Cerpen
Disukai
3
Dilihat
4,726
Reinkarnasi Umar
Religi

Anak laki-laki itu sudah lahir tepat waktu fajar menyingsing. Lahir dengan operasi sesar di sebuah rumah sakit paling elit dengan biaya penuh ditanggung oleh Bapak Presiden. Lahir dalam keadaan sudah disunat dan bersih dari darah. Ibu yang mengandungnya selama dua tahun tidak menanggung fitrah kewanitaannya yang berupa mengalirkan darah paling lama dua bulan dari vaginanya. Semua langsung bersih. Tanpa ari-ari yang harus dipendam di depan rumah di sebelah kanan pintu menurut keyakinan penduduk setempat. 

Sejak pertama kali datang dari rumah sakit tepat waktu subuh esoknya, tidak ada tangisan yang pecah membisingkan suasana kampung yang damai dan permai. Orang-orang yang khusyuk dalam ibadah subuh tidak tahu menahu perihal kelahiran laki-laki yang dinanti-nanti itu. Kabar itu tiba-tiba beredar begitu saja ketika matahari terbit setinggi penggalah dan orang-orang mulai berhambur ke sawah.

Mereka segera mengerumuni rumah bahagia yang tempatnya tepat di pojok dusun. Dinding-dindingnya masih dari kayu yang diperkirakan usianya sudah ratusan tahun yang lalu. Rumah peninggalan sesepuh empat generasi yang kekuatannya telah teruji oleh waktu dan perubahan cuaca. Hanya atapnya yang terbuat dari jerami sudah diganti berkali-kali. Dari gubuk itu, si bayi tersenyum menyambut orang-orang yang berebut ingin menyaksikan manusia baru yang diyakini akan membawa titisan Umar bin Khattab sesuai isyarat mimpi Bapak Presiden. Kelahirannya memang sudah dinantikan oleh orang sekampung sejak Bapak Presiden datang mencari ibu hamil yang semua kriterianya sesuai dengan yang ada dalam isyarat mimpinya.

“Kita sudah begitu sulit menghadapi huru-hara yang terlanjur menjadi kronis di tengah-tengah persatuan kita,” jelas Bapak Presiden, “maka kita perlu kedatangan orang yang bisa menumpas semua itu. Bisa meredam segala gejolak bisikan setan yang akan memecah-belah kesatuan. Bisa mengundang kemakmuran di seluruh lapisan negeri. Bisa meredam keganasan binatang busa kepada binatang-binatang piaran kita.”

“Kenapa bukan Bapak Presiden sendiri yang menangani semua huru-hara itu? Kenapa harus menunggu seorang bayi yang baru lahir?” Salah seorang warga memberanikan diri bertanya.

“Saya sudah meminta isyarat kepada Tuhan untuk menyelesaikan huru-hara itu. Saya meminta agar diberi petunjuk menyelesaikannya. Jika perlu menghunus pedang, akan aku lakukan itu. Jika harus meluncurkan peluru, akan aku laksanakan itu. Tapi Dia memberiku isyarat yang aneh. Dia mengabariku bahwa huru-hara itu hanya bisa diselesaikan oleh seorang anak kampung yang masih dalam kandungan dan di sinilah petunjuk yang aku peroleh. Anak dalam kandungan itu akan mewarisi tabiat Umar bin Khattab.”

Para warga manggut-manggut mendengarkan pemaparan Bapak Presiden yang sangat meyakinkan. Bapak Presiden melanjutkan, “anak itulah yang akan menghadapi huru-hara itu. Memutus semua macam konflik yang memecah-belah persatuan kita. Anak itu akan menghalangi semua jenis setan yang akan merasukkkan nafsu dan angkara murka.”

