Masukan nama pengguna
Hujan reda.
Basah tanah. Sisi hutan nan sunyi. Rintik berbicara nada risau. Kenangan mendalam menjelma legenda. Angin lirih mengenang rindu kelam. Larut pilu senja berlalu, malam melahap sekeping hati, berburu cinta yang dirindukan.
Gadis Merah. Anak kecil yang terluka .... Rona kemerahan gaun-mu dulu. La ... la ... la ....
Lantunan terhenti. Rombongan kuda pengiring putri bangsawan, menerobos remang-remang suasana petang. Tampaknya, rombongan itu kemalaman dalam perjalanan jauh, pulang dari acara penting di luar daerah yang dihadiri putri atasan mereka.
Derap kuda terhenti di bawah perintah seorang pimpinan pengawal rombongan.
"Ada apa, Tuan?"
Seseorang mengendalikan kemudi kereta tandu, bertanya pada pimpinan pengawal penunggang kuda paling depan.
"Apakah hanya aku yang mendengar nyanyian itu?" tanya pemimpin pengawal berkuda, mengangkat sebelah tangannya, pertanda komando agar seluruh rombongan berhenti sejenak.
Tersiksa mati ditelan kesendirian. Luluh lantak ragamu. Hingga ke tulang-tulangmu yang indah. La ... la ... la ....
Samar-samar. Suasana petang makin gelap. Purnama mulai menyingsing dari balik awan langit mendung. Semua orang dalam rombongan dengan seksama mendengarkan alunan nyanyian semakin mendekat.
Ra ....
Itulah namamu ....
Dirimu yang dulu ....
Dulu sekali ....
La ... la ... la ....
Semakin jelas pula, tembang merdu perempuan belia melintasi jalur dari arah berlawanan rombongan itu.
Lalu tampaklah seorang gadis muda mengenakan kebaya merah. Berkuda santai dan berlenggak-lenggok jalannya.
"Ajeng Ayu."
Pemimpin pengawal paling depan rombongan menyapa gadis muda itu melintas. Ia tertunduk sejenak, kudanya pun berhenti melangkah.
"Ajeng Ayu sendirian dalam perjalanan, mohon berhati-hati. Kawasan ini dekat hutan belantara," kata pimpinan pengawal berempati mengingatkan.
Gadis muda itu tersenyum dan menjawab santun.
"Aku terbiasa melintas di sekitar sini. Silakan tuan-tuan melanjutkan perjalanan," balas gadis muda itu dengan suara lembut, memukau siapapun yang memandang, walaupun ia melintas hanya sekilas.
Tatap mata semua pengawal di belakang pimpinan, tertuju pada kecantikan perempuan muda itu bersama kudanya melanjutkan perjalanan.
"Cantik sekali gadis itu."
"Siapa gerangan dia?"
Hampir semuanya berkata itu, termasuk pimpinan rombongan.
Alunan nyanyian berlanjut dari perempuan muda itu.
Suatu masa ketika negeri ini ....
Masih jauh lebih muda bersamamu
La ... la ... la ....
Gadis muda nan cantik itu berlalu. Semua pasang mata lelaki terlena. Orangnya sudah pergi, tetapi pandangan mata para lelaki masih mengikuti punggungnya bergerak.
"Ajeng Ayu ...!" panggil pimpinan pengawal rombongan. Gadis muda itu menghentikan kudanya. Menoleh pada siapa yang memanggil.
"Ada apa, Tuan?" tanya gadis muda itu menoleh dan mengulas senyum.
"Jika tidak keberatan, ikutlah bersama rombongan kami. Kami akan mengantarmu sampai ke tujuan," kata pimpinan pengawal menawarkan jasa. Semua anak buahnya tersenyum tipis.
"Tuan, kita berlawanan arah," balas perempuan muda itu.
"Aku yang akan mengantarmu. Seorang bawahan-ku akan menggantikan aku untuk melanjutkan perjalanan rombongan ini," kata pimpinan pengawal itu.
"Alangkah baiknya Tuan padaku," perempuan muda tersenyum memikat hati siapapun. Selain pimpinan pengawal, hanya bisa memandang senyuman itu. Berharap mendapatkan pasangan masing-masing secantik dia.
Pimpinan pengawal tanpa mengulur waktu, segera menghampiri gadis muda bersama kuda tunggangannya.
"Setto, gantikan aku untuk pimpin rombongan!" perintahnya pada seorang bawahnya bernama Setto. Bawahannya itu tak berani beralasan untuk menolak. Hanya menjawab sedia walaupun sempat bingung akan gelagat atasannya.
Rombongan berlalu melanjutkan perjalanan. Sedangkan pimpinan pengawal rombongan, sekarang bersama perempuan muda berkuda. Kuda mereka berjalan berdampingan.
"Siapa namamu, Ajeng Ayu?" tanya pimpinan pengawal.
"Namaku, Suri Ratih," jawab gadis itu dengan senyuman.
"Nama Kanda siapa?" tanya balik gadis itu dengan nada suara lembut. Semakin laki-laki itu terpesona.
Pimpinan pengawal dipanggil Kanda, sumringah senang. Serasa menemukan jodoh dalam sekejap mata. Sebentar ia tersipu sebelum menjawab.
"Namaku, Raka Galih," jawab pimpinan pengawal itu.
Keduanya melanjutkan perjalanan berkuda dengan santai.
