Masukan nama pengguna
SAYA menyukai aroma hujan, tapi tidak kali ini. Saya menyukai harum tanah basah yang menguar bersama titik-titik hujan, tapi tidak bau tanah bercampur wangi bunga entah apa yang merebak dari segala penjuru seperti sekarang.
Petang lengang. Saya dalam perjalanan pulang dari kantor dinas di kecamatan, mengendarai sepeda motor tua yang kecepatannya sudah tak bisa lagi diandalkan.
Langit cerah saja sejak pagi, tapi begitu melewati deret pertama pepohonan di kawasan hutan sebelum mencapai kampung tempat saya mengajar sejak seminggu belakangan, hujan tiba-tiba turun dengan sangat lebat.
Saya segera melihat kiri-kanan, mencari rindang pohon, pondok petani, atau apa saja yang bisa saya jadikan tempat untuk berteduh. Tas kain yang saya bawa jelas tak akan mampu menahan rembesan air hujan yang mengalir kencang. Sementara di dalamnya, ada beberapa dokumen penting terkait penugasan saya di desa ini, yang tentu harus saya lindungi biar tidak basah.
Di saat kepanikan mulai menyerang, saya melihat sebuah pondok kecil di depan sana, berdiri persis di antara dua pohon randu yang menjulang. Saya memilin gas sepeda motor agar sesegera mungkin sampai di sana.
Begitu memarkir motor, saya baru sadar bahwa sedari tadi ada seorang laki-laki yang duduk di ujung bangku kayu di depan pondok tersebut. Saya menganggukkan kepala, sebagai isyarat minta izin berteduh, dan ia membalas dengan tersenyum ramah.
Namun, baru saja saya duduk dan belum sempat sama sekali membuka percakapan dengan laki-laki itu, hujan tiba-tiba berhenti. Awan hitam yang tadi menyungkup langit kini berganti warna jingga yang begitu terang.
Hujan yang aneh, pikir saya, sambil mengecek tas dan memastikan semua dokumen yang saya bawa baik-baik saja.
"Eh, bapak mau ke mana?" Akhirnya kalimat tanya itu yang menjadi pembuka percakapan kami, sementara saya masih mengibas-ngibaskan ujung baju yang basah.
Tak ada jawaban, saya menoleh ke arah laki-laki tadi. Ia sudah tak ada lagi di sana. Loh, bukannya beberapa detik yang lalu ia masih duduk di ujung bangku itu?
Penasaran, saya berjalan ke belakang pondok. Bisa jadi laki-laki tadi sedang kencing atau apa. Tentu tak sopan jika saya pergi begitu saja tanpa berpamitan padanya. Atau siapa tahu ia juga sedang dalam perjalanan menuju kampung, jadi saya bisa memberinya tumpangan.
Namun, begitu melonggokkan kepala ke sisi belakang pondok, saya melihat seekor harimau tengah minum air hujan yang menggenang di cekungan tanah di sana.
Saya tercekat dan semua persendian terasa lunglai.
Ternyata benar cerita yang saya dengar selama ini tentang kampung ini!
Jika pun saya berhasil menghidupkan mesin motor, saya tentu tak akan bisa kabur dari makhluk jadi-jadian itu! *