Cerpen
Disukai
0
Dilihat
7,479
Hari ketika Monda Jatuh Cinta
Romantis

Pada hari ketika ia disapa cinta, Monda mendapati sebuah jerawat tumbuh di bawah bibirnya. Monda jadi tak percaya diri dengan jerawat – yang entah kenapa terasa membesar begitu cepat itu. Rasanya tadi baru bintik merah kecil, tapi kini ia sudah menjelma sebuah gundukan runcing-besar-tegang-merah, yang ketika berdenyut menimbulkan rasa perih yang cukup menyiksa.

Monda mengutuk jerawat itu. Kenapa kau harus muncul sekarang, jerawat yang tak pengertian?! Apakah kau tak tahu betapa kehadiranmu sangat mengganggu penampilanku? Kalau jerawat itu tumbuh di hari yang lain tentu bukan masalah bagi Monda. Tapi, ia tumbuh di saat yang sangat tidak tepat!

Pagi tadi, secara tak sengaja, ia berpapasan dengan Jimmy Malindo, murid kelas dua yang sudah lama ia kagumi. Bukan ia saja sebenarnya yang mengagumi Jimmy Malindo, tapi hampir keseluruhan murid perempuan di kelasnya. Jimmy Malindo adalah bintang di sekolah Monda. Dan, pagi tadi, Jimmy Malindo, tanpa ia duga sama sekali, tersenyum sambil mengucapkan selamat pagi pada Monda. Bagaimana mungkin Monda bisa melupakan kejadian itu?

Monda masih ingat bagaimana persisnya kejadian menegangkan di pagi itu – kejadian yang pastinya akan selalu diingat Monda selama hidupnya, atau setidaknya akan tetap bertahan di ingatannya sebagai sebuah kenangan paling manis. Jimmy berjalan sedikit tergesa ke arah kelasnya yang terletak persis di sebelah kelas Monda. Monda dan Serly sedang menempelkan puisi di mading ketika tiba-tiba bintang sekolah itu lewat dan mengucapkan selamat pagi. Monda gugup bukan main begitu menyadari bahwa yang disapa Jimmy adalah dirinya, sementara Serly seolah menyesal kenapa ia tak sempat menoleh ketika Jimmy lewat.

Hanya sekian detik kejadian itu berlangsung. Tapi Monda merasakan efek yang sangat luar biasa pada dirinya. Semua simpul bahagia di tubuhnya seolah bekerja dengan aktif sepagi itu, sehingga tak semenitpun ia lewatkan tanpa senyuman. Setiap sel di dalam tubuhnya seakan bahu-membahu menciptakan suasana hati yang begitu tenang bagi gadis itu. Kecuali Serly yang menjadi saksi mata kejadian pagi itu, teman-teman sekelas semuanya heran melihat kegirangan berlebihan yang ditunjukkan Monda di kelas. Bahkan, selama pelajaran Sejarah dengan Bu Lisa yang biasanya menjadi waktu paling membosankan bagi semua murid, Monda malah bersikap sangat manis dan tampak sangat bersemangat sekali.

Ketika bel istirahat berbunyi, alih-alih kabur ke kantin bersama Serly untuk memesan bakso ikan favoritnya, yang tak pernah ia lewatkan pada hari-hari sebelumnya, Monda memilih untuk tetap berada di kelas. Begitu kelas kosong sepeninggal teman-temannya, Monda dengan sangat hati-hati mengambil kotak bedak yang biasanya hanya ia pakai seusai pelajaran olahraga. Ia bermaksud memoles selapis tipis bedak lagi ke pipinya agar penampilan terlihat lebih segar di mata Jimmy, yang rencananya akan ia tunggu di depan kelas begitu bel tanda masuk berbunyi. Namun, saat itulah ia melihat kehadiran jerawat itu di bawah bibirnya!

Monda mendekatkan cermin di kotak bedak itu ke wajahnya, berharap dengan begitu ia bisa menemukan solusi yang tepat untuk menangani masalah serius itu secepat mungkin. Ya, secepat mungkin! Sehingga ia bisa keluar dan menunggu Jimmy lewat di samping kelasnya. Ia mungkin hanya perlu sedikit berpura-pura membaca puisi atau artikel yang dipajang di mading, sehingga tidak kentara sekali bahwa ia sedang menunggu kehadiran bintang sekolah itu. Monda akan bersikap senatural mungkin, tanpa menimbulkan kecurigaan sedikit pun. Dan, begitu Jimmy lewat, ia akan pura-pura sedikit menoleh ke lapangan basket. Dan, Jimmy akan kembali menyapanya. Itu sudah lebih dari cukup baginya!

