Cerpen
Disukai
0
Dilihat
13,081
I B U
Drama

Ibu tak pernah ada untukku. Seperti itu aku ingin dikenali orang lain, tumbuh kuat tanpa seorang ibu. Ibuku tak mati, ia hanya minggat dari rumah sejak usiaku sepuluh tahun, sedangkan sepuluh tahun bersamanya yang kuingat hanya cubitan di pusar, gagang sapu di punggung, serta pukulan keras di pundakku. Sisanya adalah amarah Ibu yang meledak-ledak, matanya yang melotot tajam serta perintahnya yang mengintimidasi. Aku tak pernah ingat rasanya masakan Ibu, meski Ibu selalu memasak dalam sepuluh tahun sebelum ia meninggalkan aku. Aku tak ingat pula apa masakan yang paling sering ia buat, kecuali kolak kolang-kaling yang basi di priuk sebab kami sibuk dengan berita kematian adikku yang sedang berlibur bersama nenek, tak ada yang kuingat lagi. Masa kecilku suram, meski aku baru mengerti bahasa itu sekarang.

Saat akhirnya Ibu pergi, aku merayakannya dengan membeli mie instan merek indomie yang kala itu harganya masih 800 rupiah. Selama bersama Ibu kami hanya makan mie instan dari merek sakura yang harganya 500 rupiah. Selain indomie aku juga membeli wafer tanggo yang kala itu menjadi jajanan mahal. Tak lupa minumnya aku membeli es limun yang dibungkus dengan plastik putih dan diikat dengan karet gelang kuning, sedotannya berwarna kuning pudar. Aku benar-benar berpesta hari itu.

Kecuali kakakku tak ada yang menangis dengan kepergian Ibu. Jika kulihat dari kacamata aku yang sekarang, wajar saja dia yang paling berduka, sebab kasih sayang yang dimiliki Ibu hanya ia yang tahu rasanya. Sedangkan kami adik-adiknya, entahlah. Aku tak tahu bagaimana seharusnya seorang ibu memberi kasih sayang.

Sering kali selama aku bertumbuh orang-orang berlomba menulis dan megisahkan tentang ibunya, bagaimana pengorbanan sang ibu dan bagaimana kasih sayang ibu membuat mereka tangguh. Aku tak bisa mengamini, bahkan untuk memahami sudut pandang mereka saja aku butuh waktu lama untuk memahami. Aku kerap bertikai dengan segala argumen yang menyatakan bahwa kasih sayang ibu sepanjang masa. Bahkan aku pernah bertengkar dengan seorang teman yang mengatakan, aku terlalu mengada, mana mungkin ada ibu sekejam ibuku.

Ibu tak kejam. Sebab Ibu satu-satunya ibuku jadi aku tak memiliki pembanding apapun dengan rasanya memiliki ibu yang lain, maka aku katakan ibuku tak kejam. Dia hanya menjadi ibu yang berbeda, dan sialannya berbeda yang membuatku membencinya.

Aku membenci ibuku, tapi jangan samakan kebencian ini dengan kebencianku kepada guru olahraga laki-laki yang suka merangkul murid perempuan di sekolahku dulu, ini berbeda cerita. Bukan pula kebencian kepada teman baikku yang pernah menuduhku mencuri, jelas berbeda. Ini kebencian yang aneh, janggal, juga terkesan akrab dan eksklusif. Ini mungkin mirip dengan kebencian kepada negara, aku tahu kekuasaan yang memeganglah yang membuatku benci, tapi aku tetap benci kepada negara ini. Namun jika ditanya apakah aku ingin berhenti menjadi rakyat negara yang entah bagaimana mendefenisikannya supaya tak kena pasal, maka aku katakan tidak. Aku hanya punya bayangan satu sebagai warga negara, Warga Negara Indonesia. Begitu juga soal Ibu, aku membencinya, merasa marah dan muak terhadap pilihan- pilihan hidupnya, namun tak pernah sekalipun aku membayangkan, jika dia bukan ibuku. Aku tahu dengan sangat pasti, aku hanya bisa lahir dari rahimnya.

