Cerpen
Disukai
0
Dilihat
7,526
Ruang Tanpa Suara
Romantis

Ruang Tanpa Suara

Karya Mochammad Ikhsan Maulana


Matahari siang menyapa lembut, menciptakan bayang-bayang di trotoar kampus yang ramai. Di tengah kerumunan mahasiswa yang tergesa-gesa menuju kelas masing-masing, ada satu wajah yang selalu membuatnya berhenti sejenak—Sita. Perempuan berambut hitam dengan senyum yang selalu mampu memadamkan hiruk-pikuk di dalam hatinya. Sejak pertama kali melihat Sita di perpustakaan beberapa minggu lalu, Dimas tahu ada sesuatu yang berbeda.

Hari itu, Dimas sedang duduk di pojok perpustakaan, mengerjakan tugas makalah yang sudah mendekati tenggat waktu. Di antara tumpukan buku dan kertas yang berantakan, dia melihat Sita berjalan masuk. Wajahnya fokus, dengan buku di tangan. Tanpa sadar, Dimas menatap lebih lama dari seharusnya hingga tatapan mereka bertemu.

“Ada yang bisa kubantu?” Sita tersenyum tipis, membuat pipinya sedikit bersemu.

Dimas tersentak dari lamunannya. “Ah, nggak... cuma... kamu duduk di sini, nggak masalah kan?” jawab Dimas gugup.

Sita mengangguk kecil. "Tentu saja."

Mereka duduk berdekatan di meja panjang, namun terpisah oleh kesunyian. Ruang perpustakaan seketika terasa jauh lebih hening, meski penuh dengan aktivitas orang-orang di sekitar. Waktu berlalu tanpa terasa, dan sesekali Dimas mencuri pandang ke arah Sita, yang sedang asyik membaca. Detik-detik kecil itu yang membuatnya makin tertarik untuk mengenal gadis ini lebih jauh.

Suatu sore, ketika kampus mulai sepi, Dimas memberanikan diri untuk menghampiri Sita yang masih setia di perpustakaan. “Kamu sering ke sini ya?” tanya Dimas, membuka percakapan.

“Hmm, iya. Aku suka suasananya yang tenang. Kamu?”

“Sama. Mungkin kita sering ketemu, tapi baru sekarang benar-benar ngobrol,” kata Dimas sambil tertawa kecil.

Percakapan yang awalnya canggung berubah menjadi obrolan hangat. Mereka membahas banyak hal—dari tugas kuliah, film favorit, hingga mimpi-mimpi kecil yang terselip di antara rutinitas kampus. Dimas mulai menyadari bahwa Sita adalah sosok yang cerdas dan penuh dengan cerita yang membuatnya merasa nyaman.

Hari demi hari, Dimas dan Sita semakin dekat. Mereka sering bertemu di kantin atau di taman kampus untuk sekadar berbincang atau berdiskusi tentang tugas. Namun, di balik kebersamaan itu, ada satu hal yang masih belum berani Dimas ungkapkan—perasaan yang terus tumbuh di hatinya.

Suatu sore di bulan Oktober, Dimas mengajak Sita ke taman kampus. Udara sejuk, dan daun-daun mulai berguguran, menambah kesan romantis yang tak disadari oleh keduanya. Mereka duduk di bangku kayu di bawah pohon besar, menikmati senja yang mulai turun perlahan.

“Sita, aku mau ngomong sesuatu,” Dimas berkata dengan nada sedikit ragu.

Sita menoleh. "Ada apa, Dim?"

Dimas terdiam sejenak, menarik napas panjang. “Aku nggak tahu bagaimana cara mengatakannya, tapi... sejak kita sering bersama, ada sesuatu yang selalu mengganggu pikiranku.”

“Apa itu?”

“Perasaanku ke kamu.” Dimas menatap Sita dalam-dalam, berharap menemukan jawaban dari tatapan mata gadis itu.

Sita terkejut, tapi tetap tenang. Dia memalingkan wajah, menatap langit senja yang mulai berubah warna. “Dimas, aku nggak pernah menyangka kamu akan bilang ini,” katanya pelan.