Namun, bagaimana mungkin rencana itu bisa terlaksana kalau jerawat merah itu masih bertengger dengan perkasa di bawah bibirnya! Mungkin karena tadi Monda menekan-nekan jerawat itu, kini ia tampak merah menggelembung. Dagunya pun ikut memerah seperti kulit yang terjangkit ruam.

Mungkin jerawat itu sudah ada sejak kemarin atau kemarinnya lagi. Hanya saja mungkin Monda tak terlalu memperhatikan keberadaan benda menyebalkan itu. Dan kini, di saat ia menjadi begitu memperhatikan setiap detail penampilannya – terutama bagian wajah, tentunya – Monda mendapati jerawat itu tumbuh dalam hitungan detik, saking cepatnya.

Monda kembali mengutuk jerawatnya itu. Kenapa kau harus tumbuh di bawah bibirku, jerawat tak punya hati nurani?! Ya, kenapa harus di bawah bibir? Kalau jerawat itu tumbuh di dekat telinga, atau di kening, atau di sudut matanya, atau di pelipisnya, tentu Monda masih bisa menyembunyikannya dengan, misalnya, menguraikan rambutnya di bagian tersebut. Tapi bagaimana mungkin ia menutup jerawat yang tumbuh di bawah bibirnya itu dengan rambutnya? Seingat Monda, belum pernah ada model rambut yang menutupi bibir selain di film-film horor. Dan Monda tentu tak ingin dianggap sebagai gadis berpenampilan nyentrik oleh Jimmy kalau ia nekat menguraikan sebagian rambutnya di sekitar bibir.

Dengan penampilannya kini, Monda merasa sangat tidak percaya diri. Apalagi jika ia nanti bertemu dengan Jimmy.

Sebenarnya Monda sendiri heran dengan perubahan yang terjadi pada dirinya hari ini. Bukankah ia tipe gadis yang tidak mau mengandalkan penampilan fisik semata? Bukankah selama ini dalam puisi dan artikel yang ia tulis di mading ia selalu menekankan bahwa inner beauty jauh lebih penting daripada kecantikan luar? Bukankah itu yang sering ia katakan pada Serly dan teman-temannya yang lain?

Dan, bukankah itu pula yang menjadi alasan kenapa ia ikut-ikutan mengidolakan Jimmy Malindo? Tak seperti kebanyakan teman-temannya yang hanya menilai Jimmy dari wajah dan fisiknya yang oke, Monda mengagumi Jimmy lebih karena seniornya itu juga merupakan juara kelas dan aktif di organisasi sekolah. Selain itu, Monda juga mendengar bahwa Jimmy ikut menjadi pengajar sukarela bagi anak-anak jalanan dan penyandang cacat.

Lalu, kenapa ia bisa berubah secepat ini?

“Cowok bodoh mana yang mau jatuh cinta pada cewek yang memelihara jerawat?” Kalimat bernada keras itu pernah ia dengar keluar dari bibir Alisa, sepupunya yang sudah kuliah, yang kebetulan kerja paruh waktu sebagai sales promotion girl sebuah produk kecantikan. Meski Alisa mengatakan hal itu dalam konteks ia mempromosikan produk yang ia jual, namun dalam beberapa hal, Monda merasa kata-kata sepupunya itu ada benarnya juga. Ia tiba-tiba merasa menyesal kenapa dulu ia tak mau menuruti anjuran Alisa untuk mulai memakai produk anti jerawat yang dijual sepupunya itu.

Monda kembali menatap wajahnya di cermin. Ia terlihat cantik, dan andai saja jerawat itu tak tumbuh di bawah bibirnya, tentu ia akan tampil sempurna. Ah, jerawat yang tak punya budi pekerti! Apa yang harus aku lakukan?

Monda merapatkan kedua ujung jempolnya ke jerawat yang berdenyut-denyut itu. Ia tekan bagian bawah jerawat itu sedikit keras. Ia meringis kesakitan. Ia mengambil cermin, lalu kembali melihat wajahnya. Bagian bawah bibirnya terlihat kian memerah. Kontras sekali dengan pipinya yang tadi ia poles dengan bedak putih.

Gadis itu kembali berniat memencet-pecah jerawatnya ketika tiba-tiba saja bel tanda masuk berbunyi. Buru-buru ia menyimpan kotak bedak ke dalam tas, dan mengambil sebuah buku paket untuk menutupi jerawatnya yang sedang memerah sebahis operasi pencet-memencet yang tak selesai.

