Flash Fiction
Disukai
0
Dilihat
4,259
Apakah Harus Berakhir?
Romantis

[POV, Denny, Pustakawan]

14 Februari 2007

Perkenalkan, namaku Denny. Aku seorang pustakawan di sebuah sekolah swasta.

"Uhuk, uhuk..."

Aku terbatuk-batuk. Gatal sekali tenggorokan aku. Mungkin efek kebanyakan makan kacang kemarin. Kemarin itu, seru sekali pertandingan sepak bolanya.

Terdengar suara pintu dibuka. Ternyata Naomi, murid dari kelas 12 IPS 2. Penampilannya agak tomboy, tapi sebetulnya hatinya cukup perasa. Begitulah yang aku sering dengar dari Bu Endah guru Bimbingan Konseling SMA ini. Meskipun demikian, sepertinya Endah benar juga. Naomi ini, menurut aku cukup sopan. Naomi pun tidak urakan. Lebih feminin dari murid-murid lainnya yang menurut aku centilnya keterlaluan. Contohnya, si Maria. Rok sekolah yang kotak-kotak biru hitam itu dimodifikasi ukurannya oleh Maria. Menjadi lebih pendek dan ketat, yang apa bedanya dengan rok span ala pemain tenis.

"Tumben, Ii," ujarku tersenyum. "Tumben kamu main ke perpus pagi-pagi gini. Bel sekolah juga belum bunyi."

"Mau balikin buku aja, Pak Denny," balas Naomi tersenyum.

Naomi langsung menyerahkan tiga buah buku. Salah satu buku tersebut adalah sebuah novel romansa. Tuh, kan, Naomi tidak benar-benar tomboy.

"Oh iya, Ii,"

"He'eh, Pak,"

"Bulan lalu, katanya Bu Marcelina, kamu ikut ujian tes masuk, yah?!"

Naomi mengangguk. "Iya, di Atmajaya, coba ambil Akuntansi."

"Terus, gimana, keterima?"

"Pengumumannya, sih, minggu depan, Pak Denny."

"Bapak doakan kamu keterima, Ii."

"Amin."

"Oh iya, si itu gimana?"

"Itu siapa, Pak? Ngomongnya yang jelas dong, Pak."

"Kata anak-anak, kamu sama Yulius itu pacaran, yah? Yulius apa sekampus sama kamu?"

Naomi tertawa terbahak-bahak.

"Ada yang lucu?"

"Aku nggak ketemu dia di Atmajaya juga. Katanya, mau sama-sama kuliah di Atmajaya semester besok nanti. Tapi, aku sama yang lainnya nggak ketemu dia di sana, Pak."

Aku mengangguk-angguk. Tampaknya Naomi dan Yulius benar-benar berpacaran. Oh, aku orangnya tidak kaku-kaku amat. Selama bisa membagi waktu dengan baik, bagiku, tak masalah, aktivitas berpacaran tersebut. Apalagi, aku pun tak munafik. Aku pernah berpacaran saat masih sekolah. Cintaku harus kandas selepas kelulusan SMA. Mantan pacarku tidak kuat menjalani hubungan jarak jauh. Dia memutuskan untuk kuliah di Jepang. Sementara aku berkuliah di Bandung.

Sekonyong-konyong bel sekolah berbunyi. Bek di sekolah ini lumayan kencang, aku harus mengakuinya.

"Yah, udah, aku mau ke kelas dulu."

"Bapak doakan kamu dan yang lainnya keterima di Atmajaya."

"Makasih banyak, Pak Denny."

Naomi segera keluar dari ruangan perpustakaan. Bersamaan dengan itu, murid yang tadi aku bicarakan dengan Naomi mendadak muncul. Si Yulius itu. Entah apa yang mereka bicarakan. Naomi kelihatannya agak jengkel. Mungkin si Yulius membuat kesalahan. Seperti novel-novel romansa yang aku baca, dalam sebuah hubungan percintaan, jika terjadi cekcok, seringkali yang salah itu pihak laki-lakinya.

*****

[POV, Naomi, Murid]

Aku mulai meradang dengan perkataan Yulius tadi. Bisa-bisanya dia berkata bahwa dia malah mengikuti tes masuk di sebuah seminari. Saat mengambil keputusan tersebut, dia itu menganggap aku pacarnya atau tidak?

"Nao-chan," ucap Yulius lirih. "Aku minta maaf, Nao-chan. Terpaksa aku ambil demi menyenangkan hati Papa."

"Terus, aku?" tanyaku dengan mata melotot. "Kamu masih anggap aku pacar atau nggak?"

"Kan, masuk seminari, bukan berarti langsung jadi romo, Nao-chan,"

"Kamu paham nggak apa yang kamu pilih?"

Yulius hanya terdiam. Aku merasa kasihan dengan ekspresinya tersebut.

"Seminari, Us. Se-mi-na-ri. Itu sekolah pembinaan buat jadi romo Katolik. Sehabis itu, gimana caranya hubungan ini bakal diterusin?"

"Y-ya, g-gimana, y-yah, Nao-chan?"

"Dan, kamu bilang kamu udah ikut tes masuknya?"

"Kan, belum tentu keterima juga?"

"Bodo!"

Aku mendengus. Tanpa sengaja aku berjalan menghentak-hentakkan kaki.

Ya, Tuhan, entah apa maksud ini semua? Sudah hampir enam bulan aku berpacaran dengan Yulius. Masa harus kandas begitu saja hanya karena Yulius mengikuti tes masuk di sebuah seminari? Apakah harus berakhir, Tuhan?

Catatan Kaki:

Terilhami dari lagu "Tak Berakhir Sama"-nya Sisca Saras. Juga, mengambil latar dari pengalaman saat bersekolah di sebuah sekolah swasta Katolik.

Mohon maaf jika ada kesamaan nama, tempat, dan peristiwa.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)