Masukan nama pengguna
Hidup bukan sekadar perjalanan, ia adalah tanya yang menunggu jawaban. Ada luka yang menetes seperti hujan, ada bahagia yang bersemi seperti fajar. Tak semua cinta berawal dari pilihan, kadang ia lahir dari kehilangan. Dan di balik air mata yang pecah di dada, selalu ada alasan yang Tuhan sisipkan agar kita tetap bertahan. (puisi)
Hujan turun deras malam itu, mengetuk jendela kamar Dini dengan ritme sendu. Di dalam sunyi, ia duduk termenung, menatap dunia yang terasa semakin asing sejak ayahnya sakit keras. Hidupnya bagai perahu tanpa arah, terombang-ambing di lautan kehilangan. Beberapa hari lagi, ia akan menikah dengan Arif—lelaki pilihan ayahnya. Lelaki baik, namun bukan sosok yang pernah ia dambakan. Setiap kali gaun putih dan pelaminan terlintas di benaknya, hatinya justru kian hampa. “Kenapa harus aku?” bisiknya pelan, air mata jatuh tanpa bisa ia cegah. --- Di rumah sakit, Dini duduk di sisi ranjang. Wajah ayahnya pucat, tubuhnya kurus, napasnya terengah. Namun senyum itu masih ada—senyum yang selalu memberi kekuatan. “Din…” suara ayahnya lirih, nyaris tenggelam dalam dengusan oksigen. “Ayah hanya punya satu permintaan… menikahlah. Ayah ingin lihat kamu tidak sendirian.” Air mata Dini luruh deras. “Ayah, jangan bicara begitu. Aku masih butuh Ayah… aku masih ingin berjuang bersama Ayah…” Ayahnya tersenyum tipis. “Nak, hidup selalu punya alasan. Kadang kita tak mengerti sekarang, tapi nanti… kamu akan tahu. Jangan takut menikah, meski bukan dengan cinta yang kau harapkan. Karena bahagia itu… bukan dicari dari orang lain, tapi dari alasanmu bertahan.” Kata-kata itu menancap dalam-dalam. Dan malam berikutnya, ayahnya pergi untuk selamanya. Dunia Dini runtuh. Ia menangis sejadi-jadinya, merasa hidup tak lagi punya arti. --- Seminggu kemudian, gaun putih membungkus tubuhnya. Senyum terpaksa ia pasang di pelaminan, sementara hatinya porak-poranda. Tamu-tamu pulang, musik berhenti, dan kini hanya ada ia serta Arif. Arif menatapnya lama, seakan membaca luka yang ia sembunyikan. “Aku sadar, kamu tidak bahagia hari ini,” katanya pelan. “Aku bukan orang yang kamu inginkan. Tapi izinkan aku menjadi alasanmu bertahan.” Dini menoleh, matanya merah. “Alasan? Bagaimana aku bisa bahagia kalau alasannya bukan dari hatiku sendiri?” Arif menarik napas panjang. “Kadang, Tuhan memberi alasan bukan dari keinginan, tapi dari kebutuhan. Aku tak akan memaksamu mencintaiku. Tapi aku akan tetap ada, bahkan saat kamu hanya ingin menangis.” Kalimat itu mengguncang hati Dini. Ia ingin menyangkal, tapi air matanya jatuh juga. --- Hari-hari berlalu. Dini masih sering menangis diam-diam di kamarnya. Namun di luar pintu, Arif selalu hadir. Ia yang menyiapkan sarapan, ia yang berdiri menunggu di pagar rumah saat hujan tiba-tiba turun, ia yang diam-diam menyalakan lampu kamar karena tahu Dini takut gelap. Perlahan, Dini menyadari sesuatu. Kebahagiaan ternyata tidak selalu datang dari cinta yang menggebu, melainkan dari ketulusan yang sederhana. Suatu sore, ia menemukan sebuah buku catatan di meja kerja Arif. Di sana tertulis: “Aku tahu, mungkin aku hanya bayangan di hatinya. Tapi jika aku bisa membuat Dini tersenyum sekali saja dalam sehari, itu cukup bagiku. Karena bagiku, dia adalah alasan kenapa aku ingin terus berjuang.” Air mata Dini pecah lagi. Ia menggenggam buku itu erat, seakan memeluk seluruh perasaan Arif yang tulus. --- Malam itu, langit bertabur bintang. Dini duduk di teras rumah bersama Arif. Udara dingin, namun hatinya hangat. Ia menatap wajah lelaki itu dengan mata basah. “Arif,” suaranya bergetar, “dulu aku merasa pernikahan ini hanya paksaan. Aku marah pada keadaan, pada takdir. Tapi sekarang aku mengerti… mungkin Tuhan memang sengaja menempatkanmu di hidupku. Karena hidup selalu punya alasan. Dan kamu… adalah alasan yang tak pernah hilang dari hidupku.” Arif menunduk, matanya berkaca-kaca. Ia menggenggam tangan Dini erat. “Dan kamu adalah alasan kenapa aku ingin terus bertahan, bahkan ketika dunia ini melawan.” Untuk pertama kalinya, senyum Dini lahir bukan dari paksaan, melainkan dari hati yang mulai menemukan makna. --- Hidup, meski penuh luka dan kehilangan, selalu menyisakan alasan untuk tetap melangkah. Begitu pula pernikahan—kadang bukan tentang siapa yang kita pilih, melainkan bagaimana kita menemukan makna di balik pilihan itu. Karena pada akhirnya, alasan itu tak pernah hilang. Ia hanya menunggu waktu untuk kita temukan.
