Cerpen
Disukai
1
Dilihat
717
Kenapa Tidak Boleh?
Self Improvement

Hari minggu yang ditunggu-tunggu. Aldo mengambil bola untuk pergi bermain bersama teman-temannya. Ronal pun tak ingin ketinggalan. Ia yang sangat ingin bermain basket di lapangan telah siap dengan bola yang di tangan. Keduanya mencium tangan sang ibu yang baru saja membereskan piring-piring di meja. Tak lupa mereka menghampiri sang ayah yang tengah membaca koran di ruang tamu. Dengan tertib mereka bergantiam mencium tangan ayah mereka tersebut.

“Tiiit! Tiiit” suara klakson mobil tiba-tiba mengejutkan Ronal dan Aldo yang baru saja selesai mencium tangan sang ayah. Farid sudah dapat menebak siapa yang datang. Maka ia segera menutup koran di tangannya kemudian berlari keluar. Sementara Ronal dan Aldo yang tak mengerti siapa yang datang saling menatap satu sama lain. Untuk mengobati rasa penasaran mereka, keduanya memutuskan untuk mengikuti ayah mereka ke luar.

Seorang pria memberikan selembar kertas pada Farid untuk ditandatangani. Farid pun langsung menandatangani kertas tersebut tanpa perlu mempertimbangkannya lagi. Sementara itu, Aldo dan Ronal terpana melihat sebuah motor berwarna merah mengkilap yang diletakkan dia atas truk di belakang pria tersebut.

Begitu motor itu diturunkan dari truk, Ronal langsung berlari mendekatinya. Ronal mengelus-elus motor itu dengan tangannya. Ia bahkan menciumnya. Sudah lama ia menantikan motor itu. Sekarang ia bisa memilikinya.

Sementara itu, Aldo masih ternganga melihat motor yang memang ditujukan untuk kakaknyavitu. Ia pun bertanya pada sang ayah, “Ayah, kenapa kakak boleh memiliki motor? Aku juga ingin punya motor.”

Farid tersenyum lalu menjawab, “Ya. Tentu boleh. Kan usia kakak sudah tujuh belas tahun. Nanti kalau Aldo sudah berusia tujuh belas tahun, pasti Ayah belikan juga.”

“Tapi semua temanku sudah bisa naik motor, Ayah. Tinggal aku saja yang belum,” protes Aldo.

“Tapi motor itu berbahaya kalau digunakan oleh orang yang belum cukup usia,” tutur Farid.

Setelah mendapatkan motor baru, Ronal langsung menggunakannya untuk berkeliling kota. Ia juga memamerkannya pada teman-temannya yang kebanyakan sudah memilikinya juga. Sedangkan Aldo hanya bisa menyaksikannya sambil terus menyimpan rasa iri di dalam hatinya.

Setiap sore, Aldo diajak berjalan-jalan oleh kakaknya menggunakan sepeda motor baru. Selama di perjalanan, ia memperhatikan bagaimana kakaknya itu bisa mengendarai motor. Ia memperhatikan dengan saksama dan berusaha menghafalkan setiap langkahnya.

Aldo sering diejek oleh teman-teman bermainnya karena menjadi satu-satunya anak tidak bisa mengendarai motor. Salah seorang temannya berkata, “Hanya kamu yang belum bisa naik motor, Aldo. Semuanya sudah bisa naik motor. Nanti kalau sudah SMP, kita bisa berangkat sendiri. Tidak perlu diantar orang tua lagi.”

“Nanti aku juga bisa naik motor,” jawab Aldo dengan kesal.

“Tapi kapan? Orang tuamu saja melarangmu. Nanti kalau sudah SMP, tinggal kamu saja yang masih diantar orang tua,” lanjut teman Aldo.

“Diam kamu!” kata Aldo dengan sangat marah.

Aldo sungguh merasa kesal dengan teman-temannya yang tak pernah puas menghina dirinya. Hatinya juga merasa kecewa dengan sikap sang ayah yang tak mau membelikan dirinya sepeda motor. Ia juga tak mengerti mengapa sang ayah tak mau membelikannya sepeda motor. Jika karena usianya yang belum cukup, ia tak bisa percaya. Sebab semua teman satu kelasnya sudah memiliki sepeda motor. Mereka tak pernah dilarang untuk menggunakannya dengan alasan usia yang belum cukup.

Karena rasa kesalnya itu, Aldo kembali meminta kepada ayahnya agar dibelikan sepeda motor seperti kakaknya. Tapi ayahnya kembali melarangnya dan menasihatinya tentang bahaya mengendarai motor saat usianya masih belum pantas. Aldo yang tak ingin menyerah terus membujuk ayahnya agar mau membelikan sepeda motor untuknya. Namun mau berkata apapun juga ayah enggan untuk menuruti keinginannya tersebut.

