Cerpen
Disukai
3
Dilihat
8,347
Mungkin di Semesta Lain
Romantis


"Kita sudah dewasa La, bukan masanya membicarakan es krim vanila dan kembang gula kan? Kamu tahu, diabetes bukan penyakit main-main."

Agam jelas sedang tidak membicarakan es krim dan kembang gula, ia sedang memberikan sudut pandangnya saat kami membicarakan dua remaja yang sedang menikmati es krim dan kembang gula, duduk di kursi taman beberapa meter dari jarak kami duduk sekarang. Kedua remaja itu aku tebak sepasang kekasih yang sedang menikmati kencan pulang sekolah mereka di taman ini. Awalnya aku hanya sekilas berpendapat bahwa mereka terlihat pasangan yang manis, menikmati waktu sederhana sebelum dewasa menerjang mereka dengan perasaan yang lebih kompleks. Dan aku menutupnya dengan keinginan kecil, bahwa jika aku ingin juga melaluinya.

"Kita nggak duduk di sini Gam, kalau semisal kamu dan aku sudah sama-sama berhenti menikmati es krim." Dan aku juga sedang tidak membicarakan es krim.

Agam adalah teman paling panjang yang pernah kumiliki. Aku sulit mengartikan pertemanan, semuanya datang dan pergi. Agam juga begitu, tapi dalam periode masa, ia adalah yang paling panjang ada. Kami duduk di sini setelah ia menyempatkan waktunya yang sangat sibuk menemuiku. Menduga alasannya, aku sengaja mengajaknya bertemu di sini, taman kota yang dulu sering menjadi tempat kami dan teman lainnya menghabiskan waktu bersama.

Aku dan Agam berteman sejak masa sekolah, kelas sebelas saat aku masih berwajah pemarah karena tidak suka harus ditempatkan di kelas IPA, sedang Agam masih penuh senyum cemerlang dan murid kebanggaan sekolah, peraih medali olimpiade matematika. Pertemanan itu berlanjut melalui pasang surut, ombak menghantam, cuaca berubah, arus deras, bahkan sampai dermaga ikut hanyut dibawa tsunami kami masih sama, berteman. Itu saja.

Setelah belasan tahun berteman, kami sudah memahami bahasa masing-masing. Bahkan dalam diam aku bisa memahami bahasa Agam juga sebaliknya. Tanpa terkecuali, juga bahasa yang lekat antara lelaki dan perempuan, bahasa cinta.

"Kamu tahu tanpa perlu aku jelaskan."

"Itu nggak menyenangkannya jatuh cinta sama temanmu sendiri, kamu nggak punya kesempatan menebak-nebak perasaannya dan merasa besar kepala untuk perhatiannya."

Agam tahu aku mencintainya dan aku tahu ia juga merasakan hal yang sama. Kami saling mengetahui perasaan masing-masing saat Agam putus dengan pacar pertamanya di hari kelulusan sekolah dan aku mendapat predikat baru sebagai perusak hubungan orang. Aku ingin mengklarifikasi jika mereka putus karena melanjutkan pendidikan ke kota yang berbeda, tapi Agam hanya diam dan memilih mengajakku berlibur dan kami menjadi pecundang hingga bertahun-tahun kemudian. Sebab saat itu kami menjadi sepakat bahwa merasakan dan melakukan adalah dua hal berbeda yang bisa berjalan sendiri-sendiri, maka aku dan Agam memilih jalan yang sama, hanya merasakannya, merasakan cinta.

"Aku terlalu penakut ya?" Agam menatapku singkat, menyerahkan bola matanya untuk kutelusuri kembali.

"Aku semenakutkan itu?"

"Iya."

Kami tertawa. Mungkin jika ia mengatakannya di hadapan Lila berusia 16 tahun, saat pertama kali kami berbicara, mungkin aku dan Agam tak akan pernah berteman. Tapi Agam berusia 16 tahun adalah remaja yang bijak dan ceria, ia meminjamiku buku Juz Amma-nya saat aku selalu gagal menyelesaikan hafalan surah Al-Bayyinah untuk mata pelajaran Agama Islam. Aku tahu di kemudian hari jika ternyata ia punya banyak buku hafalan Juz Amma karena orang tuanya adalah guru mengaji.

"Orang yang tidak mendengarkan orang lain, itu menakutkan La." Sambungnya, lalu mengeluarkan kertas biru muda dan menyerahkannya kepadaku.

Jika kau pernah merasa duniamu berhenti dan kau ingin ada di sana selamanya, maka aku sedang berhenti di dunia itu sekarang. Namun aku tak benar-benar paham, apakah aku ingin selamanya di sini atau berlari sejauh mungkin. Satu yang pasti, setelah ini semuanya tak akan lagi sama. Itulah yang membuatku ingin dunia berhenti selamanya.

Setelah sunyi yang panjang aku membuka kertas itu, undangan pernikahan Agam dengan perempuan berwajah manis bernama Maryam. “Seharusnya kamu memberikannya saat kita mau berpisah nanti, jadi semisal aku akan menangis kamu nggak perlu lihat.”

“Aku tahu kamu nggak akan menangis.”

“Gam, kamu tahu kan dari sudut pandangku kamu lelaki paling brengsek?” Aku tertawa saat mengatakannya namun Agam hanya diam, membuang pandangannya ke sembarang arah. “Jangan ngambek Gam, aku nggak bilang kamu teman yang buruk. Sepanjang aku hidup, kamu temanku yang paling baik.”

“La,”

“Hm?”

