Cerpen
Disukai
0
Dilihat
7,826
Cinta di Balik Papan Tulis
Romantis

Cinta di Balik Papan Tulis

Gurumi, seorang guru bahasa Inggris di sebuah sekolah menengah, selalu dikenal sebagai sosok yang tegas namun penuh kasih. Murid-muridnya sering melihatnya sebagai teladan, bukan hanya karena kemampuannya mengajar, tetapi juga karena caranya mendekati setiap siswa dengan perhatian khusus. Setiap pagi, Gurumi berangkat ke sekolah dengan hati yang tulus, ingin memberikan yang terbaik bagi para siswa yang dicintainya.

Di balik kecintaannya terhadap profesi sebagai guru, ada sesuatu yang selalu ia sembunyikan. Perasaan cinta yang tumbuh perlahan-lahan terhadap seseorang yang tidak pernah ia duga—Andi, rekan seprofesi yang mengajar olahraga. Andi bukan tipe orang yang banyak bicara, tetapi di setiap kesempatan, dia selalu memberikan perhatian kecil pada Gurumi. Misalnya, membawakan kopi saat rapat pagi, atau diam-diam menata alat tulis Gurumi yang berserakan di meja guru.

Awalnya, Gurumi menganggap itu hanya sikap ramah biasa dari seorang teman. Namun, ketika sikap perhatian itu terus berlanjut, Gurumi mulai merasa ada sesuatu yang berbeda. Suatu hari, ketika hujan deras turun di tengah jam pelajaran, Andi mendatangi kelas Gurumi dengan sebuah payung besar.

“Gurumi, nanti pulangnya bareng ya? Aku lihat kamu tadi nggak bawa payung,” kata Andi dengan senyum kecil.

Gurumi terdiam sejenak, menatap mata Andi yang selalu tampak teduh. “Ah, terima kasih, Andi. Kamu selalu perhatian.”

Sejak saat itu, mereka mulai lebih sering berbicara. Setiap pagi, Andi sering menunggu di gerbang sekolah, siap menyambut Gurumi dengan senyumnya yang hangat. Mereka berbagi cerita, bukan hanya tentang sekolah, tetapi juga tentang hidup, impian, dan harapan masa depan.

Suatu sore, ketika matahari mulai terbenam, mereka berdua duduk di bangku taman sekolah. Angin sepoi-sepoi menggoyangkan daun-daun pohon, menciptakan suasana damai. Gurumi memandang langit yang mulai memerah, sementara Andi diam-diam menatapnya dengan tatapan lembut.

“Aku ingin bilang sesuatu, Gurumi,” ucap Andi perlahan.

Gurumi menoleh, kaget dengan nada serius Andi.

“Apa itu?” tanyanya dengan nada ragu.

Andi menunduk sejenak, lalu menarik napas dalam-dalam. “Aku sudah lama memendam perasaan ini. Mungkin kamu sudah menyadarinya, tapi aku ingin mengatakan secara langsung. Aku jatuh cinta padamu.”

Gurumi tertegun. Hatinya berdebar, namun ia tak tahu harus berkata apa. Ia memang merasakan hal yang sama, tapi takut jika perasaan itu akan merusak hubungan profesional mereka sebagai rekan kerja.

“Aku… aku juga menyukaimu, Andi,” jawab Gurumi pelan. “Tapi, kita harus hati-hati. Aku tidak ingin ini memengaruhi pekerjaan kita di sekolah.”

Andi tersenyum. “Aku juga berpikir begitu. Kita bisa menjalani ini dengan pelan-pelan. Yang penting, kita saling mendukung, seperti yang selama ini kita lakukan.”

Hari-hari berikutnya, hubungan mereka menjadi lebih dekat, namun tetap profesional di sekolah. Mereka menjaga agar perasaan cinta itu tidak mengganggu tugas mereka sebagai pendidik. Mereka tahu bahwa menjadi guru adalah tanggung jawab besar, dan cinta mereka harus tetap sejalan dengan dedikasi mereka terhadap murid-murid.

Waktu berlalu, dan tanpa disadari, hubungan mereka semakin kuat. Cinta Gurumi dan Andi tumbuh dengan perlahan, seperti pohon yang akarnya semakin dalam. Tidak ada hal yang tergesa-gesa, semuanya berjalan dengan alami. Mereka tahu, cinta di balik papan tulis ini bukanlah cinta yang biasa—ini adalah cinta yang tumbuh dari rasa saling menghargai, saling memahami, dan saling mendukung dalam setiap langkah mereka sebagai guru.

