Masukan nama pengguna
Aku sedang menikmati hidangan terakhir yang di masak Ayah saat aku membuka ruang obrolan suara melalui salah satu media sosial. Di masa serba canggih ini, tak perlu bertemu untuk bisa berdiskusi. Kau bisa melakukannya melalui gawai di genggamanmu. Berbagai topik dan berbagai kelas, mulai dari kuliner hingga politik, dari yang amatiran hingga mereka yang mengaku profesional. Ah, barangkali aku harus menjelaskan, profesional di sini adalah tentang laba. Jika mendatangkan keuntungan maka dianggap profesional, jika tidak dianggap sebagai senang-senang saja. Lupakan apa itu perjuangan dan upaya mencerdaskan generasi bangsa.
Obrolan kali ini tentang pelacur kelas atas, dengan tarif fantastis dan gaya hidup glamor dan mewah. Mereka adalah anak-anak muda yang tak mampu mendapatkan sokongan dari keluarganya untuk jadi bagian dari penguasa. Mereka melenggang ke dunia maya, dengan berbagai rupa dan nama. Awalnya menjual kecantikan dan berakhir menjual selangkangan.
Aku ingat saat banyak buku yang menceritakan kepedihan pelacur di masa silam. Katakanlah dari karya Maman Suherman hingga yang mendunia Nawal El Saadawi. Bahkan di banyak puisi-puisi satire, pelacur masih saja dijadikan komoditas utama untuk menunjukkan betapa kemelaratan membuat rakyat negeri ini merelakan martabatnya.
Terbaru aku membaca kumpulan puisi WS Rendra, dalam satu judul ia menggambarkan kepedihan pelacur yang didatangkan dari kemiskinan. Empati kita mungkin terbuka, tapi melihat kenyataan puisi itu hanya bisa menggambarkan yang sudah.
Aku ingat pertemuanku dengan Delima. Saat itu aku masih bekerja di badan rehabilitasi narkotika. Ia datang diantar dua orang penyidik kepolisian yang kulupa namanya meski berulang kali datang. Belakangan aku tahu Delima diringkus di sebuah klub malam beberapa menit setelah ia menghisap seluruh shabu-shabunya.
Delima berparas mungil dan manis, wajahnya seputih susu, rambutnya panjang terurai hingga punggung. Bibirnya ranum, pipinya merona meski tanpa perona, dan yang bagian paling menarik ada pada matanya yang bulat seperti namanya.
Aku sudah bosan dengan cerita semua penghuni rehabilitasi, yang memakai narkotika karena alasan yang itu-itu saja. Padahal aku selalu percaya ada cerita yang lebih kuat dari sekedar dipengaruhi teman.
Delima datang dengan cerita yang sama. Ia memakainya karena dorongan teman-temannya di klub malam. Itu standar pertemanan, solidaritas yang kumaki dalam dada. Tapi tentang Delima bukan itu sisi menariknya.
Delima simpanan pejabat. Mobilnya dua, ibunya ia berangkatkan ke Mekkah, ia bangun rumah mewah. Setiap malam minggu kau bisa menemuinya di jalan multatuli, tempat kafe-kafe estetik untuk anak muda metropolitan. Mungkin ia akan absen jika ada panggilan negara saja, maklum ia menopang kestabilan hati salah satu pejabat kota yang memiliki kuasa. Barangkali akan timbul kebijakan lebih gila melebihi pocong-pocong tepi jalan di kota ini jika Delima tidak bertugas.
Sejak aku mengenalnya, aku menyelami lebih banyak kenyataan. Pelacur sekarang tidak datang dari kemiskinan. Mereka memang datang untuk kekayaan, tapi tak lagi berarti karena mereka melarat. Mereka hanya ingin memakai merek yang sama dengan anak pejabat, mereka ingin mengunjungi Eropa atau setidaknya Singapura. Mereka ingin bersolek dari merek riasan paling mentereng, mereka ingin memamerkan setiap kunjungan kenegaraan mereka di laman media sosial.
Mereka tidak datang dari kemelaratan.
“Kenapa?”
Aku bertanya padanya kesekian kali. Meski ratusan yang memberiku pemahaman tentang alasan-alasan menjual diri demi eksistensi, aku tetap ingin jawaban lain. Lebih masuk akal dan bermartabat. Agar aku bisa merasakan kepedihan banyak penyair yang menghidupkan perlawanan dari pelacur ibukota, di masa itu.
“Kau ingin mendengar apa?”
Saat Delima menanyakan itu kepadaku, hatiku semakin membuncah, seperti ada ledakan dopamin yang hebat, aku mulai berekspektasi jawaban yang kucari akan menemukan muaranya. Setidaknya pertanyaan balik itu membuatku memberikan defenisi bari soal Delima, ia berbeda dari semua residen yang keluar masuk dari bangunan tua ini.
