Cerpen
Disukai
0
Dilihat
3,547
Laptopku, Teman Kerjaku
Slice of Life

Laptopku, Teman Kerjaku

Hari itu, Kaguya bangun lebih awal dari biasanya. Alarm dari ponselnya bahkan belum berbunyi ketika ia sudah duduk di kursi, di hadapan laptop kesayangannya, Mostera. Laptop itu sudah menemaninya selama bertahun-tahun, menjadi saksi dari perjalanan hidup yang penuh dengan naik turun. Baginya, Mostera bukan sekadar alat kerja, melainkan teman yang setia. Setiap kali ia menatap layar laptop itu, ada perasaan nyaman yang menjalar di dadanya.

“Pagi, Mostera. Kita punya banyak pekerjaan hari ini,” Kaguya berkata sambil menyalakan laptopnya. Layarnya perlahan menyala, memperlihatkan wallpaper khas yang telah ia pasang sejak bertahun-tahun lalu: gambar pemandangan pegunungan dengan langit yang cerah. Ia selalu merasa damai setiap kali melihat gambar itu, seolah dunia di dalam layar laptopnya begitu sempurna, tak ada kekacauan seperti di dunia nyata.

Mostera bukanlah laptop canggih dengan fitur-fitur terbaru. Bahkan, ia sudah beberapa kali mengalami masalah teknis—mulai dari sistem yang lemot, baterai yang cepat habis, hingga kipas yang terkadang berbunyi terlalu keras. Namun, Kaguya tidak pernah berpikir untuk menggantinya. Laptop itu seperti sahabat yang selalu ada untuknya, membantu setiap kali ia menghadapi tenggat waktu atau proyek besar.

Di luar jendela, matahari mulai terbit, sinarnya memancar lembut di antara celah-celah tirai. Kaguya menarik napas dalam-dalam, merasakan semangat pagi yang perlahan menyusup ke dalam pikirannya. Hari ini, ia harus menyelesaikan sebuah proyek besar—desain website untuk salah satu klien terbesarnya. Proyek itu sangat penting, tidak hanya karena bayarannya yang besar, tetapi juga karena proyek tersebut bisa membuka pintu bagi peluang lain di masa depan.

Sambil menyeruput kopi yang masih hangat, Kaguya mulai bekerja. Tangannya bergerak lincah di atas keyboard, mengetik kode-kode HTML dan CSS yang sudah sangat ia hafal. Mostera bekerja tanpa keluhan, menampilkan setiap perubahan desain dengan cepat di layar. Kaguya merasa tenang, seolah segala sesuatu berada dalam kendali.

Namun, beberapa jam kemudian, ketika Kaguya sedang asyik bekerja, layar Mostera tiba-tiba berkedip. Kaguya terdiam, menatap layar itu dengan cemas. “Oh tidak, jangan sekarang, Mostera…” Ia berbisik, berharap laptopnya bisa bertahan sedikit lebih lama. Ia tahu betul bahwa Mostera sudah tidak dalam kondisi terbaiknya. Beberapa kali, laptop itu mengalami masalah yang cukup serius, dan Kaguya selalu berhasil memperbaikinya. Namun, kali ini ia merasa berbeda—ada perasaan takut bahwa Mostera mungkin tidak bisa bertahan lebih lama lagi.

Kaguya mencoba tetap tenang. Ia menutup beberapa aplikasi yang mungkin membebani sistem, berharap laptopnya kembali normal. Beberapa menit berlalu, dan Mostera kembali berfungsi seperti biasa. Kaguya menghela napas lega, lalu melanjutkan pekerjaannya.

Seiring berjalannya waktu, Kaguya mulai mengingat kembali perjalanan panjangnya bersama Mostera. Ia membeli laptop itu lima tahun yang lalu, tepat setelah lulus kuliah. Saat itu, ia bekerja paruh waktu di sebuah kafe sambil menulis artikel untuk blog dan website kecil. Ia ingat betul bagaimana ia menabung selama berbulan-bulan hanya untuk bisa membeli Mostera.

Di awal-awal kebersamaannya dengan laptop itu, Kaguya merasa seperti memiliki kekuatan baru. Ia bisa menulis lebih cepat, menyelesaikan lebih banyak proyek, dan bahkan memulai usaha kecil-kecilan sebagai freelancer. Mostera selalu ada di sisinya, tak pernah mengecewakan. Setiap kali Kaguya merasa lelah atau putus asa, ia akan membuka laptopnya dan mulai menulis. Mengetik di atas keyboard Mostera selalu memberikan kenyamanan tersendiri, seperti berbicara dengan seorang sahabat yang memahami semua beban pikirannya.