Hari ini Ibu menemuiku, ini bukan pertama kali sejak ia menghilang dua puluh tahun lalu. Ini sudah berkali-kali, dengan berbagai macam alasan. Biasanya aku hanya mau bertemu jika sedang lebaran saja, aku akan menemuinya bersama kakakku, yang masih rutin berkomunikasi dengan Ibu. Bagaimanapun, seperti kesadaranku bahwa aku juga putrinya dan dia adalah ibuku, aku masih bersikap sopan untuk menemuinya di waktu-waktu tertentu. Ah, bersikap sopan, mungkin aku harus jujur sedikit, sejujurnya aku berharap seperti kisah keajaiban, Ibu menjadi ibu yang menyenangkan seperti kisah-kisah orang, namun tahun ke tahun, Ibu akan selalu menjadi Ibu. Mungkin sudah garis tanganku memiliki defenisi berbeda soal ibu.

Aku membiarkan Ibu memilih tempat di mana saja ia mau. Ibu memilih warung kopi yang baru dibuka di kota kecil kami.

Hari ini ia memakai gamis berwarna abu tua dengan jilbab abu bermotif merah muda. Ia masih memakai riasan yang sama, merias wajah lengkap dengan lukisan alis serta bibir merona. Penampilan Ibu selalu mencolok, meski kuakui ia tak pernah bersikap norak. Ibu adalah potret perempuan yang tahu persis menggunakan peran gendernya untuk hidup dalam tatanan dunia sosial, dan sepertinya itu juga yang menambah kebencianku kepada Ibu.

“Kamu dandan kalau lagi keluar begini, biar tetap cantik.”

Dan biar aku tambah daftar kebencian itu, Ibu suka sekali mengkomentari penampilanku entah itu cara berpakain atau merias wajah yang sangat jarang kulakukan.

“Kalau jelek juga memang kenapa?”

Ibu tertawa, manampilkan deretan giginya yang masih rapi, dan tambahan poin lagi untuk kebencianku pada Ibu. Kecuali mata coklat tak ada yang ia turunkan padaku, juga gigiku yang bergelompang seperti dihajar badai, yang tak pernah dirawatnya semasa aku kecil semakin menciptakan jurang yang begitu jauh antara aku dan Ibu.

“Ibu tidak pernah bilang kamu jelek, kamu cantik.”

Dan aku tidak butuh pujian Ibu, sebab aku sudah belajar bahwa mereka yang memuji kerap memiliki tujuan tertentu, ibu juga begitu. Terakhir kali ia melakukannya, Ibu ingin membeli kalung emas yang bisa ia pamerkan kepada teman-temannya. Maka sebagai anak yang memiliki penghasilan lumayan dan belum memiliki tanggungan, Ibu menghubungiku lewat cerita-cerita kakak, dan aku yang memahami dengan baik merelakan sedikit tabunganku asalkan cerita itu berhenti.

“Aku tahu.”

Ibu mengeluarkan sesuatu dari tasnya yang kutaksir jauh lebih mahal dari tasku. Ada beberapa lembar foto yang ia keluarkan lalu menyejajarkannya di hadapanku.

“Sudah kubilang aku tak berencana menikah.”

Ibu tetap tersenyum, seolah ia memiliki kepercayaan bahwa ia akan berhasil membujukku memasuki dunia yang baginya sendiri medan perang yang harus dimenangkan dan ditinggalkan saat tak memberi keuntungan.

“Namanya Hadi, lulusan perguruan tinggi bagus, sekarang pengacara, tinggal di kota dan sudah punya rumah sendiri. Sesuai kriteriamu.”

Ibu sok tahu, itu menambah kebencianku. Ia tak pernah benar-benar mengenaliku. Sejak awal dia mulai menyodorkan calon suami padaku, aku sudah menegaskan bahwa aku tak tertarik dengan pernikahan. Namun ia bersikukuh, mulai mengorek lelaki seperti apa yang kuinginkan. Karena lelah dengan pertanyaannya aku mengatakan alasan-alasan umum, seperti perempuan lajang lainnya. Haruslah ia dengan pendidikan setara, punya pekerjaan stabil, memiliki rumah dan hidup jauh dari sanak keluarga yang banyak tuntutan.

Sepertinya Ibu mengambil serius kata-kataku. Meski tak begitu sering ini sudah beberapa kali ia mencoba menyodorkan calon jodoh yang sesuai dengan kriteria itu.

