Masukan nama pengguna
Gandhasetta.
Murid itu berusaha keras untuk membaca. Agak bergetar suaranya dan terbata-bata selama mengucapkan kata demi kata dari simbol-simbol aksara terpampang di Papan Batu Hitam.
"Ma ... Ra ... Ga ... Sha ... Da ... Jha ... Yaa ...."
Sebentar-sebentar terhenti sebelum ia melanjutkan lagi.
"Haar ... Ghar ... Tars ... Dhar ... Yaar ...."
Terakhir kali ucapannya terhenti pada serentetan aksara panjang. Ia mencoba untuk mengulangi dari awal, namun karena canggung, Guru lebih dulu menyela tegas.
"Giliranmu, Radhit!"
Perintah guru besar bernama Yathva. Dia, guru khusus bidang ahli sastra berbagai bahasa dunia, terlebih-lebih bahasa Kitab Sansekerta Sveetanaghariy Sasutara Wen Javavutha. Sebuah kitab sakral yang menyimpan banyak misteri gaib dan kesaktian.
Guru Yathva mengalihkan perintah pada Radhit, seorang murid yang duduk di barisan paling depan. Ia sebentar melangkah ke depan kelas, lalu mengucapkan bacaan tersebut.
"Maa ... Raa ... Ghaa ... Shaah ... Daa ... Haar ... Khaar ... Taarsh ... Dhaar ... Yaarh ... Baoh ... Caaru ... Faaru ... Naaru ... Kaalu ... Lour ... Phouha ... Qu ... Thaa ... Uuna ... Vaa... Waa ...."
Dengan lancar Radhit mengucapkannya tanpa salah sepatah pun. Guru Yathva membuka lembar gulungan selanjutnya yang tersusun setebal belasan gulungan.
"Lanjutkan!"
"Hae ... Hiyu ... Hee ... Hoo ... Wuu ... Zuu ... Xhu ...."
Rapal Radhit dihadapkan untaian puluhan aksara Tsunimurti, rentetan aksara melengkung disertai berbagai variasinya. Belum berhenti sampai di situ, Guru Yathva membentangkan gulungan selanjutnya.
Radhit mengamati dengan seksama susunan Tsunimurti terpampang panjang nyaris tanpa terputus-putus, menyerupai bentuk tulang daun lima jari.
"Maan ... Hii ... Shana ... Maan ... Dee ... Raa ... Ath ... Ghar ... Ni ... Yuh ... Hi ... Raa ... Kih ... Tha ... Waa ... Laa ...."
Kalimat Radhit berakhir pada serentetan aksara yang terpampang itu, menyatu dengan garis induk. Guru Yathva memerintah Radhit kembali ke tempat duduknya.
"Buka Lontar ke-14!"
Perintah Guru Yathva pada semua murid. Seketika itu juga dilaksanakan semua murid. Ia membuka seikat lontar yang diikat menyatu.
"Apa yang kalian baca pada Lontar ke-14 adalah kalimat yang diucapkan Radhit!"
Guru Yathva menjelaskan isi lontar yang sedang diperhatikan seluruh murid. Mereka sulit mengerti akan maknanya.
"Maa-Ghii-Shaan-Maan-Dee-Raa-Ath-Ghaar-Ni-Yuh-Hi-Raa-Kih-Tha-Waa-Laa."
Guru Yathva mengulangi bacaan yang sebelumnya diucapkan Radhit di depan kelas.
"Jika digabungkan dalam penyatuan kata, maka akan membentuk kalimat ...."
"MaaGhiiShaa MaanDeeRaa AthGhaaar NiYuhHiRaa KihTha WaaLaa."
Guru Yathva mengamati semua murid, tak luput dari seorangpun. Sesekali murid-murid tampak gusar, namun mereka surut dalam tatapan Guru Yathva.
"Jika dihilangkan setiap vokal ganda, maka akan menjadi ...."
"Maghisha Mandira Athghar Nyuhra Kitha Wala."
Guru Yathva melangkah ke depan, tepat menghadap Papan Batu Hitam. Ditinggalkan sebentar lontar di meja.
"Kalimat ini membentuk satu bahasa turunan tingkat menengah, sering muncul dalam kitab-kitab pujangga bahasa Muttoh, bahasa itu disebut ...?!"
Guru Yathva melempar tanya pada semua murid, sembari telunjuknya mengarah ke murid-murid seisi kelas. Semuanya terdiam kecuali Radhit unjuk suara dan menjawab singkat.
"Sanskrit Maajuette!"
"Benar!" Guru Yathva membenarkan tegas.
"Lalu, apa makna kalimat ini?!" tanya Guru Yathva berlanjut.
Guru Yathva mengakhiri coretan batu kapur di Papan Batu Hitam. Serentak semua murid membuka-buka berjilid-jilid kitab lain, namun tidak semua murid memilikinya. Bahkan Radhit pun salah satu yang tidak memiliki jilid lontar berupa kamus Majuette.