Di suatu senja yang indah, ketika sekolah sedang libur panjang, Andi mengajak Gurumi ke sebuah tempat yang tenang di tepi danau. Di sana, di bawah langit yang berwarna jingga, Andi mengambil tangan Gurumi dan menatapnya dalam-dalam.

“Gurumi, aku ingin kita bersama, tidak hanya sebagai rekan kerja, tetapi juga dalam setiap langkah hidup kita.”

Gurumi tersenyum, matanya berkilau dengan rasa bahagia yang tak terucapkan. “Aku juga ingin hal yang sama, Andi.”

Dan di bawah langit senja, mereka pun memutuskan untuk menuliskan cerita cinta mereka yang baru—cerita cinta yang dimulai di balik papan tulis, dan akan berlanjut sepanjang hidup mereka.


Cinta di Balik Papan Tulis

Gurumi adalah seorang guru bahasa Inggris yang sangat dicintai oleh murid-murid dan rekan-rekannya di sebuah sekolah menengah di kota kecil. Di usia yang masih muda, ia telah berhasil menjadi salah satu guru paling berpengaruh di sekolah tersebut. Dengan sikap tegas namun penuh perhatian, Gurumi dikenal sebagai guru yang mampu mendekatkan dirinya dengan para siswanya, terutama mereka yang sering kali kesulitan dalam memahami materi pelajaran.

Setiap pagi, Gurumi datang ke sekolah dengan semangat baru. Ia selalu siap untuk memberikan ilmu kepada para siswa yang ia sayangi, dan bagi Gurumi, setiap hari adalah kesempatan baru untuk menginspirasi mereka. Namun, di balik dedikasinya sebagai seorang guru, ada perasaan yang selama ini ia sembunyikan. Perasaan cinta yang perlahan-lahan tumbuh kepada seseorang yang tak pernah ia sangka—Andi, guru olahraga di sekolah yang sama.

Andi adalah sosok yang sangat berbeda dari Gurumi. Dia tidak banyak bicara, tetapi setiap kali berada di dekatnya, Andi selalu memberikan perhatian-perhatian kecil yang membuat Gurumi merasa diperhatikan. Mulai dari membawakan kopi saat rapat pagi hingga membantu merapikan alat tulis yang sering berserakan di meja guru, Andi selalu hadir dengan kehangatan yang diam-diam membuat hati Gurumi berdebar.

Pada awalnya, Gurumi menganggap perhatian Andi sebagai bentuk keramahan biasa. Toh, Andi memang dikenal sebagai orang yang baik dan selalu siap membantu siapa saja. Namun, semakin sering mereka berinteraksi, perasaan Gurumi terhadap Andi mulai berubah. Ia mulai merasakan bahwa ada yang berbeda setiap kali Andi berada di sekitarnya.

Suatu hari, ketika hujan deras tiba-tiba mengguyur sekolah di tengah jam pelajaran, Andi datang ke kelas Gurumi dengan membawa sebuah payung besar.

“Gurumi, nanti pulangnya bareng, ya? Aku lihat kamu nggak bawa payung tadi,” kata Andi sambil tersenyum.

Gurumi terkejut mendengar perhatian tersebut. “Ah, terima kasih, Andi. Kamu selalu perhatian.”

“Bukan masalah, lagipula aku punya payung besar. Nanti kita bisa jalan bareng.”

Sejak kejadian itu, Gurumi dan Andi mulai semakin sering berbicara. Setiap pagi, Andi sering menunggu Gurumi di gerbang sekolah. Bukan dengan kata-kata manis, melainkan hanya dengan sebuah senyuman hangat dan sapaan sederhana. Namun, senyuman itu sudah cukup untuk membuat hati Gurumi berbunga-bunga.

Mereka berbicara tentang banyak hal—tentang murid-murid, tentang kehidupan di luar sekolah, bahkan tentang mimpi-mimpi mereka di masa depan. Gurumi, yang biasanya terlihat tegas di depan murid-muridnya, berubah menjadi sosok yang lebih lembut dan penuh senyum setiap kali berbicara dengan Andi. Dan Andi, yang biasanya pendiam, mulai membuka dirinya kepada Gurumi.