“Tunggu, Bapak Presiden!” seru salah seorang di tengah-tengah kerumunan itu. Membuat jumlah yang banyak itu mengalihkan perhatian padanya. “Yang kami butuhkan di kampung ini bukan hanya persatuan. Kami sudah biasa dengan persatuan. Kami tidak pernah berseteru dan tidak pernah terpecah-belah. Hanya saja kami sering mendengar jeritan perut yang meronta-ronta. Jika anak itu benar-benar lahir dan mewarisi tabiat Umar, apakah kelaparan kami akan terobati?”

Bapak Presiden tolah-toleh, lalu memberikan tanggapan dengan nada sedikit tinggi, “tenang! Jika tabiat Umar benar-benar hadir di tengah-tengah kita, maka hidup kita pasti akan terjamin. Kita akan makmur dan sejahtera. Bahkan anjing-anjing di jalanan pun akan terjamin hidupnya. Tidak akan ada perut lapar yang terlantar. Tidak akan ada kucing-kucing yang terseok-seok di pasar-pasar karena tidak mendapatkan perawatan dari manusia. Tidak ada tikus-tikus yang harus merusak pekarangan manusia hanya untuk mencari makan buat dirinya sendiri.”

“Jadi tidak ada lagi pemimpin seperti Bapak Presiden?” Tomo, seorang pemuda berkemeja rapi dan bercelana hitam resmi ikut mengungkapkan uneg-uneg yang ditimbulkan oleh pemaparan Bapak Presiden.

“Saya tetap menjadi presiden seumur hidup!” tandas Bapak Presiden dengan nada menghentak dan menunjukkan sedikit rasa marah pada pemuda itu.

“Bagaimana bisa titisan Umar itu membentuk kemakmuran? Jangan-jangan nanti akan menyaingi Bapak Presiden.”

“Tuhan tidak pernah salah memberikan petunjuk!”

“Tapi Bapak Presiden bisa saja salah dalam menyambut isyarat itu.”

Bapak Presiden diam tiba-tiba. Menyorotkan mata dengan tajam pada anak muda itu. Lalu si pemuda menyambung, “tabiat Umar tidak akan bisa menjamin kehidupan kami jika Bapak Presiden tidak menyetujui; tidak akan bisa membuat kami makmur dan sejahtera jika Bapak Presiden menghalang-halanginya; kehidupan anjing-anjing di jalanan tidak akan bisa terjamin walaupun titisan Umar berada di tengah-tengah kami, jika Bapak Presiden masih lebih mendahulukan terjaminnya hidangan di meja makan pribadi dengan menu di atas standar kami; Umar tidak akan bisa memastikan perut kami tidak lapar, jika Bapak Presiden masih enggan kelaparan; Umar tidak akan berdaya menyaksikan kucing-kucing yang terseok-seok, jika Bapak Presiden saja masih suka membiarkan penganiayaan terhadap tempat-tempat hidup hewan atas nama peningkatan ekonomi; Apalah daya Umar melihat tikus-tikus merusak pekarangan orang, jika Bapak Presiden dan staf-stafnya sudah akrab dengan tabiat tikus.”

“Plok!”

Pipi Tomo terasa dihantam palu godam. Di penglihatan matanya diitari warna kunang-kunang dan berkelip-kelip kunig, oranye, merah dan didominasi oleh warna hitam gelap. Dia tidak sadar bahwa tubuhnya roboh dan ditangkap ramai-ramai oleh warga yang menyaksikan. Perlahan, tubuhnya ditegakkan dan kerlap-kerlip di matanya berkurang sedikit demi sedikit. Hingga kerumunan orang di sekitarnya mulai terlihat kembali. Ada bisik-bisik memasuki pendengarannya, “hati-hati berbicara dengan Bapak Presiden! Ajudannya menjotosmu!”

