm yang mengingatkan bahwa sisa langkahnya tinggal beberapa lagi diabaikannya. Beberapa anggota tubuhnya sudah melepuh, sebagian menjadi cairan zat besi dan sebagian menjadi serbuk besi yang membauri tanah. Pada langkah yang terakhir seluruh kaki dan setengah tubuhnya sudah habis. Tinggal dada hingga kepala yang tersisa. Kemudian seberkas cahaya merambat hingga mengenai wajahnya. Menghempaskannya hingga binasa. Dia lenyap dari permukaan dunia.
Tiba-tiba muncul dalam sebuah alam lain yang membentang luas. Dengan lengkung langit dan peraduan senja yang berbeda dari dunia yang ditempati sebelumnya. Hawa udara dan kicauan makhluk bersayap yang hinggap di pohon-pohonnya pun tidak sama. Bahkan benda yang disebut pohon itu pun bentuknya berbeda. Tidak pernah ditemukan di dunia yang lalu.
Tubuhnya sempurna kembali. Tenaganya dalam keadaan penuh seratus persen. Tanpa bayang-bayang Cahaya Muhammad yang selalu mengancam. Tanpa penampilan tukang khotbah yang selalu menguras energinya. Tapi ada kesunyian yang mencengkeram ulu hatinya. Kerinduan yang begitu dahsyat bergelora dan menyiksa. Tiba-tiba dia mendengar suara isak tangis di balik batu besar. Dia melangkah menuju suara itu. Sebentuk makhluk besi dengan rambut besi panjang menghampar di sekitar batu meringkuk.
“Istiku!” sapanya kaget.
Makhluk itu mendongakkan kepala seketika. Lalu menoleh ke arah Hasud. Dia bangkit dan melompat lalu berpelukan dengan tangis yang tidak bisa ditahan.
“Kita dihukum di sini, Kang!” isak Hasut.
“Kenapa kita mesti dihukum? Apakah tidak cukup Tuhan menghukum kita dengan penderitaan yang menyiksa selama di dunia lalu?”
Hasut mengeringkan air matanya. Lantas menanggapi ucapan Hasud, “kita dihukum karena telah melanggar kodrat.”
“Kodrat apa yang kita langgar?”
“Kita telah menuntut-Nya agar keluar dari kodrat penciptaan kita!”
Hasud terhenyak mendengarnya. Dia teringat kembali pada pertanyaan besar tentang doa yang pernah dia minta. Dia pandangi kelopak mata baja yang sudah kering dari air mata dalam waktu sekejap. Dia juga memandangi bibir yang dia anggap paling indah. Dari bibir itu, dia menunggu ungkapan lanjutan dari pernyataannya.
Benar, bibir itu bergerak menyuarakan sebuah cerita masa silam. Bahwa dunia pernah berada dalam kecamuk kemanusiaan terbesar yang tak terlupakan. Negara-negara bertikai berebut kehebatan dan wilayah kekuasaan. Kala itu, Hasud dan Hasut berada di tengah-tengah setiap kejadian. Mengobarkan api pada setiap upaya perdamaian. Ya, manusia tidak boleh berdamai! Setiap benih-benih perdamaian harus dibakar dan dimusnahkan. Dalam setiap waktu, harus ada darah pertikaian yang mengaliri hidup ini. Harus muncul manusia-manusia kuat yang dalam hatinya menyediakan ruang yang nyaman untuk Hasud dan Hasut.
Setiap saat Hasud dan Hasut berpesta pora menikmati darah-darah segar. Darah orang-orang lugu yang menerima begitu saja tipuan kata-kata “demi bangsa dan negara”. Sampai memandang murah harga nyawa manusia. Benar-benar terjadi homo homini lupus. Manusia menjadi serigala bagi manusia lain. Para pemenang akan menjajah negara-negara yang kalah. Pada puncaknya, Hasud tercebur dalam sebuah kesunyian di tengah-tengah ramainya perang. Dia mencoba menepi bersama sang istri di bawah puing-puing bangunan kota yang hancur karena pertunjukkan adu kekuatan senjata.