Ada yang hilang, namun tak pernah benar-benar pergi. Ada yang runtuh, namun menyisakan akar untuk tumbuh kembali. Hidup adalah rangkaian alasan, tak selalu tampak di awal jalan, tapi selalu ada di akhir penantian. Dan cinta… kadang bukan api yang menyala tiba-tiba, melainkan bara kecil yang dijaga, hingga akhirnya menghangatkan jiwa.(puisi)
Hidup bukan sekadar perjalanan, ia adalah tanya yang menunggu jawaban. Ada luka yang menetes seperti hujan, ada bahagia yang bersemi seperti fajar. Tak semua cinta berawal dari pilihan, kadang ia lahir dari kehilangan. Dan di balik air mata yang pecah di dada, selalu ada alasan yang Tuhan sisipkan agar kita tetap bertahan. Hujan turun deras malam itu, mengetuk jendela kamar Dini dengan ritme sendu. Di dalam sunyi, ia duduk termenung, menatap dunia yang terasa semakin asing sejak ayahnya sakit keras. Hidupnya bagai perahu tanpa arah, terombang-ambing di lautan kehilangan. Beberapa hari lagi, ia akan menikah dengan Arif—lelaki pilihan ayahnya. Lelaki baik, namun bukan sosok yang pernah ia dambakan. Setiap kali gaun putih dan pelaminan terlintas di benaknya, hatinya justru kian hampa. “Kenapa harus aku?” bisiknya pelan, air mata jatuh tanpa bisa ia cegah. --- Di rumah sakit, Dini duduk di sisi ranjang. Wajah ayahnya pucat, tubuhnya kurus, napasnya terengah. Namun senyum itu masih ada—senyum yang selalu memberi kekuatan. “Din…” suara ayahnya lirih, nyaris tenggelam dalam dengusan oksigen. “Ayah hanya punya satu permintaan… menikahlah. Ayah ingin lihat kamu tidak sendirian.” Air mata Dini luruh deras. “Ayah, jangan bicara begitu. Aku masih butuh Ayah… aku masih ingin berjuang bersama Ayah…” Ayahnya tersenyum tipis. “Nak, hidup selalu punya alasan. Kadang kita tak mengerti sekarang, tapi nanti… kamu akan tahu. Jangan takut menikah, meski bukan dengan cinta yang kau harapkan. Karena bahagia itu… bukan dicari dari orang lain, tapi dari alasanmu bertahan.” Kata-kata itu menancap dalam-dalam. Dan malam berikutnya, ayahnya pergi untuk selamanya. Dunia Dini runtuh. Ia menangis sejadi-jadinya, merasa hidup tak lagi punya arti. --- Seminggu kemudian, gaun putih membungkus tubuhnya. Senyum terpaksa ia pasang di pelaminan, sementara hatinya porak-poranda. Tamu-tamu pulang, musik berhenti, dan kini hanya ada ia serta Arif. Arif menatapnya lama, seakan membaca luka yang ia sembunyikan. “Aku sadar, kamu tidak bahagia hari ini,” katanya pelan. “Aku bukan orang yang kamu inginkan. Tapi izinkan aku menjadi alasanmu bertahan.” Dini menoleh, matanya merah. “Alasan? Bagaimana aku bisa bahagia kalau alasannya bukan dari hatiku sendiri?” Arif menarik napas panjang. “Kadang, Tuhan memberi alasan bukan dari keinginan, tapi dari kebutuhan. Aku tak akan memaksamu mencintaiku. Tapi aku akan tetap ada, bahkan saat kamu hanya ingin menangis.” Kalimat itu mengguncang hati Dini. Ia ingin menyangkal, tapi air matanya jatuh juga. --- Hari-hari berlalu. Dini masih sering menangis diam-diam di kamarnya. Namun di luar pintu, Arif selalu hadir. Ia yang menyiapkan sarapan, ia yang berdiri menunggu di pagar rumah saat hujan tiba-tiba turun, ia yang diam-diam menyalakan lampu kamar karena tahu Dini takut gelap. Perlahan, Dini menyadari sesuatu. Kebahagiaan ternyata tidak selalu datang dari cinta yang menggebu, melainkan