“Usiamu sudah berapa…”

“Ibu benar mau ketemu hanya buat ini?”

Gurat di wajah Ibu mulai terlihat, ternyata uang tetap tak menyembunyikan usia. Padahal aku tahu suami terakhirnya yang pensiunan tentara itu mampu memberikan Ibu fasilitas ke klinik kecantikan dan tentu saja Ibu menggunakannya dengan maksimal.

Entah sejak kapan aku menaruh curiga kepada Ibu, bahwa setiap usaha yang dia lakukan kepadaku tidak lagi dalam bentuk kasih sayang, namun dalam usaha meningkatkan nilai sosialnya. Seolah jika aku mentereng ia akan turut mentereng. Hal yang membuatku ingin seredup mungkin, apapun asalkan tak serupa dengan Ibu.

“Lia, perempuan itu Nak harus menikah. Ia tidak bisa hidup sendiri. Kelak siapa yang mengurusmu kalau sudah tua, siapa yang akan menemanimu saat sendirian?”

“Aku tahu Ibu tahu jawabanku. Aku sudah tidak butuh semua angan-angan soal pernikahan. Ibu juga tahu dari siapa aku mengambil pelajaran.”

“Tidak semua pernikahan sama Lia.”

“Maka tidak semua perempuan harus menikah.”

Aku lelah dengan kehidupan yang mengharuskan pernikahan. Seolah ia adalah pertanda kesuksesan seseorang. Aku kerap didongengkan oleh kehidupan, bahwa perempuan menjadi perempuan saat ia menjadi istri dan ibu. Tapi bukankah tak semua perempuan menjadi ibu, lalu apa ia menjadi kehilangan keperempuanannya?

Lagipula seharusnya Ibu tahu, tak perlu mendebatku soal ini. Meski tak pernah mengucapkannya secara gamblang bukankah Ibu mendapatkan petunjuknya dari Kakak, putrinya yang satu ini, yang ia rawat dengan kehilangan tidak lagi punya keinginan untuk memiliki.

“Lia…”

“Ibu, aku tahu aku tidak boleh kurang ajar kepada Ibu. Aku sudah mengusahakannya dua puluh tahun mungkin juga dulu. Aku tidak pernah mengeluh saat semua kesalahan kami anak Ibu menjadi salahku. Aku tak pernah protes bahwa saat kita memasak ayam aku mendapat telurnya saja sedangkan yang lain mendapatkan dagingnya. Aku juga diam saat tabunganku Ibu pakai untuk membelikan kakak tas baru saat aku sendiri memakai bekasnya. Aku punya banyak jika itu kulakukan Bu, tapi Ibu hanya satu, Tuhan melaknatku jika aku melaknat Ibu, masyarakat menyalahkanku jika aku menyalahkan Ibu. Apapun yang kulakukan kepada Ibu hanya boleh yang baik tidak peduli seberapa buruk Ibu di masa lalu. Jadi aku mohon Bu, jangan libatkan aku dengan segala hal yang Ibu inginkan. Bersikaplah seperti Ibu dua puluh tahun belakangan, yang tak peduli daripada Ibu harus memanfaatkan aku untuk kepentingan Ibu. Aku bukan anak kecil lagi Bu, aku bukan gadis remaja juga, aku sudah dewasa lebih dewasa daripada yang Ibu bayangkan.”

Aku bisa membaca keterkejutan Ibu dalam kata-kataku, dan aku harus menelan kecewa bahwa Ibu tidak merasa tertuduh. Ia hanya menarik diri, terdiam lalu pulang dalam hening saat hidangan yang kami pesan sudah habis.

Begitulah Ibu, ia begitu lihai bermain. Tujuannya jelas dan ia bisa menggunakan cara apa saja. Tak peduli jika itu mengorbankan anaknya. Itulah yang kupahami dari Ibu. Ibu yang membuatku memilih untuk tidak menikah agar tak pernah seperti Ibu.

Ah jika kuingat-ingat lagi aku salah, Ibu selalu ada untukku, dalam pikiran yang membentuk bagaimana aku bertumbuh menjadi perempuan yang berbeda dengannya.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)