Masukan nama pengguna
Nenek Iyem terus termenung di dalam kamarnya. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Hanya dia saja yang mengetahuinya. Sejak anak laki-lakinya membawanya ke Jakarta, ia tak pernah tersenyum lagi.
Sudah beberapa hari sejak tinggal di Jakarta, Nenek Iyem tak pernah keluar rumah untuk menikmati keindahan kota. Ia hanya berdiam diri di kamar sambil terus termenung. Pandangannya yang kosong menimbulkan kekhawatiran dalam diri Darto. Anak laki-lakinya yang juga merupakan anak satu-satunya tersebut.
Sudah sekian kali Rafa, anak Darto yang masih berusia tujuh belas tahun mengajak nenek Iyem keluar rumah untuk mendapatkan udara segar. Namun Nenek Iyem terus menolaknya. Beberapa kali pula Darto mengajaknya ke taman agar ia dapat menikmati keindahannya. Dan senyumannya juga akan kembali. Tapi Nenek Iyem tetap menolaknya. Ia merasa lebih nyaman di dalam kamar daripada berada di luar rumah. Ia dapat merasakan kenyamanan di dalam kamar. Sementara itu, di luar rumah hanya membuatnya merasa kesal.
“Nek, kenapa Nenek selalu bersedih?Sebenarnya apa yang nenek inginkan?Katakan saja pada ayah! Ayah pasti akan mengabulkan apapun keinginan Nenek,” tanya Rafa.
Nenek Iyem menolehkan wajahnya pada Rafa kemudian menjawab, “Benarkah ayahmu mau mengabulkan apapun keinginan Nenek? Tapi kenapa ayahmu tidak mau mengerti juga. Bahwa sejak dulu Nenek memang tidak mau pindah ke kota. Nenek tidak suka hidup di kota.”
“Tapi kenapa seperti itu, Nek? Kenapa Nenek tidak mau tinggal di kota yang penuh dengan kemewahan ini?”
“Pokoknya nenek tidak mau tinggal di kota! Nenek hanya mau tinggal di desa seperti dulu saat kakekmu masih hidup!”
Rafa hanya terdiam mendengar pernyataan sang nenek. Memang tidak ada yang pernah tahu apa alasan Nenek Iyem tidak mau hidup di kota. Padahal, bagi sebagian besar orang, hidup di kota adalah impian. Bisa mendapatkan semua fasilitas hidup dengan mudah adalah keinginan terbesar setiap orang. Namun hal itu berbeda dengan nenek Iyem yang bersikeras untuk tidak tinggal di kota.
Darto adalah seorang pengusaha yang sangat sibuk. Rumahnya menjadi sepi semenjak istrinya meninggal dua tahun yang lalu. Dan ketika sang ayah juga meninggal beberapa minggu yang lalu, ia berpikir untuk membawa ibunya ke Jakarta agar bisa menjadi teman bagi Rafa. Juga agar ia bisa merawat sang ibu dengan mudah. Ia tidak perlu memikirkan waktu untuk bolak-balik ke desa untuk menjenguk sang ibu.
Sikap Nenek Iyem yang tidak mau tinggal di kota membuat Darto harus mencari cara agar ia bisa membuat ibunya itu bisa beradaptasi hidup di kota. Sehingga nantinya sang ibu bisa betah hidup di kota dan tak memikirkan untuk kembali ke desa lagi. Tiga hari yang lalu, dia menawarkan rumah sang ibu yang berada di desa untuk dijual. Namun sampai saat ini belum ada yang membelinya.
Nenek Iyem telah beberapa kali memarahi Darto karena sikapnya yang telah dengan lancang ingin menjual rumahnya yang telah lama menjadi tempat tinggalnya. Tapi Darto terus mengutarakan segala alasan untuk membela dirinya. Kini Nenek Iyem hanya bisa pasrah. Sepanjang malam ia berdo’a agar rumahnya tidak ada yang membeli.
Rumah sederhana yang nampak seperti gubuk itu menjadi kenangan bagi Nenek Iyem dan suaminya. Nenek Iyem hanya memiliki satu anak. Dan sejak Darto pergi merantau ke kota untuk mencari pekerjaan, ia hanya menghabiskan hari-harinya bersama suaminya. Rumah itu menjadi kenangan tersendiri bagi mereka.
Suatu hari nasib malang menimpa Nenek Iyem. Suaminya yang menjadi teman hidupnya harus meninggalkannya karena panggilan Tuhan. Penyakit tua telah mengalahkan tubuh suaminya. Ia pun harus hidup seorang diri. Menjalani kehidupan tanpa suaminya membuat hari-harinya menjadi sangat hampa.
“Bu, sekarang bapak sudah pergi. Dan aku tidak mau hidup seorang diri di sini. Maka dari itu, aku ingin membawa Ibu ke kota. Kita akan hidup bersama. Rafa pasti akan sangat senang karena ada Ibu di rumah. Dia juga bisa melupakan kesedihannya karena kematian ibunya dua tahun yang lalu.” Kenang Darto saat ia duduk di depan jenazah sang ayah.
