Masukan nama pengguna
Kinara masih terus bercerita, mengeluh tentang kekasihnya yang tidak memahami kemauannya apa. Ia heran kenapa orang yang mengaku mencintainya itu tak pernah lulus untuk mengerti setiap keinginannya.
“Kan udah kubilang, bicarakan aja.”
Sedang aku heran, bagaimana mungkin Kinara berharap orang lain mengerti keinginannya saat ia tak pernah membicarakannya sama sekali?
“Seharusnya dia paham dong Pra, kami sudah pacaran tiga tahun. Katanya dia cinta sama aku, masa dia nggak paham juga kalau setiap kali aku datang bulan moodku akan jelek dan dia nggak seharusnya bercanda soal kucing.”
Aku menghembuskan napas kasar, agar Kinara tahu bahwa dia yang berlebihan.
“Kamu mana paham Pra, kamu nggak pernah jatuh cinta. Kalau kamu jatuh cinta kamu bisa mengerti orang itu tanpa dia perlu mengatakannya, apalagi kalau udah lama bersama.”
Aku tertawa kecil, tidak pernah jatuh cinta.
Mungkin Kinara benar, tidak pernah. Setidaknya aku mahir menyembunyikan perasaanku di mata siapapun. Kecuali dia, lelaki bermata lelah yang suka menemuiku di penghujung petang.
Aku mengenalnya tujuh tahun yang lalu, ketika kami masih mahasiswa baru. Di antara bising stadion untuk upacara mahasiswa baru, aku berdiri dengan perasaan kesal karena terik matahari yang tak bersahabat. Sedangkan rektor belum berdiri di podium, tanda acara masih berlangsung lama. Kala itu masih pagi, barangkali pukul sembilan lewat atau sudah jam sepuluh, aku lupa mengecek jam, tapi matahari sudah membuat keringat bersemayam di pelipis hingga leherku. Aku bertaruh bahwa jika saja aku tak menggunakan topi, maka rambutku yang lepek akan terlihat dengan sangat buruk.
“Nah, akhirnya rektor.”
Aku menoleh ke sumber suara sebelum memperhatikan ke arah podium di atas tribun. Tempat para civitas akademika berderet mengikuti upacara penerimaan mahasiswa.
“Pasti udah gerah banget ya?” senyum itu menyapaku dengan hangat, meski keadaan menciptakan rasa kesal, rasanya menyenangkan di tengah lautan manusia asing ini ada seseorang yang mengajakku bicara. Dengan senyum semanis itu pula.
“Sangat, tapi ini wajib.”
Ia tertawa pelan, “Setelah rektor mungkin hanya tinggal sedikit lagi.” Ia menoleh ke depan sejenak lalu kembali menatap ke arahku. Lalu melirik cocard yang menggantung di leherku “Prameswari C, C-nya itu cantik?”
Ia tertawa kecil dan tawanya menular, penat di tubuhku mencair seketika. “Sayangnya bukan, C untuk Chandra. Chandranya bulan.”
“Waw,” ia mengangkat cocard yang menggantung di lehernya dan menunjukkannya padaku, Chandra Abimana.
Sejak itu Chandra bukan hanya nama belakangku, Chandra adalah nama yang barangkali menjadi nama yang paling sering kusebut tujuh tahun belakangan.
Kami berteman layaknya dua mahasiswa kala itu, berbagi hidup di perantauan. Meski tidak menjadi dua orang yang ke mana-mana selalu bersama, namun nyaris dalam setiap peristiwa hidupku sejak itu selalu ada Chandra, juga sebaliknya. Ia ada kala aku menangis di laboratorium karena bermasalah dengan asisten praktikum, dia ada saat aku bertengkar dengan anak jurusan sebelah karena parkiran, dia ada saat aku meluapkan kekesalan kepada himpunan yang tidak cepat tanggap, dia ada saat aku pusing memilih tempat untuk praktik kerja lapangan, dan terlalu banyak ada, tapi ia tak pernah ada sebagai laki-laki yang boleh kuperjuangkan.
Chandra selalu memiliki kekasih, sejak awal kami saling mengenal. Sepanjang kami berteman ia sudah berpindah hati ke beberapa perempuan, mulai dari yang main-main saja hingga yang serius dan membuatnya galau berkepanjangan. Aku tahu kiprahnya, dari Rana mawapres yang dia pacari hanya delapan hari, Naya yang memutuskannya di kantin kampus, Diandra yang membuatnya jadi filosofis, Lily si seleb kampus yang membuatnya jadi mahasiswa kere, dan yang paling tragis ialah Anisa yang meninggalkannya untuk menikah dengan lelaki lain pasca wisuda.
Setiap kali hubungannya selesai, ia akan datang lagi. Dengan senyum yang sama, mengetuk pintu kosanku dengan membawa sop buntut atau es krim. Dan Chandra tahu aku akan selalu bersedia ada.
