Masukan nama pengguna
KALIAN bertemu sore itu di sebuah kafe kecil tak jauh dari toko pakaian milikmu. Sebuah pertemuan yang sudah lama kalian rencanakan, dan baru bisa terlaksana. Kebahagiaan jelas terpancar dari kedua wajah kalian.
Lalu, setelah haha-hihi dan mengobrol a-i-u-e-o, temanmu mulai bercerita tentang kehidupan rumah tangganya. Bahwa ia tak sebahagia dan seberuntung dirimu. Bahwa suaminya yang dulu memperlakukannya dengan baik kini berubah menjadi sosok yang kasar dan tak jarang melakukan KDRT. "Ia dengan santai bisa saja melemparkan puntung rokoknya padaku!" Matanya berkaca-kaca.
Kau genggam tangannya, berusaha memberinya kekuatan.
"Kalau bukan karena anak-anak, sudah lama aku mengajukan cerai," ujarnya di sela isak tangis.
Kau memberikan bahumu, membiarkannya menangis di sana. Sampai ia merasa tenang. Sampai tangisnya mereda.
"Maaf, Gia. Tak seharusnya aku membawa-bawa masalah rumah tanggaku..." katanya kemudian.
"Tak apa. Aku senang bisa menjadi pendengar untukmu," balasmu sambil menyerahkan beberapa lembar tisu padanya.
"Eh, aku ke toilet dulu ya. Aduh, kok aku cengeng banget ya sekarang..." Tanpa menunggu jawaban darimu, ia langsung bergegas menuju toilet.
Duduk menunggu, kau rasakan bekas luka di punggungmu mulai nyeri. Seharusnya luka di sana sudah mengering, kalau saja tangkai sapu yang dilayangkan suamimu tadi malam tidak mendarat di sana dan kembali membuatnya berdarah. **