*

Tomo berada di posisi terdepan ketika bayi laki-laki itu memamerkan senyum. Berkali-kali tangannya membuka bedong untuk memastikan kebenaran yang diributkan oleh orang-orang bahwa bayi laki-laki itu dalam keadaan disunat. Tawa bayi laki-laki makin menghibur semua yang datang. Kecuali Tomo yang makin serius membaca tanda-tanda yang ada di sekujur fisiknya. Dia yang paling serius meneliti semua itu. Karena dalam hatinya ada harapan besar, kelak jika titisan Umar itu sudah dewasa, dia akan melaporkan kesemena-menaan ajudan Bapak Presiden yang seenaknya menjotos dirinya dan menyebabkan hidungnya terus melelehkan ingus hingga sekarang.

“Tanda-tandanya melebihi Umar!” suaranya berbisik sendiri, tapi masih bisa terdengar oleh orang yang paling dekat dengannya. Lantas orang itu menanggapi, “benar! Bahkan tanda-tandanya setara dengan nabi.”

“Atau jangan-jangan sebenarnya dia bukan titisan Umar, tapi titisan nabi,” seloroh orang yang mendengar ucapan itu. 

“Hus!” tegur Tomo, “era kenabian sudah selesai. Yang paling mungkin adalah hadirnya seorang wali. Dia pasti calon wali yang bertugas menegakkan keadilan di seantero negeri.”

“Berarti kamu mau bilang bahwa pada era Bapak Presiden sekarang ini keadilan tidak tegak? Hah?!” Seorang bertubuh kekar dengan tangan seperti baja mencengkeram kerah bajunya. Suaranya bulat dan keras. Dengan penglihatan yang remang-remang karena dikuasai panik, Tomo melihat di atas katupan bibir laki-laki kekar itu terdapat kumis tebal. Lalu, “Plok!” hantaman tangan batu pada mulutnya membuatnya terpental ke belakang. Membuat orang-orang menyingkir. Kepala Tomo jadi linglung. Mulutnya mengerang kesakitan. Dari hidungnya bukan hanya ingus yang meleleh, tapi darah hangat juga mengiringi, menggariskan warna merah membentangi bibirnya. 

“Aku hanya bilang bahwa bayi itu akan menegakkan keadilan. Tidak lebih!” Dia membela diri walaupun matanya belum bisa melihat sesuatu dengan penampakan penuh. Tubuh kekar itu tampak remang-remang. Ada beberapa tangan mencoba membangunkannya dan membawanya menjauh dari orang yang menjotosnya tadi. 

“Dia mata-mata Bapak Presiden!” bisik salah seorang dari mereka, “kita mesti hati-hati berbicara selama menyambut kelahiran bayi yang akan menggulingkan Bapak Presiden!”

Pria kekar menggantikan posisi Tomo di dekat bayi titisan Umar. Tiba-tiba tangis pertama si bayi pecah. Dia menjerit dengan mata memelotot ke arah laki-laki kekar itu. Hawa tangisnya bukan karena takut, tapi tangisan kemarahan. Sangat tampak bahwa tubuh kecil mungil itu meronta-ronta ingin menembus bungkusan bedongnya seakan-akan mau terbang dan menghantam si tubuh kekar. 

“Sebaiknya jangan mendekat, Pak! Bayi ini sepertinya tidak berkenan menerima kedatangan anda!” Abunali, seorang sesepuh dusun segera mengambil sikap atas keadaan itu. Kedamain dan kebahagiaan yang dialami oleh para anggota dusun kearena lahirnya seorang bayi yang dinanti-nanti tidak boleh hilang hanya gara-gara kehadiran seseorang yang tidak memiliki arti apa-apa di mata warga. Bahkan ketiadaannya lebih diharapkan dari pada keberadaannya di tempat yang penuh kegembiraan ini. 

“Saya mendapatkan mandat dari Bapak Presiden agar mengawasi bayi harapan bangsa ini,” tandas laki-laki kekar bersikukuh mempertahankan posisinya.

“Untuk pengawasan, biarlah kami yang melakukannya! Bayi itu lahir dari kami dan kelak akan memberikan keadilan untuk kami,” gugat Abunali mewakili yang lain, sementara si bayi terus melengkingkan tangis yang makin menjadi dan semua orang kebingungan untuk mendiamkannya. 