“Apapun, aku bosan jawaban karena hermes menggiurkan dan dior membuatmu panas dingin saking ingin.”
“Tapi itu dasarnya, saat kau lihat kawan-kawanmu tertawa di sturbucks dan mc donalds, dengan gincu yang awet karena keluaran merek terkenal, sedangkan di tangannya adalah tas kulit buaya yang menggairahkan dan sepatunya dari kulit ular yang melilit perutmu hingga ingin.”
Aku menyerah untuk waktu sesaat, dopamin yang kurasakan padam total.
“Kau tidak pernah?”
“Pernah,” aku menjeda sebentar, mengorek kejujuran ke dalam diriku sendiri. Meski aku menyadari ini sesinya untuk bercerita. “Teman-temanku sudah menjadi penulis dan memiliki bisnis. Aku masih di ruangan ini, mendengarkan keluh kesah atasan dan rekan, juga residen yang datang. Aku ingin uang untuk keliling dunia, tapi aku hanya berakhir mendengarkanmu.”
“Untuk apa keliling dunia, ingin memamerkannya di instagram?”
Aku ingin bilang tidak, tapi separuh diriku tahu. Aku juga ingin orang lain tahu bahwa aku di titik impianku. Dianggap tak becus dengan kehidupan sendiri tidak semenyenangkan itu. Dinilai gagal dan tak berguna adalah momok yang menjebloskan mental hingga jurang paling dalam. Jadi mana mungkin aku mengingkari, bahwa terkadang aku juga ingin validasi bahwa aku adalah manusia berdaya.
“Kita hanya berbeda cara.” Delima melipat tangan, merasa menang membuatku diam.
“Cara adalah perbedaan yang jelas. Kau tidak bisa menikmati olahan ayam dengan hasil dan rasa yang sama, jika kau mengolahnya dengan cara berbeda.”
“Jadi kau merasa caramu paling benar?”
“Aku tidak di sini jika merasa caraku salah. Lalu kau?”
“Sudah kukatakan kau tak usah berharap jawaban apa-apa. Kami memang melakukannya untuk gengsi, untuk martabat yang dilihat orang. Kau tahu berapa penghasilanku sebulan, aku bisa mempekerjakanmu setahun dengan gaji yang lebih layak dan bonus tambahan.”
Aku tetap diam, Delima mulai berbicara banyak. Sejak datang kesini ia hanya menjawab sesuai pertanyaan yang diajukan, tanpa penjelasan lebih detail.
“Ibuku seorang dosen di perguruan tinggi swasta, ia membesarkanku seorang diri. Aku tahu aku tak pernah kekurangan apapun, tapi aku juga tahu aku menginginkan banyak hal yang tak bisa ibu beri. Aku ingat saat ia mengatakan keinginnanya untuk umrah, dan aku tak mampu memberikannya tiket atau bantuan dana. Aku hanya bekerja sebagai teller di bank swasta. Gajiku hanya cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kau mungkin kesal, karena kebutuhan sehari-hari yang kumaksud termaksud make up. Tapi Mbak tahu sendiri, atasan akan mengusirku dari meja kalau aku tidak menyanggul rambutku dengan rapi, memakai celak dan lipstik yang tetap menarik meski sudah memasuki jam pulang kantor. Sedangkan teman-temanku setiap akhir pekan mengajak bertemu. Kadang mereka mengajak memanjakan diri di spa, hotel, dan tempat-tempat nyaman lainnya. Kadang lain mereka mengajakku berlibur ke tempat yang lebih jauh. Aku tahu aku ingin, dan kenapa menjadi salah saat aku mendapatkan keinginan itu dengan tubuhku sendiri. Aku tidak merugikan siapapun, kan?”
Aku tak ingin mendebatnya, aku tidak digaji untuk menghakimi pilihan seseorang, hanya saja aku ingat setelah pertemuan itu aku memindahkan Delima ke pekerja sosial lain. Aku merasa kalah, sebab aku tak mampu mengendalikan diriku yang ingin berteriak salah.
Delima hanya bertahan sebulan di pusat rehabilitasi, aku mendengar selentingan dari pekerja sosial yang bertanggungjawab terhadapnya, bahwa pejabat kesayangannya membayar banyak ke kepolisian, dan perkara akhirnya lebih mudah. Namun aku ingat ia menyapaku sebelum seorang lelaki berpostur tinggi menjemputnya. Ia tersenyum dengan bahagia dan puas, sedang aku merasa dikhianati oleh kebenaran.