Masukan nama pengguna
Kami membicarakan itu lagi, selayaknya dua manusia yang begitu paham kehidupan. Dadaku sudah sesak, urat-urat di sekujur tubuhku juga menegang. Aku tak suka dihakimi tanpa dipertanyakan kenapa aku sedemikian rupa.
Aku bisa merasakan suaraku yang serak, tapi sebisa mungkin aku tertawa seolah apa yang ia katakan cukup ku aminkan. Sejatinya ada yang berkeruh di dadaku, amarah yang tak kuingin meledak di sini.
Entah apa yang terjadi, aku juga tak tahu bagaimana mendefinisikannya. Tapi belakangan seluruh amunisi, energi dan hormon yang kumiliki untuk membakar hidup seolah hilang dan membuih. Aku tak memiliki apa-apa lagi selain kesadaran bahwa hidup terus berlanjut, dan aku hanya perlu mengulangi rutinitas yang itu dan itu lagi.
Setiap pagi saat mataku terbuka pukul lima, aku bisa merasakan kekosongan yang begitu pekat di dalam dada, untuk akhirnya kupaksa mata kembali terpejam, kupanggil semua ingatan mana saja untuk menemaniku kembali ke alam mimpi. Sekali dua kali berhasil, sisanya aku tetap terpenjara di atas kasur, mendengarkan bagaimana bumi berputar dan aku tak ikut serta di dalamnya.
Berkali-kali aku mencoba merefleksikan hidup ini pada diriku, tapi aku selalu stagnan dalam kesimpulan bahwa aku bosan setengah mampus dengan kehidupanku. Aku tak punya hal-hal berarti yang layak untuk kujalani, aku tak punya tujuan pasti untuk kucapai dan terlebih aku tak punya alasan baik untuk terus berlari.
Berkali-kali pula aku mencoba mencari alasan kemana semua bara api yang ingin kuledakkan dalam bentuk ion-ion positif dalam kehidupan, namun yang terjadi aku menjadi orang jahat yang menyalahkan arus berpikir kebanyakan yang justru membuat aku kerdil sendirian dalam persepsi yang kubangun tanpa saringan.
Aku menyalahkan kenapa aku harus mempercayai kata mereka untuk tak memikirkan orang-orang lain, lihat sekarang aku bahkan tak lagi merasa punya tanggung jawab apapun terhadap kebahagiaan siapapun, termasuk kebahagiaan keluargaku. Lihatlah bagaimana aku mengabaikan ibuku yang sudah menyakiti, kakakku yang sudah mengkhianati. Aku tak menghitung mereka lagi untuk kuberikan rasa senang, rasa bangga dan rasa apapun yang sifatnya positif. Lihatlah aku tak lagi merasa ada yang harus kuperjuangkan.
Diriku? Cih.
Pembohong semua orang yang mengatakan bahwa kebahagiaan untuk diri sendiri. Mereka selalu melakukannya untuk orang lain. Hanya saja diri sendiri menjadi dalih untuk terlihat lebih keren, seolah keegoisan semacam itu bisa menciptakan harmonisasi tujuan.
Begini saja, jika kebahagiaan memang untuk diri sendiri, mereka akan hidup serampangan tanpa arah. Mereka akan berjalan pada lorong yang tak memiliki tepian, bahkan jika mereka punya ambisi untuk kuasa atau kaya, mereka hanya akan terus menerus berjalan tanpa kompas, sebab tak akan ada yang hilang dan kecewa bahkan jika mereka biadab.
Aku tahu mereka akan mendebat ini, seperti ia mendebat seluruh penjelasanku. Aku yang terlalu begini begitu, aku yang kurang ini itu, aku yang tak mau ini itu, aku yang tak berani ini itu. Seolah semua hal bisa terjadi sesuai dengan yang kita inginkan jika kita mau melakukan sebagaimana kisi-kisi yang ada.
Sialnya aku akan jadi orang salah jika kukatakan mereka salah. Hidup tak pernah semudah belajar matematika. Ilmu pasti yang hanya meletakkan pertanyaan kepada penyelesaian yang metodis. Hidup lebih dari itu, lebih dari semua ilmu yang dipelajari seluruh makhluk hidup.
Tapi siapa yang ingin percaya?
