Masukan nama pengguna
PAK BOS menelepon. Bizi mengangkatnya dengan riang.
"Bizi, kamu di mana? Bisakah ke kantor sekarang?"
Bizi melirik jam. 20:00 WIB. Ia baru saja sampai di rumah, belum sempat mandi, belum sempat makan - bahkan belum sempat ganti pakaian. Ia baru sempat merebahkan diri di tempat tidur kos setelah hampir dua jam berdesak-desakkan di dalam kereta.
Namun, tentu saja Bizi tak akan menolak panggilan dari Pak Bos. "Baik, Pak. Saya ke kantor sekarang." Dan ia pun bergegas memesan ojek daring menuju stasiun.
Ia sampai di kantor setengah jam setelah ia mendapat telepon dari Pak Bos. Ya, jam-jam segitu, kereta ke arah kawasan perkantoran biasanya sepi. Jadi, ia tak perlu mengantre sama sekali.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Bizi sembari tersenyum.
"Ini tolong laporannya kamu bereskan, ya. Besok ada audit. Saya tadi lupa kasih tahu sebelum kamu pulang."
"Baik, Pak."
SEJAK saat itu, Pak Bos makin sering menelepon Bizi, tak peduli jam berapa pun, apakah hari libur atau saat Bizi sedang cuti sekalipun. Dan, sebagai karyawan yang baik, yang mengerti akan susahnya mendapatkan pekerjaan, Bizi selalu mengangkat telepon dari Pak Bos dengan senyum terkembang.
"Bizi, kamu di mana? Bisa ke kantor sekarang?"
"Ya, Pak. Saya segera ke sana."
Begitu terjadi setiap hari, tak kenal waktu. Hingga, sebagaimana manusia biasa, suatu hari, Bizi merasa sangat bosan mendapat telepon terus-menerus dari Pak Bos. Ia pun mengambil sebuah keputusan penting dalam hidupnya.
"Bizi, kamu di mana? Bisa ke kantor sekarang?"
Bizi melirik jam. 23:45 WIB. Bizi tak menjawab.
Ia bergegas ke ruangan Pak Bos. "Ya, Pak?"
"Bizi, kamu belum pulang? Kok cepat sekali kamu sampai di kantor?" Pak Bos tampak kaget.
Bizi tersenyum. "Saya sudah memutuskan, demi kelancaran urusan perusahaan, mulai hari ini saya akan tinggal di kantor saja."
Pak Bos tersenyum bangga. "Kamu karyawan terbaik yang pernah dimiliki perusahaan ini, Bizi." ***