“Aku juga nggak pernah menyangka perasaanku bisa sebesar ini. Tapi, setiap kali kita bersama, aku selalu merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar teman.” Dimas memberanikan diri melanjutkan.

Sita tersenyum lembut. “Aku senang mendengarnya, Dimas. Tapi...”

Kata "tapi" itu menggantung di udara, membuat Dimas merasa sedikit gelisah.

“Aku juga punya perasaan yang sama, tapi sekarang bukan waktu yang tepat,” lanjut Sita dengan nada lembut.

“Kenapa?” Dimas bertanya, menahan kegundahannya.

“Aku harus fokus pada kuliahku dulu. Ada banyak hal yang harus kupersiapkan untuk masa depanku. Aku nggak ingin hubungan kita nantinya malah jadi beban buat kita berdua.”

Dimas terdiam, memahami kekhawatiran Sita. Meskipun hatinya ingin lebih, dia tahu bahwa perasaan tidak selalu harus dipaksakan. Terkadang, menunggu adalah bagian dari perjalanan cinta itu sendiri.

“Aku ngerti, Sita,” kata Dimas, mencoba tersenyum walaupun hatinya sedikit berat.

Sita menatapnya dengan lembut. “Aku nggak ingin kita kehilangan persahabatan yang kita punya sekarang. Kamu adalah orang yang penting buatku, Dimas.”

Senja semakin meredup, tetapi bagi Dimas, momen itu akan selalu bersinar di ingatannya. Meski cinta mereka tak terucap sepenuhnya, harapan untuk suatu saat nanti selalu ada.

Waktu berlalu. Sita dan Dimas tetap dekat, meski hubungan mereka masih terjaga dalam batasan persahabatan. Mereka saling mendukung dalam kuliah, menghabiskan waktu bersama untuk belajar, bercanda, dan berbagi mimpi. Tapi dalam hati, Dimas tak pernah berhenti berharap suatu hari akan tiba waktu yang tepat bagi mereka.

Hingga suatu hari, setelah kelulusan, Dimas menerima pesan dari Sita.

"Dimas, bisakah kita bertemu di taman kampus nanti sore?"

Mata Dimas berbinar membaca pesan itu. Ada getar halus di hatinya, seolah hari itu akan membawa perubahan yang sudah lama ia nantikan.

Sore itu, Dimas duduk di bangku yang sama di mana mereka dulu berbicara tentang perasaan. Senja kembali menyelimuti langit, seperti saat mereka pertama kali mengungkapkan isi hati.

Sita datang, tersenyum dengan wajah yang sama—tenang dan meneduhkan. Dia duduk di samping Dimas, dan sejenak, mereka terdiam menikmati suasana.

"Dimas," kata Sita akhirnya. "Ingat waktu dulu aku bilang aku belum siap?"

Dimas mengangguk. "Tentu."

Sita menghela napas, kemudian menatap Dimas dengan tatapan hangat. "Aku sekarang sudah siap. Aku sadar selama ini, perasaan kita saling menunggu. Dan aku ingin kita bisa melangkah bersama, tanpa ada yang menunda lagi."

Hati Dimas berdegup kencang. Kata-kata itu adalah yang selama ini dia impikan. Dia menatap Sita, senyumnya mengembang, dan tanpa ragu, dia meraih tangan Sita.

“Terima kasih sudah menungguku, Dimas. Aku tahu ini tidak mudah.”

Dimas menggeleng. “Menunggu kamu selalu sepadan, Sita. Dan aku akan selalu siap melangkah bersamamu.”

Di bawah langit senja yang indah, mereka akhirnya menyatukan hati yang telah lama merindu. Cinta mereka akhirnya menemukan waktunya untuk berkembang, tidak lagi ditunda oleh kekhawatiran atau keraguan. Hari itu, di tempat di mana semuanya dimulai, mereka memulai perjalanan baru—bukan sebagai teman, tetapi sebagai pasangan yang siap menghadapi masa depan bersama.

Dan di tengah hiruk-pikuk kampus yang kini telah sepi, hanya ada mereka berdua yang tersenyum bahagia, dalam ruang yang kini tak lagi tanpa suara.