“Kata Bapak Presiden akan memberikan kemakmuran dan kesejahteraan untuk seluruh rakyat seantero negeri. Bukan hanya untuk satu dusun saja.”

“Tapi dia lahir dari kami. Dia milik kami. Dia yang akan menyelamatkan kami. Maka cukup kamilah yang berhak mengawasi dia.”

“Bahkan!” Suara keras tiba-tiba menyela mereka. Tomo sambil menahan sakit bekas tonjokan di area wajahnya muncul dengan tubuh berlagak tegap. Dia melantangkan suara, “kelak bayi itulah yang akan membela kesemena-menaanmu terhadapku! Juga kesemena-menaan Ajudan Presiden padaku waktu itu!”

Tangan batu petugas Bapak Presiden itu mengangkat dan terdorong ke belakang, mengambil ancang-ancang untuk melancarkan pukulan keras ke muka Tomo. Orang-orang yang menyaksikan segera berkerumun, menghentikan aksi tangan keras yang sekaku besi batangan itu. Mereka berjumpalitan menggagalkan gerakan tangan yang terlanjur mengepal tersebut. Tapi tetap saja tangan itu bergerak tak terkendali dan menghempaskan mereka. Maka Tomo segera menghindar hingga kepalan tangan itu hanya menghempas angin. Keributan itu menyamarkan lengking tangis bayi yang tidak terbendung meskipun berbagai cara dilakukan oleh ibu-ibu yang ada di situ. Bahkan ibu yang melahirkan juga kewalahan menangani. 

“Berhenti!” Abunali menghadang aksi lanjutan laki-laki kekar itu seraya membentangkan kedua tangannya ke samping, “saya sudah bilang bahwa kami tidak butuh kehadiranmu! Karena keberadaannmu di sini, kebahagiaan kami terusik dan sumringah tawa kecil bayi itu hilang.”

“Saya hanya melaksanakan tugas dari Bapak Presiden. Saya harus menjaga dan mengawasi bayi harapan bangsa itu!”

“Keberadaanmu hanya membuat keresahan!” Suara Tomo lagi-lagi ikut-ikutan dalam konfrontasi itu. Laki-laki kekar geram hingga ke ubun-ubun. Matanya berkobar seperti api. Tangannya mengepal tanpa terasa. Lalu terangkat dan melayangkan hantaman ke muka Tomo. Untungnya, Abunali segera menjegalnya dengan kayu besar hingga yang sampai ke wajah Tomo hanyalah sentuhan ringan yang cukup menggodok detak jantung. 

Mereka beramai-ramai mengusir laki-laki kekar. Tapi dia tidak menggubrisnya. Dia berdalih sedang melaksanakan tugas dari Bapak Presiden. Kemudian mereka melemparinya dengan batu bersama-sama dan berkali-kali. Dia lari terbirit-birit setelah merasakan perih pada benjolan-benjolan akibat terkaman batu di seluruh tubuhnya. Dia masih berteriak, “aku hanya melaksanakan tugas dari Bapak Presiden!” Sementara lengking bayi itu makin mengendur seiring makin jauhnya laki-laki kekar itu dari kerumunan manusia dusun yang bahagia menyambut seorang bayi harapan. Kemudian bayi titisan Umar tertawa-tawa lagi ketika laki-laki kekar itu lenyap. 

