Flash
Disukai
10
Dilihat
14,142
Air Mata Bidadari
Drama

"Haem-sha-miwaz-wa ...."

Radhit menyebut kalimat yang pernah didengar sekali oleh Taja ketika membuka mantera Pasvaati.

"Apa itu?" tanya Taja.

"Haem-sha-miwaz-wa ...!" lebih lantang Radhit sekali mengucapkannya.

"Itu kalimat sakral pembuka berbagai alam gaib," jawab Radhit. Namun Taja tak bisa menirukan dengan lidahnya.

"Juga nama sebuah benda dari langit," lanjut Radhit.

"Air Mata Bidadari."

Kata Radhit menyebutkan istilah aneh dari sesuatu di dalam kepalan tangannya sedang digerak-gerakkan. Sesuatu yang sangat berharga tergenggam dalam penyimpanan ajaibnya.

"Air Mata?!" Taja memperhatikan dan penasaran, apa isi kepalan tangan Radhit.

"Air Mata Bidadari?" Taja terbelalak. Tak percaya, rasa penasaran makin menjadi.

'Apa gerangan di genggaman Radhit? Apakah ... air mata yang dimaksud adalah … cairan yang keluar dari mata akibat menangis?' pikir Taja penuh heran.

Radhit melihat ke sisi telaga, tidak jauh mereka. Tergeletak sebuah kendi. Sepertinya, Radhit sudah menyiapkannya sejak awal.

"Ini lebih berharga daripada berlian di muka bumi," kata Radhit makin membuat Taja penasaran tak sabar.

"Kisahku ...."

"Sampai aku terdampar di sini lebih dari 400 tahun, hanya gara-gara benda ini," ujar Radhit, genggaman tangannya masih bergerak-gerak seperti hendak mengeluarkan sesuatu.

"Ketika aku sangat muda belia ... maksudku usia tubuhku sebenarnya."

"Petualangan-ku ke angkasa, menembus Dunia Langitan demi menyelamatkan ibunda-ku dari Racun Kematian."

"Aku ... harus mendapatkan benda ajaib ini," Radhit menampakkan sesuatu dari genggaman tangannya Akhirnya terbuka.

"Inilah ... Air Mata Bidadari."

Taja terbelalak melihat benda berwujud kristal sebening berlian, di permukaan tangan Radhit. Kelip bening menerpa kedua mata Taja tak berkedip selama menatap dekat butiran itu.

"Ini ... Air Mata Bidadari sungguhan?!" terbelalak mata Taja tak berkedip, memperhatikan tiga butir kristal yang disebut Air Mata Bidadari.

"Dimulai ritual Meraga Sukma, aku meninggalkan tubuhku, mengarungi Dunia Langitan. Bertemu berbagai makhluk langit dan keajaiban dunia yang berbeda dari kehidupan bumi".

Begitu Radhit menuturkan kisahnya. Terpendam dalam diam selama ini kisahnya lebih dari 400 tahun di Tanapura. Akhirnya ada orang yang mendengarkan.

Tiga butiran sebening berlian di telapak tangan Radhit terpampang. Berkaca-kaca kilaunya diterpa cahaya biru tubuh Radhit.

"Air Mata Bidadari."

Ujar Radhit menyebutkan lagi benda sakral ajaib terpampang di permukaan tangannya.

"Apakah ini benar-benar air mata?" Taja tak henti memelototi wujud butiran mungil di telapak tangan Radhit. Ingin disentuh Taja.

"Eh ...!" Radhit seketika mengepalkan tangannya, sedikit menjauh dari jangkauan Taja hendak menyentuh benda keramat itu. Seolah tak mengijinkan Taja ikut menyentuh.

"Kenapa?" Taja sangat ingin menyentuh Air Mata Bidadari.

"Tidak boleh disentuh orang lain selain aku, khasiatnya akan hilang," sergah Radhit.

"Aku mati-matian mendapatkan ini," kata Radhit. Tampak ia mengingat kilas hidupnya.

"Ini benda ajaib dan sakral dari langit."

"Perjalananku ke angkasa. Melampaui pintu-pintu langit dan melintasi jalur berbagai alam," singkat saja Radhit mengatakan itu.

Taja masih ternganga.

"Sebenarnya siapa dirimu, Radhit?" Taja merasa takjub seolah seseorang di hadapannya bukan dari jenis manusia.

"Sama sepertimu. Aku juga manusia!" jawab Radhit. Kembali ia menunjukkan butiran di telapak tangannya.

"Ini benar-benar wujud air mata dari makhluk bidadari," balas Radhit menjawab heran Taja.