Pada suatu sore yang indah, setelah jam pelajaran selesai, Gurumi dan Andi duduk di bangku taman sekolah. Angin sepoi-sepoi berhembus lembut, menggoyangkan daun-daun pohon, menciptakan suasana yang damai. Gurumi menatap langit senja yang perlahan-lahan berubah menjadi jingga, sementara Andi, yang duduk di sebelahnya, diam-diam mencuri pandang ke arahnya.

“Aku ingin mengatakan sesuatu, Gurumi,” kata Andi tiba-tiba dengan nada serius.

Gurumi menoleh, kaget dengan perubahan nada suara Andi. “Apa itu?” tanyanya dengan hati-hati.

Andi menghela napas dalam, seolah berusaha mengumpulkan keberaniannya. “Aku sudah lama memendam perasaan ini. Mungkin kamu sudah menyadarinya, tapi aku ingin mengatakan ini secara langsung. Aku... jatuh cinta padamu, Gurumi.”

Gurumi terdiam sejenak. Jantungnya berdegup kencang mendengar pengakuan Andi. Ia memang merasakan hal yang sama, tetapi ia tidak pernah mengira bahwa Andi akan mengatakannya secara langsung. Dalam hatinya, ia merasa senang, namun sekaligus khawatir.

“Aku... aku juga menyukaimu, Andi,” jawab Gurumi pelan, berusaha menahan emosinya. “Tapi, aku khawatir hubungan kita akan memengaruhi pekerjaan di sekolah.”

Andi tersenyum, kali ini dengan tatapan penuh pengertian. “Aku juga memikirkan hal yang sama. Kita bisa melakukannya perlahan-lahan. Aku tidak ingin terburu-buru, Gurumi. Yang terpenting bagi aku, kita saling mendukung, seperti yang selama ini kita lakukan.”

Sejak saat itu, hubungan mereka berkembang secara alami. Mereka mulai lebih sering menghabiskan waktu bersama di luar jam sekolah, baik sekadar untuk minum kopi bersama atau berbincang-bincang tentang hal-hal sederhana. Namun, di sekolah, mereka tetap menjaga profesionalisme. Andi dan Gurumi sadar bahwa hubungan mereka tidak boleh mengganggu tugas mereka sebagai guru, karena mereka memiliki tanggung jawab besar terhadap para siswa.

Meski begitu, ada kebahagiaan tersendiri yang Gurumi rasakan setiap kali mereka bersama. Cinta yang tumbuh di antara mereka terasa berbeda, bukan sekadar cinta yang didasari oleh ketertarikan fisik, melainkan cinta yang dibangun dari rasa saling menghormati, memahami, dan mendukung. Mereka tidak hanya saling jatuh cinta sebagai dua individu, tetapi juga sebagai rekan kerja yang berbagi misi yang sama dalam mendidik generasi muda.

Waktu berlalu, dan tanpa disadari, hubungan mereka semakin kuat. Andi selalu ada untuk Gurumi, memberikan semangat saat dia merasa lelah dengan pekerjaan atau tantangan mengajar. Begitu pula sebaliknya, Gurumi selalu menjadi pendengar yang baik bagi Andi, memberikan dukungan emosional ketika Andi menghadapi masalah pribadi. Mereka menemukan keseimbangan yang sempurna dalam hubungan mereka.

Suatu sore di akhir semester, ketika matahari mulai tenggelam dan sekolah mulai sepi, Andi mengajak Gurumi ke sebuah tempat yang tenang di tepi danau, tak jauh dari sekolah mereka. Di sana, di bawah langit senja yang berwarna jingga, Andi menggenggam tangan Gurumi dengan lembut dan menatapnya dalam-dalam.

“Gurumi,” kata Andi dengan suara lembut, “Aku sudah lama memikirkan ini. Aku ingin kita tidak hanya bersama sebagai rekan kerja, tapi juga dalam hidup kita. Aku ingin kita membangun masa depan bersama.”

Gurumi terharu mendengar kata-kata Andi. Air mata kebahagiaan mengalir di pipinya, namun ia tersenyum dengan hati yang penuh cinta. “Aku juga ingin hal yang sama, Andi.”

Di bawah langit senja yang indah, mereka pun memutuskan untuk menulis cerita cinta mereka yang baru. Cerita yang dimulai di balik papan tulis, namun akan terus berlanjut di setiap langkah kehidupan mereka. Mereka tahu bahwa cinta yang tumbuh dari kesederhanaan dan saling mendukung ini akan menjadi fondasi yang kokoh untuk masa depan mereka.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)