dari ketulusan yang sederhana. Suatu sore, ia menemukan sebuah buku catatan di meja kerja Arif. Di sana tertulis: “Aku tahu, mungkin aku hanya bayangan di hatinya. Tapi jika aku bisa membuat Dini tersenyum sekali saja dalam sehari, itu cukup bagiku. Karena bagiku, dia adalah alasan kenapa aku ingin terus berjuang.” Air mata Dini pecah lagi. Ia menggenggam buku itu erat, seakan memeluk seluruh perasaan Arif yang tulus. --- Malam itu, langit bertabur bintang. Dini duduk di teras rumah bersama Arif. Udara dingin, namun hatinya hangat. Ia menatap wajah lelaki itu dengan mata basah. “Arif,” suaranya bergetar, “dulu aku merasa pernikahan ini hanya paksaan. Aku marah pada keadaan, pada takdir. Tapi sekarang aku mengerti… mungkin Tuhan memang sengaja menempatkanmu di hidupku. Karena hidup selalu punya alasan. Dan kamu… adalah alasan yang tak pernah hilang dari hidupku.” Arif menunduk, matanya berkaca-kaca. Ia menggenggam tangan Dini erat. “Dan kamu adalah alasan kenapa aku ingin terus bertahan, bahkan ketika dunia ini melawan.” Untuk pertama kalinya, senyum Dini lahir bukan dari paksaan, melainkan dari hati yang mulai menemukan makna. --- Hidup, meski penuh luka dan kehilangan, selalu menyisakan alasan untuk tetap melangkah. Begitu pula pernikahan—kadang bukan tentang siapa yang kita pilih, melainkan bagaimana kita menemukan makna di balik pilihan itu. Karena pada akhirnya, alasan itu tak pernah hilang. Ia hanya menunggu waktu untuk kita temukan. Ada yang hilang, namun tak pernah benar-benar pergi. Ada yang runtuh, namun menyisakan akar untuk tumbuh kembali. Hidup adalah rangkaian alasan, tak selalu tampak di awal jalan, tapi selalu ada di akhir penantian. Dan cinta… kadang bukan api yang menyala tiba-tiba, melainkan bara kecil yang dijaga, hingga akhirnya menghangatkan jiwa.Hidup bukan sekadar perjalanan, ia adalah tanya yang menunggu jawaban. Ada luka yang menetes seperti hujan, ada bahagia yang bersemi seperti fajar. Tak semua cinta berawal dari pilihan, kadang ia lahir dari kehilangan. Dan di balik air mata yang pecah di dada, selalu ada alasan yang Tuhan sisipkan agar kita tetap bertahan. Hujan turun deras malam itu, mengetuk jendela kamar Dini dengan ritme sendu. Di dalam sunyi, ia duduk termenung, menatap dunia yang terasa semakin asing sejak ayahnya sakit keras. Hidupnya bagai perahu tanpa arah, terombang-ambing di lautan kehilangan. Beberapa hari lagi, ia akan menikah dengan Arif—lelaki pilihan ayahnya. Lelaki baik, namun bukan sosok yang pernah ia dambakan. Setiap kali gaun putih dan pelaminan terlintas di benaknya, hatinya justru kian hampa. “Kenapa harus aku?” bisiknya pelan, air mata jatuh tanpa bisa ia cegah. --- Di rumah sakit, Dini duduk di sisi ranjang. Wajah ayahnya pucat, tubuhnya kurus, napasnya terengah. Namun senyum itu masih ada—senyum yang selalu memberi kekuatan. “Din…” suara ayahnya lirih, nyaris tenggelam dalam dengusan oksigen. “Ayah hanya punya satu permintaan… menikahlah. Ayah ingin lihat kamu tidak sendirian.” Air mata Dini luruh deras. “Ayah, jangan bicara begitu. Aku masih butuh Ayah… aku masih ingin berjuang bersama Ayah…” Ayahnya tersenyum tipis. “Nak, hidup selalu punya alasan. Kadang kita tak mengerti sekarang, tapi nanti… kamu akan tahu. Jangan takut menikah, meski bukan