*

Bayi titisan Umar makin besar. Semua penghidupan ditanggung oleh Bapak Presiden. Masing-masing warga dari kalangan laki-laki bergantian menjaga dan mengawasi keselamatannya. Benar. Remaja titisan Umar itu menunjukkan keistimewaan yang berbeda dari para remaja seusianya. Bapak Presiden selalu berkirim surat kepada Abunali selaku sesepuh dusun agar berita kehidupan titisan Umar itu tidak terdengar oleh siapa pun. Bahkan satu pun keluarga presiden tidak boleh ada yang tahu. Orang-orang dekat Bapak Presiden yang boleh tahu hanyalah orang-orang setia yang kuat menutup mulut bahkan saat disambar petir sekali pun. Laki-laki kekar yang beberapa tahun lalu diusir dari dusun sudah dilenyapkan beberapa minggu setelah itu. Karena dendam kusumatnya pada orang-orang dusun yang melahirkan titisan Umar itu membara dan menyebabkan dia berbicara ke mana-mana tentang rahasia besar tersebut. Orang-orangnya Bapak Presiden yang lain segera mengendus tindakannya. Bapak Presiden segera mengerahkan para preman simpanannya untuk menumpasnya bersama orang-orang yang sudah terlanjur mendengar kabar itu. 

“Orang-orang sudah pada bernafsu berkuasa. Jika ada orang yang menjanjikan dan sangat bisa diharapkan, mereka tidak akan tinggal diam!” kilah Bapak Presiden untuk memperjelas alasan kenapa dia mesti bersikap begitu.

“Bagaimana jika bocah itu bisa-bisa nanti akan menggulingkan Bapak Presiden sendiri?” Sang Ajudan bertanya dengan nada berhati-hati. Ya, sangat berhati-hati. Sebelum berbicara begitu, dia sudah mempersiapkannya sejak kemarin. Mula-mula, dia tulis berulang-ulang di kertas untuk mengoreksi kata-katanya. Kemudian dihafalkan kata perkata. Ketika momen untuk bertanya sesuai uneg-unegnya tiba, barulah dia sampaikan pertanyaan itu dengan nada dan intonasi selembut mungkin. Dia agak kalap ketika melihat ekspresi Bapak Presiden yang seakan tidak berkenan menerima pertanyaan demikian dari bawahannya.

“Oh! Oh! Oh! Maaf, Bapak Presiden!” Ajudan itu langsung menjatuhkan kakinya di lantai, tepat di hadapan Bapak Presiden, “Mohon ampun, Bapak Presiden! Jangan bunuh aku. Aku masih punya anak-anak yang harus aku antarkan menuju kebahagiaan. Saya berjanji akan mengkader anakku menjadi pelayan setia titisan Umar kelak.”

Bapak Presiden tidak merespons. Dia menyuruhnya berdiri lalu berujar, “bagaimana menurutmu tentang titisan Umar yang kita harapkan itu?”

“Umar itu sangat hebat. Jika karakternya menitis kepada salah satu rakyat di negeri ini, berarti akan menjadi orang yang paling hebat. Jika dia menjadi orang yang paling hebat, berarti akan mengalahkan kehebatan Bapak Presiden.”

“Isyarat Tuhan sangat jelas dan gamblang bahwa dia kelak akan menjadi pemersatu dan pendamai di negeri ini. Semua tabiat setan akan menyingkir di manapun dia berada. Perpecahan dan huru-hara adalah kelakuan setan. Jika dia hadir, pasti kelakuan setan yang keparat itu akan lari tunggang-langgang dari negeri kita. Seluruh rakyat akan bersatu dalam satu komando seorang presiden yang sah.”

“Keserakahan juga kelakuan setan, Bapak Presiden! Kesemena-menaan juga kelakuan setan. Ambisi berkuasa juga kelakuan setan. Nafsu mengendalikan semua orang juga kelakuan setan,” seloroh Ajudan dengan kata-kata yang lepas dari mulutnya begitu saja. Hanya pembukaan tadi itulah yang membuatnya takut. Kali ini, dia bisa berbicara begitu saja.

*

Tak ada yang diandalkan oleh Tomo ketika ada yang berlaku semena-mena kepadanya selain bocah titisan Umar yang kini makin menampakkan keistimewaan. Jika ada orang luar desa menghina Tomo, dia berkata, “tunggu nanti! Akan ada orang yang membelaku dari dusunku! Akan membuatmu yang terhina.” Jika ada aparat yang menilang sepeda motornya, dia bilang, “kalau nanti titisan Umar sudah dewasa, akan aku balas semua kezaliman kalian.” Jika Bapak RT tidak mempedulikan kebutuhannya, dia sesumbar, “andaikan titisan Umar sudah terjun dalam kekuasaan, orang seperti kamu pasti sudah dicopot! Tunggu saja nanti!”