Dia dengarkan dengan cermat ledakan bom yang menghentak dunia, bunyi mesiu yang menerobos nyawa seseorang dan kesepakatan gencatan senjata yang selalu gagal. Dia merasa lelah dengan semua ini. Semua kenikmatan pesta terasa hambar. Dia mulai mencurahkan perasaan pada Hasut: “Sayang, kita sudah renta. Tak terhitung generasi yang kita lewati. Bau anyir darah pertikaian telah kita kecap tak terhitung kali.” Kemudian mendongak ke langit, bertanya-tanya: “Tuhan, apakah tugasku sudah selesai?”
Dengan tak terduga, langsung ada jawaban dari-Nya melalui petugas yang berwujud angin: “Tugasmu adalah mengiringi kehidupan. Akan selesai setelah kuselesaikan semua cerita dunia ini.”
“Tapi aku mulai tidak tenang dengan keadaan dunia yang makin kacau ini,” keluhnya.
“Begitu lama kamu menaati semua takdir yang Dia berikan. Sekarang, apa yang kamu inginkan?”
“Aku ingin alur sandiwara ini berubah. Tak sanggup aku menyaksikan pertumpahan darah yang makin menjadi ini.”
Hasud menunggu tanggapan Tuhan cukup lama. Tapi tak kunjung terdengar suara lagi. Dia terus menunggu kepastian. Sampai Hasut mengingatkan bahwa mereka harus segera melanjutkan tugas yang niscaya selama kehidupan masih terus berjalan. Setiap darah berhasil tumpah karena kerjanya yang begitu baik, dia mendongak ke langit, meraba-raba tanggapan Tuhan tentang pembicaraan yang belum sempurna itu. Satu hari, seminggu, sebulan bahkan setahun saja masih sangat bisa dia ingat. Tapi ketika waktu terus bergulir, melewati tahun-tahun yang indah dengan banyaknya mangsa hati yang bisa dijadikan sebagai inang, percakapan itu menguap begitu saja dari ingatannya. Hingga dia merasa tidak pernah mengutarakan keinginan apa-apa.
“Doamu untuk sesuatu yang melawan kodrat termasuk dosa besar,” tutup Hasut, sembari terisak-isak penuh penyesalan.
“Mana ada unsur doa dalam perkataanku, Sayang?”
“Tapi kamu bilang ‘ingin’, kan, pada Tuhan?”
“Lah! Itu bukan doa.”
“Tuhan menerimanya sebagai doa.”
Hasud tercengang. Dan, berusaha menerima hukuman dengan kehidupan tanpa darah pertikaian. Dari dunia pembuangan ini, cakrawala yang membentangi langit menampilkan keadaan dunia yang tidak terkotak-kotak lagi dalam batas wilayah teritorial. Semuanya melebur dalam wilayah kemanusiaan. Yang terkotak-kotak hanyalah antara batas wilayah alam jin, malaikat dan semua spesies makhluk lain. Di sudut dunia yang tepampang di cakrawala ini, ribuan bahkan miliar anak-anak pasangan Hasud dan Hasut terseok-seok langkahnya menyaksikan kehidupan dunia yang seperti itu.
Setiap waktu, sosok makhluk berjubah putih yang mengaku sebagai petugas Tuhan menyajikan bekuan darah dengan nampan. Setiap menyantapnya, mereka bertambah energi dan berakhir dengan bersenggama yang penuh gairah dan kegilaan. Namun, semua itu tidak pernah membuahkan keturunan.
“Ini rasanya seperti darah pertikaian yang aku rasakan di dunia yang lalu,” tukas Hasud kepada petugas itu.
“Memang diambil dari sana!” tanggap petugas.
“Berarti sekarang dunia yang lalu sudah kembali?”
“Tidak! Itu diambil dan dikumpulkan sejak kamu berdoa. Dalam waktu yang lama Dia tidak segera mengabulkan doamu. Karena masih mengumpulkan darah yang mesti dipersiapkan selama kamu menjalani hukuman.” (*)
Probolinggo, 24-02-2021 s/d 01-02-2022
Cerpen ini dimuat dalam Antologi Cerpen "Mereka Mencari Air di Bawah Terik Matahari" (DivaPress, 2023)