"Adakah yang sudah mendapatkan artinya?" Guru Yathva lagi-lagi melempar tanya. Disambut seorang murid perempuan unjuk jari. Ia setengah berdiri seraya menjawab.
"Maghisha adalah Sungai, Mandira adalah Gunung, Athghar adalah Titian, Nyuhra adalah Warna, Kitha adalah Hujan, Wala adalah Pagi yang terang."
"Bagus sekali, Eng Hum!" puji Guru Yathva terhadap murid perempuan bernama Eng Hum yang duduk berjarak dua meja dari Radhit.
Guru Yathva senang atas jawaban seorang murid perempuan bernama Eng Hum, seorang murid yang dipandang sigap dan pintar di kelas sastra.
"Kalimat ini membentuk Syair Kuno bersajak vokal yang sama setiap akhir kalimat. Lalu apa makna dari kalimat ini?" tanya Guru Yathva sebelum melanjutkan penjelasannya.
Saat semua terdiam, satu unjuk tangan seorang murid membuat murid-murid lain menoleh padanya.
"Sungai dan gunung berwarna, titian dan hujan ketika pagi yang terang."
Jawaban murid itu dianggap tidak cukup tepat. Guru Yathva mengangkat alis pertanda merasa kurang puas.
"Ada jawaban lain?" tanya Guru Yathva, nampaknya belum membenarkan jawaban barusan. Lalu seorang murid dari barisan lain pun menimpali.
"Titian di sungai berwarna di antara gunung, terjadi hujan di pagi yang terang!"
Guru Yathva mencerna kalimat itu, garis kening berkerut disertai menggeleng tak puas.
Seseorang lagi unjuk jawaban cukup lantang.
"Sungai, gunung, dan titian di pagi yang terang terjadi hujan berwarna!"
"Hujan berwarna?!" Guru Yathva mengulum lidah. Disambut senyum simpul semua murid. Termasuk Guru Yathva. Masih beruntung ia tidak terlalu mempermasalahkan kalimat aneh itu.
Selanjutnya, jawaban murid-murid bergilir, namun tidak seorang pun dianggap berhasil dalam menyusun kalimat dengan baik sehingga membentuk makna yang tepat menurut Guru Yathva.
"Radhit!"
Kali ini Guru Yathva menaruh harapan, jawaban dari Radhit sejak tadi terlihat serius mengamati serentetan kalimat Majuette terpampang di Papan Batu Hitam. Ia berpikir tajam.
"Hujan di pagi yang terang membentuk titian berwarna antara sungai dan gunung."
Jawaban Radhit dengan jelas, disambut senyum Guru Yathva.
"Kamu benar-benar mewarisi kepandaian ibumu!" puji Guru Yathva.
Semua teman-temannya sekelas tidak heran akan hal itu. Selama ini, Radhit, Sang Jawara yang mahir menafsir sastra, syair, bahkan mantra kuno.
"Inti Syair Kuno dari kalimat Majuette ini adalah ...," kata Guru Yathva menjelaskan.
"Titian Berwarna. Bukan Hujan Berwarna, bukan pula Gunung, Sungai yang Terang atau lainnya."
"Kecuali Radhit, apakah kalian tahu makna dari kalimat ini?" tanya Guru Yathva disambut raut muka bengong murid-murid. Mereka menggeleng pelan.
"Prosa Syair Kuno dari Maghisha Mandira Athghar Nyuhra Kitha Wala membentuk kata jadian Maghdiraghar Nyurathala, yakni Titian Berwarna, artinya Pelangi Terang."
"Ingat selalu, Maghdiraghar Nyurathala artinya Pelangi Terang," ujar Guru Yathva sekali lagi.
"Inilah terjemahan Sanskrit Majuette ke dalam Sanskrit Wehu, nantinya dapat lebih mudah diartikan dalam bahasa keseharian kita, yaitu Sansekerta Yawani," akhir dari penjelasan Guru Yathva berbarengan dengan tabuhan genta terdengar bertalu-talu dari luar kelas. Semakin bersahutan suara-suara serupa dari segala penjuru pusat kota, menandakan waktu Pukul Kera Betina telah tiba. Berarti pelajaran hari ini telah usai.
"Baiklah, pelajaran yang sama akan dilanjutkan beberapa hari ke depan. Jangan lupa kerjakan lontar 15 sampai 20. Siapapun yang tidak mengerjakan, akan dikenakan sanksi berat!" perintah Guru Yathva disambut air muka murid-murid yang lesu dan penuh beban. Setelah itu, mereka keluar ruang kelas secara teratur.
"Dia berkata, lebih mudah diartikan dalam bahasa keseharian kita! Apa maksudnya?" beberapa murid menggerutu kesal, mengingat perkataan Guru Yathva.
"Untuk apa kita mempelajari Tsunimurti?"
"Menyulitkan!"
"Tidak ada guna!"
Gerutu murid-murid lain, berlalu di sepanjang teras Graha Pustaka.
* * *