Matahari siang menyapa lembut, menciptakan bayang-bayang di trotoar kampus yang ramai. Di tengah kerumunan mahasiswa yang tergesa-gesa menuju kelas masing-masing, ada satu wajah yang selalu membuatnya berhenti sejenak—Sita. Perempuan berambut hitam dengan senyum yang selalu mampu memadamkan hiruk-pikuk di dalam hatinya. Sejak pertama kali melihat Sita di perpustakaan beberapa minggu lalu, Dimas tahu ada sesuatu yang berbeda.

Hari itu, Dimas sedang duduk di pojok perpustakaan, mengerjakan tugas makalah yang sudah mendekati tenggat waktu. Di antara tumpukan buku dan kertas yang berantakan, dia melihat Sita berjalan masuk. Wajahnya fokus, dengan buku di tangan. Tanpa sadar, Dimas menatap lebih lama dari seharusnya hingga tatapan mereka bertemu.

“Ada yang bisa kubantu?” Sita tersenyum tipis, membuat pipinya sedikit bersemu.

Dimas tersentak dari lamunannya. “Ah, nggak... cuma... kamu duduk di sini, nggak masalah kan?” jawab Dimas gugup.

Sita mengangguk kecil. "Tentu saja."

Mereka duduk berdekatan di meja panjang, namun terpisah oleh kesunyian. Ruang perpustakaan seketika terasa jauh lebih hening, meski penuh dengan aktivitas orang-orang di sekitar. Waktu berlalu tanpa terasa, dan sesekali Dimas mencuri pandang ke arah Sita, yang sedang asyik membaca. Detik-detik kecil itu yang membuatnya makin tertarik untuk mengenal gadis ini lebih jauh.

Suatu sore, ketika kampus mulai sepi, Dimas memberanikan diri untuk menghampiri Sita yang masih setia di perpustakaan. “Kamu sering ke sini ya?” tanya Dimas, membuka percakapan.

“Hmm, iya. Aku suka suasananya yang tenang. Kamu?”

“Sama. Mungkin kita sering ketemu, tapi baru sekarang benar-benar ngobrol,” kata Dimas sambil tertawa kecil.

Percakapan yang awalnya canggung berubah menjadi obrolan hangat. Mereka membahas banyak hal—dari tugas kuliah, film favorit, hingga mimpi-mimpi kecil yang terselip di antara rutinitas kampus. Dimas mulai menyadari bahwa Sita adalah sosok yang cerdas dan penuh dengan cerita yang membuatnya merasa nyaman.

Hari demi hari, Dimas dan Sita semakin dekat. Mereka sering bertemu di kantin atau di taman kampus untuk sekadar berbincang atau berdiskusi tentang tugas. Namun, di balik kebersamaan itu, ada satu hal yang masih belum berani Dimas ungkapkan—perasaan yang terus tumbuh di hatinya.

Suatu sore di bulan Oktober, Dimas mengajak Sita ke taman kampus. Udara sejuk, dan daun-daun mulai berguguran, menambah kesan romantis yang tak disadari oleh keduanya. Mereka duduk di bangku kayu di bawah pohon besar, menikmati senja yang mulai turun perlahan.

“Sita, aku mau ngomong sesuatu,” Dimas berkata dengan nada sedikit ragu.

Sita menoleh. "Ada apa, Dim?"

Dimas terdiam sejenak, menarik napas panjang. “Aku nggak tahu bagaimana cara mengatakannya, tapi... sejak kita sering bersama, ada sesuatu yang selalu mengganggu pikiranku.”

“Apa itu?”

“Perasaanku ke kamu.” Dimas menatap Sita dalam-dalam, berharap menemukan jawaban dari tatapan mata gadis itu.

Sita terkejut, tapi tetap tenang. Dia memalingkan wajah, menatap langit senja yang mulai berubah warna. “Dimas, aku nggak pernah menyangka kamu akan bilang ini,” katanya pelan.