Aku tak pernah mengatakannya secara jelas, namun Chandra mengetahuinya secara jelas. Aku tak perlu menebak ia menyimpulkan dari mana, memang perempuan gila mana yang selalu bersedia ada kepada lelaki selama bertahun-tahun lamanya jika bukan karena cinta?
“Jangan aku Pra…”
Empat tahun lalu, saat kami melakukan pendakian pertama kami di Prau. Ada hening panjang yang menghabisi udara di sekitarku, namun aku sudah lama melatih diri, mempertahankan diri untuk tetap baik-baik saja meski perasaanku akan berakhir sepihak.
“Urusanku bukan?” aku tertawa kecil. “Kan perasaan aku, kamu nggak harus terima.”
“Kita akan jadi canggung atau lebih buruk kamu akan menghindari aku. Sama kamu aku ingin jadi teman dan partner bertualang kayak begini terus, nggak mau…”
“Kan kamu yang bahas lebih dulu, padahal kamu bisa pura-pura nggak tahu aja Ndra.”
Chandra tak lagi bicara, kami berdua sibuk dengan pemikiran masing-masing. Itu menjadi satu-satunya momen kami bicara tentang perasaanku, aku dan Chandra kembali menjadi dua teman yang berbagi banyak cerita, seolah percakapan singkat di Prau kala itu tak pernah terjadi.
“Pra, kamu dengarin aku cerita nggak si?” Kinara menepuk lenganku.
“Hmm, udah sampai mana tadi?”
“Ih kamu lama-lama sama aja kayak dia. Suka sibuk sama pemikiran sendiri, suka bengong tiba-tiba. Emang benar ya kalau temanan lama itu kebiasaannya bisa menular.”
Aku tertawa kecil.
“Sayang…”
Aku dan Kinara menoleh, seorang laki-laki kini berdiri dua meter dari tempatku dan Kinara mengobrol.
“Aku masih marah ya sama kamu.” Kinara melipat tangan angkuh, meski aku tahu dan juga seseorang itu pastinya mengerti bahwa kekasihnya itu hanya minta dibujuk.
Kinara, aku mengenalnya tiga tahun lalu. Kami diterima bekerja di perusahaan yang sama, di hari yang sama. Kondisi yang menciptakan kami menjadi dua teman yang berbagi cerita tentang hari-hari yang menyenangkan dan menyebalkan di kantor, juga perlahan berbagi kehidupan pribadi lainnya. Kinara sosok yang lucu menggemaskan, pribadinya yang riang begitu menyenangkan saat ia dan kekasihnya tidak bertengkar.
“Udah ya ngambeknya, besok-besok nggak bilang kalau kucing itu ras manja, janji.” Seseorang itu melangkah mendekat, berjongkok dan menggenggam tangan Kinara.
Aku tertawa kecil, antara merasa lucu dengan pertengkaran mereka dan terlempar sedikit ke masa silam saat aku dan Chandra berdebat tentang anjing atau kucing yang lebih baik. Chandra bertahan dengan argumen bahwa kucing itu hewan lucu dan menggemaskan.
“Emang ya kalau cerita sama Pra cepat banget selesainya apapun masalah sama kamu.”
“Udah ya, jangan ngerepotin Pra mulu, pulang ayuk.”
Kinara mengangguk, ia berdiri lalu pamit.
Aku masih duduk di tempat yang sama, menatap langit yang mulai berubah warna. Aku hanya perlu menunggu sebentar, menunggu petang datang dan Chandra pasti tiba.
Lihatlah ia tiba tepat pada waktunya.
“Jadi kamu juga sekarang sepakat kalau kucing itu ras manja, seingatku kamu bersikeras mereka itu lucu.”
Chandra tertawa, “Hmm, rasanya sulit untuk nggak sepakat sama kamu.” Chandra tertawa kecil. “Maaf ya, Kinara ngerepotin kamu mulu.” Ia berdiri di hadapanku, menghadang sinar matahari yang sebentar lagi akan tenggelam. Wajahnya masih terlihat sama, dan sorot lelah itu masih bertengger di sana.
“Emang kamu nggak ngerepotin?”
“Itu juga, maafin.”
“Dimaafin.” aku tertawa kecil sambil berdiri. “Capek banget kamu kayaknya.” Aku mengangkat tangan berniat mengacak rambutnya, naman Chandra menahan lebih dahulu menahan lenganku. “Kenapa?”
“Butuh energi.” Sebelum aku memberi respon Chandra lebih dahulu memelukku. “Maaf juga untuk ini.” Ucapnya di telingaku, dan aku bisa merasakan pelukannya yang semakin erat, membuat tubuhku semakin kehilangan daya.