“Tidak. Ibu tidak mau kemana-mana. Ibu hanya ingin tinggal di sini. Ibu sudah merasa nyaman di sini,” tegas Nenek Iyem.
“Tapi Ibu akan di sini sendirian.”
“Biarkan saja Ibu tinggal di sini sendirian. Pokoknya Ibu tidak mau tinggal di kota!” tegas Nenek Iyem sekali lagi.
Sikap keras kepala Nenek Iyem yang tidak mau hidup di kota membuat Darto harus segera menjual rumah yang ada di desa. Darto berpikir jika rumah itu sudah dijual, maka sang ibu akan melupakan desa yang pernah menjadi tempat tinggalnya. Ia berusaha keras untuk menjual rumah Nenek Iyem. Tapi kondisi rumah yang buruk dan berada di desa terpencil membuat banyak orang tak mau membelinya. Bahkan untuk melirik rumah tersebut pun tiada yang sudi.
Darto tak ingin patah semangat. Ia terus berusaha mencari pembeli untuk rumah sang ibu. Bahkan ia juga ingin menjual sepetak sawah yang biasa digunakan oleh orang tuanya untuk mencari nafkah agar sang ibu akan lebih mudah melupakan desa. Namun apapun yang diusahakannya itu terus menemui kegagalan.
“Sudahlah Darto, hentikan semua usahamu itu! Walaupun rumah itu sangat kecil dan buruk, tapi Ibu sudah merasa nyaman tinggal di rumah itu. Lagipula sawah itu yang membuatmu bisa sampai menjadi pengusaha sukses seperti ini. Ibu dan bapak membiayai sekolahmu dari penghasilan sawah itu,” tutur Nenek Iyem.
“Tapi aku harus melakukannya, Bu. Ibu tidak boleh tinggal di rumah sendirian. Ibu harus tinggal bersama kami di sini. Di kota Jakarta ini,” bantah Darto.
“Tapi Ibu tidak mau tinggal di kota! Ibu mau tinggal di desa tempat kelahiran ibu!” tegas Nenek Iyem yang langsung pergi ke kamarnya.
Nenek terus termenung tiada henti. Kesedihannya semakin bertambah setelah mendengar bahwa putranya tidak ingin menggagalkan niatnya untuk menjual rumahnya. Ia terus mengurung dirinya di dalam kamar. Ia mengunci pintu kamarnya sehingga tidak ada yang dapat mengganggu dirinya.
Sikap Nenek Iyem yang terus mengurung diri di dalam kamar membuat ia lupa untuk memperhatikan kesehatannya sendiri. Ia pun lupa untuk makan. Hal ini membuat Darto merasa sangat khawatir. Ia takut akan terjadi sesuatu hal yang buruk akibat sikap ibunya tersebut. Darto mencoba untuk membujuk sang ibu untuk keluar dari kamar. Tapi Nenek Iyem tak pernah menghiraukannya.
Esok harinya, Darto berhasil membuka kamar Nenek Iyem dengan mendobraknya. Setelah berhasil menemui Nenek Iyem, ia mengajak sang ibu untuk pergi mencari udara segar di luar. Setelah beberapa kali membujuk sang ibu, akhirnya ia dapat membawa ibunya itu keluar rumah.
Nenek Iyem terus bertanya dalam perjalanan mengapa Darto terus menjalankan mobilnya dan tak segera menghentikannya. Darto tak ingin menjawabnya. Ia terus fokus mengendarai mobilnya. Dan setelah lama berjalan, akhirnya ia menghentikan mobilnya juga.
“Kamu mengajak Ibu ke rumah ini?Bukannya kamu tidak mau menginjakkan kakimu di rumah ini lagi? Apa kamu mau agar Ibu tinggal di sini sebentar dan kamu akan menjual rumah ini? Iya, kan?” tanya Nenek Iyem setelah tiba di depan sebuah rumah yang ternyata adalah rumahnya yang berada di desa.
Darto tersenyum kemudian menjawab, “Tidak, Bu. Aku tidak mau bersikeras untuk menjual rumah ini lagi. Ibu boleh tinggal di sini selama-lamanya. Aku akan berusaha untuk datang menjenguk Ibu jika aku mempunyai waktu luang.”
“Benarkah? Kamu tidak berbohong?” tanya Nenek Iyem meyakinkan.
Darto menganggukkan kepalanya. Nenek Iyem tersenyum bahagia. Kemudian ia menjawab, “Ibu sangat senang mendengar bahwa kamu tidak jadi menjual rumah ibu ini. Ibu akan hidup dengan tenang seperti dulu. Ibu tidak akan mendengar kebisingan yang selalu mengganggu telinga ibu.”
Rupanya Darto dan Rafa sudah mengerti mengapa Nenek Iyem tidak mau tinggal di kota. Darto mulai belajar menghargai pendapat sang ibu. Ia menyadari benar bahwa semua orang pasti mempunyai pendapat yang berbeda untuk kehidupan mereka. Mereka mengetahui apa yang terbaik untuk dirinya dan kehidupannya.