“Aku juga nggak pernah menyangka perasaanku bisa sebesar ini. Tapi, setiap kali kita bersama, aku selalu merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar teman.” Dimas memberanikan diri melanjutkan.

Sita tersenyum lembut. “Aku senang mendengarnya, Dimas. Tapi...”

Kata "tapi" itu menggantung di udara, membuat Dimas merasa sedikit gelisah.

“Aku juga punya perasaan yang sama, tapi sekarang bukan waktu yang tepat,” lanjut Sita dengan nada lembut.

“Kenapa?” Dimas bertanya, menahan kegundahannya.

“Aku harus fokus pada kuliahku dulu. Ada banyak hal yang harus kupersiapkan untuk masa depanku. Aku nggak ingin hubungan kita nantinya malah jadi beban buat kita berdua.”

Dimas terdiam, memahami kekhawatiran Sita. Meskipun hatinya ingin lebih, dia tahu bahwa perasaan tidak selalu harus dipaksakan. Terkadang, menunggu adalah bagian dari perjalanan cinta itu sendiri.

“Aku ngerti, Sita,” kata Dimas, mencoba tersenyum walaupun hatinya sedikit berat.

Sita menatapnya dengan lembut. “Aku nggak ingin kita kehilangan persahabatan yang kita punya sekarang. Kamu adalah orang yang penting buatku, Dimas.”

Senja semakin meredup, tetapi bagi Dimas, momen itu akan selalu bersinar di ingatannya. Meski cinta mereka tak terucap sepenuhnya, harapan untuk suatu saat nanti selalu ada.

Waktu berlalu. Sita dan Dimas tetap dekat, meski hubungan mereka masih terjaga dalam batasan persahabatan. Mereka saling mendukung dalam kuliah, menghabiskan waktu bersama untuk belajar, bercanda, dan berbagi mimpi. Tapi dalam hati, Dimas tak pernah berhenti berharap suatu hari akan tiba waktu yang tepat bagi mereka.

Hingga suatu hari, setelah kelulusan, Dimas menerima pesan dari Sita.

"Dimas, bisakah kita bertemu di taman kampus nanti sore?"

Mata Dimas berbinar membaca pesan itu. Ada getar halus di hatinya, seolah hari itu akan membawa perubahan yang sudah lama ia nantikan.

Sore itu, Dimas duduk di bangku yang sama di mana mereka dulu berbicara tentang perasaan. Senja kembali menyelimuti langit, seperti saat mereka pertama kali mengungkapkan isi hati.

Sita datang, tersenyum dengan wajah yang sama—tenang dan meneduhkan. Dia duduk di samping Dimas, dan sejenak, mereka terdiam menikmati suasana.

"Dimas," kata Sita akhirnya. "Ingat waktu dulu aku bilang aku belum siap?"

Dimas mengangguk. "Tentu."

Sita menghela napas, kemudian menatap Dimas dengan tatapan hangat. "Aku sekarang sudah siap. Aku sadar selama ini, perasaan kita saling menunggu. Dan aku ingin kita bisa melangkah bersama, tanpa ada yang menunda lagi."

Hati Dimas berdegup kencang. Kata-kata itu adalah yang selama ini dia impikan. Dia menatap Sita, senyumnya mengembang, dan tanpa ragu, dia meraih tangan Sita.

“Terima kasih sudah menungguku, Dimas. Aku tahu ini tidak mudah.”

Dimas menggeleng. “Menunggu kamu selalu sepadan, Sita. Dan aku akan selalu siap melangkah bersamamu.”

Di bawah langit senja yang indah, mereka akhirnya menyatukan hati yang telah lama merindu. Cinta mereka akhirnya menemukan waktunya untuk berkembang, tidak lagi ditunda oleh kekhawatiran atau keraguan. Hari itu, di tempat di mana semuanya dimulai, mereka memulai perjalanan baru—bukan sebagai teman, tetapi sebagai pasangan yang siap menghadapi masa depan bersama.

Dan di tengah hiruk-pikuk kampus yang kini telah sepi, hanya ada mereka berdua yang tersenyum bahagia, dalam ruang yang kini tak lagi tanpa suara.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)