Seisi kelas kembali terheran-heran mendapati Monda yang selama pelajaran terakhir terlihat membenamkan diri membaca buku paket Kimia. Untung saja Bu Mini yang mengajarkan mata pelajaran tersebut sibuk menerangkan beberapa rumus rumit sehingga ia luput memperhatikan salah satu muridnya yang bernama Monda, yang tak bersuara sepatah kata pun selama pelajaran berlangsung. Sementara itu, Serly hanya bisa geleng-geleng kepala melihat sikap sohibnya.

Bel pulang akhirnya berbunyi. Serly masih belum berani bertanya pada Monda ketika mereka berjalan meninggalkan ruangan kelas, teman sebangkunya itu tak juga bersuara. Buku paket Kimia tadi masih setia di dekapan gadis itu.

“Hei, tunggu!” Tiba-tiba seseorang memanggil mereka dari arah belakang. Monda dan Serly refleks menoleh ke arah datangnya suara tersebut. Dug! Jantung Monda seolah mau meloncat keluar begitu ia menyadari bahwa orang yang memanggilnya itu tak lain adalah Jimmy! Ya Tuhan, kenapa kau kirim malaikat ganteng itu di saat yang sangat tidak tepat ini? Apakah dosaku sehingga kau menghukumku dengan siksaan perasaan tak percaya diri seperti ini?

Jimmy Malindo sekarang sudah ada di hadapan mereka. “Sorry kalau aku ganggu bentar. Kamu yang namanya Monda, kan?” Ia langsung saja bertanya, seolah tak memperhatikan Serly yang cengengesan saking senangnya.

Monda mengangguk. “Iya, kenapa, Kak?”

“Nama aku Serly!” Serly seolah tak mau kalah, langsung mengulurkan tangannya pada Jimmy. 

Jimmy terlihat salah tingkah. “Hai, aku Jimmy.” Ia melihat sekilas ke arah Serly, lalu kembali berbicara pada Monda. “Aku sering baca puisi dan artikel kamu di mading. Aku suka. Apalagi puisi kamu yang terbaru, yang berjudul Sebenarnya Cantik, Sebenarnya Indah. Maknanya dalam banget. Jarang-jarang lho ada anak SMA yang bisa menulis puisi sebagus dan sedalam itu. Biasanya kan hanya berbicara soal cinta dan penampilan luar. Malah, kadang, jerawat aja ditulis jadi puisi!”

‘Oya?” Monda tersipu, suaranya terdengar aneh.   

“Nah, aku sebenarnya mau minta izin ama kamu. Puisi itu rencananya mau dibacakan pas acara Pentas Seni Anak Bangsa yang akan kami adain minggu depan di Sekolah Bumi. Oya, itu nama sekolah yang murid-muridnya adalah anak-anak luar biasa, yang walaupun memiliki keterbatasan fisik dan ekonomi namun memiliki semangat menggapai cita-cita yang sangat besar. Kebetulan aku gabung jadi tim pengajar di sana," jelas Jimmy penuh semangat.

Monda tak tahu harus berkata apa. Puisi berjudul Sebenarnya Cantik, Sebenarnya Indah itu memang adalah karyanya. Tapi mendapat pujian dari Jimmy Malindo adalah hal yang tak pernah ia bayangkan ketika ia menulis puisi itu. Pesan yang ia siratkan dalam rangkaian kata-kata dalam puisi itu tak berbeda dengan puisi-puisi yang ia tulis sebelumnya, bahwa kecantikan yang sebenarnya itu terletak di dalam hati, bukan pada penampilan luar.

Melihat Monda yang hanya diam, Jimmy kembali bersuara. “Gimana, boleh gak puisi kamu dibacakan pas acara nanti itu?”

Serly menyikut Monda. Monda gelagapan. “Boleh. Tentu saja boleh.” Ia merasakan suaranya bergetar.

“Baik kalau gitu. Thanks banget.”

“Sama-sama, Kak,” jawab Monda.

Anyway, itu dagu kamu kenapa? Kok berdarah gitu?” tanya Jimmy sembari menempelkan telunjuk di dagunya sendiri.

“Iya, Mon! Kok dagu lu berdarah?” Serly ikut-ikutan kaget.

Monda hampir saja menjerit menyadari bahwa ia telah dari tadi menenteng buku paket Kimia yang tadi ia jadikan tameng untuk menutupi jerawatnya. “Eh, oh ini! Gak apa-apa kok!”

“Jangan dipencet jerawatnya. Ntar infeksi!” ujar Jimmy kemudian.

Begitu Jimmy pergi, Monda sadar betapa bodohnya ia hari itu. Ia mampu mengajak orang untuk percaya dan lebih mementingkan kecantikan hati daripada kecantikan fisik, namun ia justru tak mampu meyakinkan dirinya sendirinya akan hal tersebut.

Tiba-tiba saja ia ingin kembali membaca puisi itu. *** 


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)