“Kamu nggak penasaran siapa orangnya, kami ketemu di mana, kenapa dia, dan kenapa…”

“Enggak, aku tahu kamu akan menceritakannya kalau kamu rasa aku butuh tahu atau kamu pikir aku sama sekali nggak tahu.” Aku menyimpan surat undangan itu ke dalam tas. “Gam, sejak pertama kali kita bertemu, mungkin lebih tepatnya berbicara, aku sudah tahu kamu nggak datang dari duniaku. Kamu terlalu bersinar sampai kadang aku merasa silau sendiri. Tapi untuk duniaku yang gelap, aku tahu aku butuh cahaya sesekali dan kamu benar-benar jadi cahaya itu. Duniaku perlahan kayak lampu klub malam, terus berubah jadi lampu jalanan dan kadang jadi lampu rumah mewah yang aku juga nggak bisa bayangin tagihan rekeningnya berapa. Tapi nggak ada yang berubah kan Gam, terang benderangmu itu membuat kamu nggak bisa melihat dunia yang kulihat, kamu mungkin tahu tapi kamu nggak akan mau bertualang di duniaku. Juga aku, duniamu bukan sesuatu yang bisa kumasuki, aku bisa memahaminya tapi aku nggak mau ada di sana.”

“Lalu seharusnya kita nggak saling mencintai kan?”

“Tapi kita sudah, dan mungkin bahasanya bisa kita ubah mulai sekarang menjadi pernah. Kita pernah saling mencintai, anggap saja sama seperti Rose dan Jack jatuh cinta, seperti Romeo dan Juliet, seperti Hayati dan Zainuddin, seperti Layla dan Qais. Tapi kita memilih waras, itu saja.”

“Bukannya kamu percaya bahwa cinta membuat orang gila, lalu kenapa kamu nggak mau gila?”

“Kamu kenapa enggak?” Ada tegangan baru yang pertama kali kurasakan antara ruang kosong tatapku dan Agam, dan aku memasuki tegangan itu entah untuk upaya apa. “Tinggalkan semua status sosialmu, tuntutan peranmu, prinsip tanggungjawabmu dan hidup sama aku.”

Agam membuang wajah, dan ia benar-benar terlihat penakut.

“Aku masih menikmati es krim, karena urusan itu aku masih Lila yang kamu temui 15 tahun lalu. Kamu tahu aku nggak pernah kencan sama siapapun, melirik laki-laki manapun. Saat kamu mungkin setiap tahun berganti pacar. Menurutmu, ada yang lebih gila dari mencintai seseorang selama 15 tahun padahal tahu nggak akan berakhir bersama, bukan karena perasaan yang berbeda tapi karena…”

“Kepercayaan yang berbeda.”

Aku dan Agam saling bisu. Aku merekam semua hal antara kami yang berseberangan dan barangkali Agam juga sedang melakukannya. Mencari pembelaan kesekian, bahwa banyak hal krusial yang tak mampu kami pertemukan di tengah.

Aku tertawa memaksa, ingin mencairkan suasana. “Aku belum berganti agama Gam, nggak tahu kalau kamu diam-diam…”

“Kamu tahu aku nggak membicarakan apa yang ditulis di KTP La,” Agam menatapku lagi, matanya memerah. “Aku suka rambutmu,” mata Agam meredup, ia menyentuh kepalaku dan mengacak rambutku pelan, sesuatu yang berhenti Agam lakukan sejak kami lulus sekolah. “Tapi duniaku nggak suka kalau dia keliatan, dan ini bukan hanya tentang rambut La, ini tentang…”

“Kebenaran, tanggung jawab, martabat, harga diri…”

“La…”

Aku tersenyum kecil, menyampaikan kepada Agam bahwa semuanya baik-baik saja. “Aku paham Gam, meski bahasa kita berbeda aku paham. Atau kalau kamu lebih menyukai kalimat meski kepercayaan kita berbeda aku paham Gam. Itu penting buat kamu, sejak dulu aku paham. Itu kenapa aku nggak pernah menuntut, meminta dan berharap. Aku tahu kamu juga paham nilai-nilai yang kupercayai, itu kenapa bagimu aku menakutkan, kan?” aku benar-benar ingin Agam tahu bahwa aku bersungguh-sungguh memahami semua hal antara kami. “Jadi nggak apa-apa, cepat atau lambat kita memang harus di titik ini.”

Kami kembali bisu, aku tak ingin menjadi benar atau membiarkan Agam membuatku salah. Terlepas bagaimana dunia berputar, aku ingin memegang apa yang kupercayai dalam memegang kebenaran dan itu adalah jalan yang tak pernah sama dengan bagaimana Agam tumbuh, dibesarkan, dididik dan mempercayai kebenaran.

Agam berdiri dan kutahu semuanya akan selesai.

“Aku pergi La,” ia mengatakannya untuk segala makna dan Agam benar-benar pergi bahkan sebelum aku mengangguk.

Aku menatap kepergiannya dengan dada yang begitu sesak, meski sudah menduganya tetap ada ruam di dada yang diakibatkan perpisahan yang nyata. Semuanya benar-benar berakhir sekarang, tanpa kemungkinan-kemungkinan.

Mungkin di semesta yang lain, La. Kalian akan hidup di dunia yang sama, dan jatuh cinta ke sekian kalinya.

Aku menenangkan diri, menghirup napas dalam. Setelahnya aku juga berdiri, menyusuri jalan dan mencari penjual es krim. Bukankah setiap patah hati juga pantas dirayakan dengan es krim? Aku ingin melakukannya setelah 15 tahun jatuh cinta dalam ketidakpastian.

Hari ini gadis berusai 17 tahun urusan cinta itu mulai melanjutkan masanya.

 


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (2)