"Kanda Galih, bolehkah aku memanggil dengan sebutan itu?" tanya gadis mengaku dirinya dengan nama Suri Ratih. Ia meminta ijin terlebih dahulu. Raka Galih dengan senang hati menerima panggilan itu.
"Kanda pengawal istana?" tanya Suri.
"Aku Prajurit Adhiwangsa," jawab Raka Galih. Suri mengangguk ringan.
"Kanda tidak takut melintas daerah sini?" tanya Suri.
"Kami kemalaman, tidak biasanya," jawab Raka Galih. Percakapan awal keduanya hanya bentuk basa-basi.
"Berhati-hatilah, Kanda. Kawasan sini, terkenal angker!" tegas, Suri mengatakan itu.
"Kau sendiri tidak takut?" tanya balik Raka Galih. Melihat Suri tampak santai, malah mengundang heran.
"Aku sudah terbiasa berada di sekitaran sini," jawab Suri.
"Rumahmu di mana, Suri?" tanya Raka Galih.
Suri menunjuk satu arah. Kuku runcing merah di ujung jari telunjuk, menunjuk ke arah hutan berantah gelap gulita.
"Di sana? Apakah ada orang menghuni hutan?" tanya Raka Galih heran sendiri.
"Ada. Aku sendiri," jawab Suri.
"Tembang yang kau nyanyikan tadi, kedengarannya kisah yang menyedihkan," kata Raka Galih.
"Seseorang terdahulu, membuat nyanyian itu untuk kaum kami. Dia selalu terkenang."
"Siapa dia? Kekasihmu?" tanya Raka Galih sekalian menyindir apakah Suri memiliki kekasih atau belum.
"Bukan."
"Dia, seseorang yang tidak mau dijadikan tuan kami," jawab Suri, tersenyum, mulai bernyanyi lagi.
"Dinda Suri, apakah sudah menikah?" tak mau basa-basi lagi, Raka Galih menanyakan itu dengan antusias. Kecantikan Suri sungguh menyandera hati Raka Galih.
Suri menggeleng dan tertunduk. Raka Galih senang jawaban itu.
"Aku akan mengantarmu sampai rumah keluargamu."
Raka Galih tiba-tiba memiliki maksud tertentu. Dia lajang. Tertarik pada gadis itu, dan ia ingin melamarnya malam ini juga.
Malam kian larut.
Suri memacu kuda dan memasuki jalur hutan setapak. Raka Galih mengikutinya.
"Kenapa keluargamu tinggal di hutan? Mungkinkah ada hunian orang pedalaman di sana?" tanya Raka Galih.
Suri agak lama menjawab.
"Kanda Raka, sekali engkau bertemu keluargaku, maka engkau tidak bisa keluar dari hutan ini," kata Suri.
"Maksudmu?" tanya Raka Galih makin penasaran.
"Urungkan saja niatmu. Belum terlambat jika ingin keluar dari sini," kata Suri, mumpung belum jauh memasuki hutan.
"Kanda orang baik, aku tidak tega menyakitimu," lanjut Suri. Kudanya terhenti. Jalur hutan sangat gelap gulita. Obor di tangan Raka semakin mengecil apinya. Suri menatap ke obor itu.
* * *
Sepekan berlalu kemudian.
Rumah perkumpulan bangsawan Adhiwangsa, sedang berkumpul banyak utusan. Mereka membicarakan hal-hal penting pemerintahan antar sekte dan urusan warga setempat. Di akhir pertemuan, topik pembicaraan beralih pada salah seorang lelaki yang tidak kembali setelah diutus mengantarkan putri bangsawan.
"Benarkah prajurit kita yang hilang, bernama Raka Galih?" seorang pemimpin Adhiwangsa bertanya pada anggota dewan. Sedangkan yang lain menyimak permasalahan yang sedang terjadi.
"Benar, Paduka Tuan," beberapa orang anggota dewan membenarkan.
"Kami sudah mencarinya sejak sepekan lalu," seorang ketua dewan berbicara.
"Usinya 19 tahun. Belum lama diangkat menjadi pemimpin kesatuan pengawal istana," tambahnya melengkapi identitas seseorang yang sedang dibicarakan.
"Para saksi mengatakan, sebelum hilang, dia mengantarkan seorang perempuan muda berbaju merah, kebetulan melintas di jalur tepi hutan," seorang lain menambahi penjelasan.
Kemudian Paduka Adhiwangsa yang memimpin pertemuan, segera mengumumkan peringatan penting atas kejadian aneh ini.
"Jangan melintas di dekat hutan seorang diri. Jangan bepergian jauh sampai malam. Berhati-hatilah ketika bertemu perempuan asing yang parasnya cantik dengan penampilan gaun merah."
Paduka larut dalam pemikirannya pada kisah-kisah terdahulu yang sering diceritakan turun-temurun oleh para leluhurnya. Sehingga dia yakin tahu kisah ratusan tahun silam dari kakek buyutnya. Itu sudah lama berlalu.
'Mungkinkah legenda gadis merah muncul lagi setelah ratusan tahun lenyap?'
Kedua mata Paduka terpejam, bibirnya mengucap sebutan tersohor di masa lalu.
"Gadis Merah."
Kisah Raka Galih ditelan rumor misterius si Gadis Merah. Turun-temurun hingga generasi berikutnya. Pemuda-pemuda seusia Raka, hilang dalam Legenda Gadis Merah.
* * *