“Ayolah Ayah! Belikan Aldo motor. Kakak dibelikan. Kenapa aku tidak?” pinta Aldo.

Farid menarik napas sejenak lalu menjawab, “Kan Ayah sudah bilang kalau usia Aldo belum cukup untuk mengendarai motor. Aldo tunggu saja sebentar! Kan hanya tinggal lima tahun lagi Aldo bisa memiliki motor seperti kakak.”

“Tapi semua temanku sudah bisa naik motor. Dan orang tua mereka tidak melarang.”

Sikap Aldo yang terus bersikeras untuk meminta dibelikan sepeda motor membuat Farid harus membalasnya dengan sikap yang tegas. Maka ia pun berkata, “Tidak! Sekali tidak, ya tidak!”

Farid memalingkan wajahnya dari Aldo lalu kembali mengambil koran dan membacanya. Sikap sang ayah yang acuh kepadanya membuat Aldo bertambah kecewa. Namun ia tetap tak ingin menyerah. Ia datangi ibunya untuk meminta bantuan agar ibunya tersebut turut membujuk ayahnya. Namun saat ia meminta bantuan pada ibunya, snag ibu dengan tegas menolaknya dan malah turut melarangnya untuk menggunakan sepeda motor.

Hati Aldo bertambah kesal. Tapi ia tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Hingga suatu sore, ia melihat Ronal yang sangat sibuk belajar dan motornya hanya dibiarkan saja di tempat parkir. Maka seketika itu, ia langsung mempunyai sebuah ide.

Tanpa sepengetahuan Ronal, Aldo mengambil sepeda motor kakaknya itu dan membawanya keluar dengan sangat hati-hati Setelah tiba di luar rumah, ia langsung menaikinya dan menyalakannya.

Aldo mencoba mengingat-ingat kembali bagaimana kakaknya mengendarai sepeda motor. Maka setelah ingat dengan benar, ia pun segera menjalankannya. Motor berjalan dengan begitu kencangnya. Awalnya Aldo merasa senang karena bisa menaiki motor. Dan ketika ia menjumpai beberapa temannya di lapangan, ia melambaikan tangannya. Memamerkan bahwa dirinya sudah bisa naik motor.

“Waaah ... Hebat sekali Si Aldo sudah bisa naik motor dalam waktu yang begitu cepat,” ujar salah seorang temannya.

“Iya. Kenapa bisa begitu, ya?” sambung teman lainnya.

Aldo mengarahkan sepeda motornya ke jalan raya. Namun tiba-tiba, ia tidak bisa mengendalikan kecepatan motornya itu. Sepeda motornya itu berjalan sangat kencang dan semakin kencang. Lama-kelamaan sepeda motornya itu keluar dari jalan raya dan menabrak sebuah pohon besar. Aldo pun terjatuh. Salah satu kakinya tertindih motor.

Untunglah, Ronal menyadari kalau sepeda motornya sedang tidak ada di rumah. Ia pun mengadukannya pada kedua orang tuanya untuk membantu mencarinya. Setelah cukup lama mencari, akhirnya mereka pun menjumpai Aldo yang terjatuh bersama sepeda motor tersebut.

Ronal dan kedua orang tuanya mendapati Aldo menangis sambil menjerit minta tolong. Ia dan kedua orang tuanya pun segera membawanya ke rumah sakit. Kaki Aldo yang tertindih motor mengalami luka parah dan harus diperban. Ia pun harus menggunakan tongkat untuk membantunya berjalan sampai kakinya itu benar-benar sembuh.

“Makanya, kalau dinasihati orang tua menurut! Jangan seenaknya sendiri! Sekarang rasakan akibatnya! Motorku juga rusak karenamu,” ucap Ronal dengan sedikit marah.

“Maaf, Kak. Aldo hanya ingin mencobanya,” ucap Aldo dengan kepala yang tertunduk.

Ronal memalingkan wajahnya dari Aldo. Ekspresi yang ditunjukkan wajahnya seolah menggambarkan bahwa dirinya tak ingin memaafkan kesalahan yang diperbuat oleh adiknya. Melihat sikap Ronal yang demikian, Aldo mengalihkan perhatiannya pada kedua orang tuanya yang berdiri di samping kirinya. Tetes demi tetes air mata mulai jatuh dan membasahi pipinya. Dengan air matanya itu ia berkata pada kedua orang tuanya, “Maaf, Ayah, Ibu. Aldo janji tidak akan mengulanginya lagi.”

“Iya, tidak apa-apa. Ayah maafkan. Tapi jangan diingkari janjinya, ya!” jawab Farid dengan menggoreskan sedikit senyuman di wajahnya.

“Baik, Ayah.”



Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)