Dongeng lebih menyenangkan dari semua kenyataan yang bergelimangan di depan mata. Kita selalu ingin mempercayai apa yang membuat kita merasa lebih baik. Tidak salah, akan selalu benar kan cara setiap orang untuk menyelamatkan diri mereka dari kebingungan yang seringnya menunjukkan ketololan.
Ah, sudahlah. Hingga tanganku tak mampu bergerak lagi, kaki tak berfungsi lagi dan kepalaku ikut tumpul, kenyataan yang tidak menyenangkan memang porsinya diabaikan dan dilupakan.
Aku benci menjadi pemarah, tapi begitulah hidup menawarkan ketololan kepada diriku. Apa aku tak pernah ingin berhenti? Aku membayar profesional untuk terapi, tapi kusadari yang berisik adalah hidup ini.
Maka selama aku hidup, aku akan menjadi pemarah. Maka saat sekarang pun rasanya hidup seperti repetisi membosankan, aku masih ingin meledak dengan penghakiman manusia terhadap apa yang selalu mereka anggap benar.
Ah sudahlah, percuma bercerita. Manusia pembaca yang luar biasa gila, bisa jadi aku dianggap sedang berteriak kebenaran. Lalu diadili karena mereka takut orang-orang mulai berpikir, siapa yang ingin hidup dalam realita yang keji ini?
Aku juga tak ingin, itu sebabnya aku masih mencoba memberikan pemahaman tentang apa yang kurasakan, meski berulang kali dipatahkan.
"Sudahlah, aku saja kau memang pemalas, kau tak mau bergerak, kau terlalu banyak berangan-angan, tapi tidak punya keberanian untuk memulai. Akui saja kau iri, kau merasa terintimidasi olehku, sebab kau tak mampu sepertiku."
Sialan, jika pun aku ingin jadi orang lain maka itu tak seperti dirinya. Pembohong yang bersembunyi dibalik kata-kata kebaikan. Bertingkah layaknya paling bijaksana, padahal mati-matian menciptakan jati yang ingin dipuja.
Kenapa manusia tak sudi percaya dengan apa yang dirasakan orang, seperti sejatinya aku muak dengan kehidupan hingga merasa tak ada yang menarik lagi untuk dijadikan alasan. Kenapa manusia selalu berpikir sedangkal 'halah, sebab kau tak mampu' untuk memberikan penjelasan kepada dirinya bahwa tak semua orang mengejar masa depan yang penuh hingar bingar.
Uang, kuasa dan ketenaran. Seolah aku tak tahu saja jika tolak ukurnya di sana. Lalu kenapa jika aku tak mencarinya segila aku merasa hidup hanya rangkaian rutinitas yang membuat jemu dan muak? Jika ia merasa benar bahwa aku sedang menyia-nyiakan hidup dengan tak melakukan apa-apa, bukankah aku menjadi benar dengan menganggap bahwa dia melakukan banyak hal untuk kuasa dan kaya?
"Emang apa dari dirimu yang bisa mengintimidasi? Bukannya kau tak ubahnya semua keparat yang didikte dunia sosial untuk berlomba-lomba menjadi biadab? Menjadi hakim kehidupan orang seolah kebenaran memiliki nyawa hanya apa yang kau percaya?"
Aku bisa melihat matanya yang memerah, jika aku saja dihabisi amarah dengan semua hal yang kurasakan, kenapa aku tak membuat kepalanya mau meledak juga.
"Kenapa aku harus iri melihat hidupmu yang lebih menjemukan? Manusia yang hanya ingin merasakan kemewahan seperti semua orang-orang songong di muka bumi. Kau tak ubahnya bajingan yang kutuliskan sebagai keparat yang hanya melihat keuntungan dari hidup orang lain. Seperti sekarang, kau mengatakannya untuk melambungkan perasaanmu sendiri kan, sudah merasa lebih baik saat mengatakannya?"
Ia berdiri dengan penuh amarah, aku mulai tertawa jahat. Sialan, lihatlah betapa senang manusia bertingkah menjadi seorang yang lebih baik, menjadi pemenang. Manusia terlalu lena dengan konsep pemenang, terbaik dan sederet yang membuat lupa, bahwa terkadang kita tak lebih baik dari seekor binatang.
Ah sudahlah, kata-kata semakin kemana-mana. Aku pun ikut bertingkah seperti binatang.