Namun, seiring waktu, laptop itu mulai menunjukkan tanda-tanda usang. Setiap kali Kaguya menyalakan Mostera, ia merasa ada rasa takut yang menghantui—takut bahwa laptop itu suatu hari akan berhenti bekerja selamanya. Meskipun begitu, Kaguya tetap setia. Ia tahu bahwa hubungan mereka lebih dari sekadar hubungan antara manusia dan mesin. Mostera adalah bagian dari hidupnya, bagian dari perjuangannya untuk mencapai impian.

Hari mulai sore ketika Kaguya menyadari bahwa ia sudah menghabiskan hampir delapan jam di depan laptopnya. Pekerjaannya hampir selesai, tinggal beberapa detail kecil yang perlu diperbaiki. Ia memutuskan untuk beristirahat sejenak. Kaguya menutup laptopnya, lalu beranjak ke dapur untuk membuat teh. Ia berdiri di dekat jendela, memandang keluar ke arah taman yang hijau.

Saat itulah ponselnya berbunyi. Pesan dari klien masuk, meminta revisi pada desain yang sedang ia kerjakan. Kaguya meraih ponsel dan membaca pesan itu dengan hati-hati. Revisi yang diminta tidak terlalu sulit, tetapi cukup untuk membuat Kaguya harus bekerja beberapa jam lagi. Ia menghela napas panjang.

"Baiklah, Mostera. Kita harus bekerja sedikit lebih lama," katanya sambil kembali duduk di kursi dan menyalakan laptopnya. Namun kali ini, layar laptop itu tidak menyala. Kaguya mencoba menekan tombol power beberapa kali, tetapi Mostera tetap diam.

“Tidak…,” Kaguya berbisik, rasa cemas mulai merambat di hatinya. Ia mencoba berbagai cara—melepas baterai, menyambungkan charger, bahkan menunggu beberapa menit sebelum menyalakannya lagi. Tapi tidak ada yang berhasil.

Air mata mulai menggenang di sudut matanya. Kaguya tidak bisa membayangkan harus bekerja tanpa Mostera. Laptop itu sudah menjadi bagian dari dirinya, bagian dari identitasnya sebagai seorang freelancer dan penulis. Namun, seiring air matanya yang mulai jatuh, Kaguya tahu bahwa ia harus menghadapi kenyataan. Mostera mungkin sudah mencapai batasnya.

Ia duduk diam selama beberapa saat, menatap layar laptopnya yang gelap. Semua kenangan bersama Mostera melintas di benaknya—malam-malam panjang yang dihabiskan untuk bekerja, momen-momen kebanggaan ketika ia menyelesaikan proyek besar, dan rasa nyaman setiap kali ia mengetik di atas keyboard yang sudah ia kenal dengan baik.

“Aku akan memperbaikinya,” Kaguya berkata pada dirinya sendiri. “Aku tidak akan menyerah begitu saja.”

Keesokan harinya, Kaguya membawa Mostera ke tukang servis. Teknisi di sana memeriksa laptop itu dengan teliti, sementara Kaguya menunggu dengan cemas di sudut ruangan. Setelah beberapa saat, teknisi itu mendekati Kaguya dan memberikan kabar buruk. “Sepertinya motherboard-nya rusak, dan menggantinya akan sangat mahal. Lebih baik beli laptop baru.”

Kaguya terdiam. Ia tahu teknisi itu benar, tetapi hatinya terasa berat untuk melepaskan Mostera. Setelah berpikir beberapa saat, Kaguya akhirnya memutuskan untuk menerima kenyataan. Ia akan membeli laptop baru, tetapi Mostera akan tetap disimpan sebagai kenangan. Ia tidak bisa begitu saja membuang laptop yang telah menemaninya selama bertahun-tahun.

Beberapa hari kemudian, Kaguya kembali bekerja dengan laptop baru di mejanya. Laptop itu jauh lebih cepat dan canggih, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Ia merindukan suara lembut dari kipas Mostera, dentingan halus dari keyboardnya, dan terutama, perasaan nyaman yang selalu ia rasakan setiap kali bekerja dengan laptop lamanya.

Namun, seiring berjalannya waktu, Kaguya belajar untuk menerima perubahan. Ia menyadari bahwa meskipun Mostera tidak lagi bisa digunakan, kenangan dan perjuangan mereka bersama tetap hidup dalam dirinya. Laptop baru itu mungkin lebih canggih, tetapi Mostera akan selalu menjadi teman kerja yang tak tergantikan.

Di sudut meja kerjanya, Mostera terdiam, tidak lagi menyala, tetapi tetap ada sebagai simbol dari perjuangan, ketekunan, dan kenangan yang tak akan pernah hilang.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)