dengan cinta yang kau harapkan. Karena bahagia itu… bukan dicari dari orang lain, tapi dari alasanmu bertahan.” Kata-kata itu menancap dalam-dalam. Dan malam berikutnya, ayahnya pergi untuk selamanya. Dunia Dini runtuh. Ia menangis sejadi-jadinya, merasa hidup tak lagi punya arti. --- Seminggu kemudian, gaun putih membungkus tubuhnya. Senyum terpaksa ia pasang di pelaminan, sementara hatinya porak-poranda. Tamu-tamu pulang, musik berhenti, dan kini hanya ada ia serta Arif. Arif menatapnya lama, seakan membaca luka yang ia sembunyikan. “Aku sadar, kamu tidak bahagia hari ini,” katanya pelan. “Aku bukan orang yang kamu inginkan. Tapi izinkan aku menjadi alasanmu bertahan.” Dini menoleh, matanya merah. “Alasan? Bagaimana aku bisa bahagia kalau alasannya bukan dari hatiku sendiri?” Arif menarik napas panjang. “Kadang, Tuhan memberi alasan bukan dari keinginan, tapi dari kebutuhan. Aku tak akan memaksamu mencintaiku. Tapi aku akan tetap ada, bahkan saat kamu hanya ingin menangis.” Kalimat itu mengguncang hati Dini. Ia ingin menyangkal, tapi air matanya jatuh juga. --- Hari-hari berlalu. Dini masih sering menangis diam-diam di kamarnya. Namun di luar pintu, Arif selalu hadir. Ia yang menyiapkan sarapan, ia yang berdiri menunggu di pagar rumah saat hujan tiba-tiba turun, ia yang diam-diam menyalakan lampu kamar karena tahu Dini takut gelap. Perlahan, Dini menyadari sesuatu. Kebahagiaan ternyata tidak selalu datang dari cinta yang menggebu, melainkan dari ketulusan yang sederhana. Suatu sore, ia menemukan sebuah buku catatan di meja kerja Arif. Di sana tertulis: “Aku tahu, mungkin aku hanya bayangan di hatinya. Tapi jika aku bisa membuat Dini tersenyum sekali saja dalam sehari, itu cukup bagiku. Karena bagiku, dia adalah alasan kenapa aku ingin terus berjuang.” Air mata Dini pecah lagi. Ia menggenggam buku itu erat, seakan memeluk seluruh perasaan Arif yang tulus. --- Malam itu, langit bertabur bintang. Dini duduk di teras rumah bersama Arif. Udara dingin, namun hatinya hangat. Ia menatap wajah lelaki itu dengan mata basah. “Arif,” suaranya bergetar, “dulu aku merasa pernikahan ini hanya paksaan. Aku marah pada keadaan, pada takdir. Tapi sekarang aku mengerti… mungkin Tuhan memang sengaja menempatkanmu di hidupku. Karena hidup selalu punya alasan. Dan kamu… adalah alasan yang tak pernah hilang dari hidupku.” Arif menunduk, matanya berkaca-kaca. Ia menggenggam tangan Dini erat. “Dan kamu adalah alasan kenapa aku ingin terus bertahan, bahkan ketika dunia ini melawan.” Untuk pertama kalinya, senyum Dini lahir bukan dari paksaan, melainkan dari hati yang mulai menemukan makna. --- Hidup, meski penuh luka dan kehilangan, selalu menyisakan alasan untuk tetap melangkah. Begitu pula pernikahan—kadang bukan tentang siapa yang kita pilih, melainkan bagaimana kita menemukan makna di balik pilihan itu. Karena pada akhirnya, alasan itu tak pernah hilang. Ia hanya menunggu waktu untuk kita temukan. Ada yang hilang, namun tak pernah benar-benar pergi. Ada yang runtuh, namun menyisakan akar untuk tumbuh kembali. Hidup adalah rangkaian alasan, tak selalu tampak di awal jalan, tapi selalu ada di akhir penantian. Dan cinta… kadang bukan api yang menyala tiba-tiba, melainkan bara kecil yang dijaga, hingga akhirnya menghangatkan jiwa.