Raut muka Taja terpukau heran bercampur kaget, "Benarkah ...?!"

"Aku pernah melakukan Perjalanan Ruhani, hanya bisa dilakukan jiwa, ruh, dan sukma. Sedangkan jasadku yang manusia, tertinggal di bumi," ujar Radhit menjelaskan sebentar. Membuat Taja kebingungan. Pengetahuan dan pengalaman dirinya belum sampai setingkat Radhit.

"Kaulihat angkasa langit di atas?" tanya Radhit menerawang pandangan kedua matanya ke sana.

"Di sana, sibuk makhluk-makhluk. Banyak masalah dan tugas pula," kata Radhit sambil sebelah tangan lainnya menunjuk ke sana.

Taja pun melihat ke langit-langit seperti Radhit menatap ke sana.

"Tidak usah iri dengan langit. Mereka sama sibuknya dengan kita," ujar Radhit. Seakan mengerti perasaan Taja yang risau dan ingin hengkang dari bumi.

"Semua yang hidup dan bernafas, pasti mengalami kehidupan dan kematian. Juga pasti punya masalah."

Perkataan Radhit membuat Taja menyadari kejenuhan dirinya.

"Yang di langit ingin ke bumi. Yang di bumi ingin ke langit," kata Radhit, menggeleng ringan.

Ia mengambil kendi yang tergeletak di sisi telaga. Lalu memasukkan tiga butir Air Mata Bidadari ke dalamnya.

Sementara Taja hanya termangu, melihat apa yang sedang diperbuat Radhit. Taja masih bertanya-tanya akan sejatinya Radhit sebenarnya apa atau siapa.

"Kenapa?" tanya Radhit, menyadari dirinya sedang diperhatikan Taja.

"Benarkah manusia bisa melakukan perjalanan ke langit?" tanya balik, Taja lupa permasalahan hidupnya. Kisah Radhit menjadi daya tarik yang mengalihkan kegelisahan Taja saat itu.

"Aku pernah bertarung dengan Jin Penculik Jiwa. Ada bidadari turun ke langit paling bawah. Ada hutan dan samudera di atas sana. Juga Perahu Kematian, Arwah Putih, dan Kendaraan Sukma," jawab Radhit.

Istilah aneh-aneh disebutkan Radhit, semuanya terdengar asing. Taja penasaran akan semua itu.

“Sahabat-sahabatku ... Aning, Singh, dan seseorang dari jenis makhluk Yindadari,” tampaknya Radhit terkenang beberapa nama di masa lalunya.

"Ah! Mereka sekarang di mana ...? Mungkinkah mereka masih hidup?" gumam Radhit menghela nafas. Tersirat kerinduan dalam waktu yang lama tak bersua.

"Aku terjebak di Tanapura setelah melakoni ritual Meraga Sukma untuk mengarungi Dunia Langitan," ujar Radhit mengeluh kesah nasibnya. Pandangan mata menerawang lagi ke atas langit.

"Meraga Sukma?!" Taja sejenak larut dalam kisah sepintas yang dikatakan Radhit.

"Menakjubkan!" kata Taja berbinar ketika mengatakannya, "Aku juga ingin ilmu itu!"

"Tidak mudah. Ada resiko dan syarat!" kata Radhit membuat Taja urung atas keinginannya tentang ilmu Meraga Sukma.

"Ini akibatnya. Seperti diriku sekarang resikonya!" tambah Radhit mengingatkan.

"Petualanganmu dan kawan-kawanmu sekarang ini juga keren, Taja!" puji Radhit.

"Kadang aku ingin lebih banyak bertindak seperti yang kalian lakukan saat ini."

Ujar Radhit.

Sebentar melihat ke arah Taja sedang terpukau karena kisah hidupnya, Radhit tersenyum saja.

"Air Mata Bidadari sudah larut," kata Radhit membuyarkan Taja terbawa kisahnya.

"Larut dalam kendi," memperjelas maksudnya, Radhit melangkahi bebatuan berjejer dari tepian hingga ke tengah telaga. Taja mengikuti di belakangnya.

"Ajaklah teman-temanmu ke sini!" pinta Radhit.

"Mandi dan berendamlah kalian!" ibarat perintah, Radhit mengatakan lebih jelas pada Taja.

"Sampai besok senja, telaga ini menjadi penawar masal untuk menetralisir Tarian Perawan," lanjut Radhit.

Radhit menuangkan isi kendi. Air dari kendi mengalir perlahan, suara riak jatuh ke permukaan telaga yang hening.

* * *

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (11)