Hingga berjalan selama bertahun-tahun dengan penjagaan yang ketat, penerima titisan Umar itu sudah makin dewasa dan begitu tampak keistimewaan yang membuat semua orang makin mengharapkannya. Dia seorang yang dermawan. Rajin beribadah dan sangat menjaga diri dari segala perkara syubhat apalagi yang jelas-jelas haram. Tomo mendekatinya dan menceritakan semua keluh-kesahnya sebagai rakyat kecil yang selalu tertindas. Titisan Umar itu mendengarkan semua keluh kesahnya tapi sangat sulit memberikan tanggapan apalagi langsung bereaksi atas semua pengaduan itu. Setelah berkali-kali begitu, Tomo jengkel. 

“Aku sudah bertahun-tahun mengharapkanmu. Tapi semua harapan kami tidak kamu penuhi!” sembur Tomo dengan penuh amarah. 

“Dalam jiwaku ada sinyal yang tidak jelas mengenai apa yang kamu ceritakan. Aku tidak mungkin bertindak di sebuah jalan yang tidak jelas poisiku ada di mana,” seloroh titisan Umar yang membuat Tomo makin ragu apakah dalam diri orang itu benar-benar ada titisan Umar atau tidak. Menurutnya, Umar adalah orang yang tegas. Pemilah kepastian antara hitam dan putih. Tak ada abu-abu di atara kedua warna itu. 

“Kamu telah mematahkan harapan kami! Umar tidak selemah kamu! Umar selalu bertindak tegas dan jelas.”

“Saat orang-orang dan peristiwanya jelas, pasti Umar akan akan bisa dinilai dengan jelas!”

Tomo mendengus kesal. Kemudian berkeliling ke seluruh desa. Mengumumkan bahwa selama ini mereka telah berharap kepada orang yang salah; mereka menjaga dan mengawasi keselamatan orang yang tidak tepat; semua upaya penjagaan dan harapan mereka sia-sia.

Tanpa pemberitahuan, Bapak Presiden bersama orang-orang setianya datang untuk menjemput laki-laki titisan Umar yang dinanti-nanti kedewasaannya. Namun titisan Umar itu menolak ikut. Rombongan para pejabat itu terus memaksa. 

“Kamu adalah isyarat Tuhan!” rayu Bapak Presiden, “Berkat kamu kelak, kemiskinan, ketidakadilan dan kezaliman akan sirna. Perpecahan akan musnah.”

“Kalau begitu, aku harus jadi presiden. Dusun ini akan aku jadikan ibu kota. Gubuk ini akan aku jadikan istana.”

“Lancang!” Tiba-tiba Bapak Presiden membentak, “aku menanggung hidupmu selama bertahun-tahun agar membantuku menciptakan kesejahteraan dan persatuan di negeri ini.”

“Kalau begitu, aku tetap ada di sini. Karena tempat ketidakadilan dan kesemena-menaan bukanlah tempat yang nyaman untukku!”

Bapak Presiden naik pitam. Dia memerintahkan orang-orang di bagian keamanan untuk menangkap dan memborgolnya. Lalu titisan Umar itu diseret dengan hina ke dalam mobil untuk dibawa ke penjara pribadi Bapak Presiden. Di dusun, Tomo masih belum lelah-lelahnya melampiaskan kekecewaan. Dia menanamkan rasa sesal di hati warga dusun, karena selama ini telah menghabiskan waktu merawat, menjaga dan memelihara orang yang salah. (*)

Probolinggo, 1 April 2022 


Cerpen ini dimuat dalam antologi cerpen "Mereka Mencari Air di bawah terik Matahari" (DivaPress, 2023)


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)