Cerpen
Disukai
0
Dilihat
372
Hal Ini Bisa Saja Terjadi
Slice of Life
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Guruh menggemuruh. Beberapa pasang mata mendongak ke langit serta-merta membalas sapa kepada malam sebelum rintik hujan luruh. Berkawan desiran angin, hujan perlahan-lahan mengerapkan tetesannya di sekeliling angkringan. Puluhan pasang langkah berlarian mencari keteduhan dari jalan dan berkelebatan menghalangi nyala mata mata-kendaraan bersitatap dengan bola mata Yu Mi, si Mbah, juga Jan. Berbarengan dengan suara berceletuk: “hujan-hujan ...”, disahuti: “rezeki-rezeki ...”, ditimpali: “rezeki gundulmu! Bakulku teles kuabbeh (daganganku basah semua)”, dan ditutup suara tertawa-tawa. Mereka menertawakan anugerah yang nyatanya juga membawa anugerah lainnya selaras kegembiraan dalam canda.

Pun si Mbah, Yu Mi juga Jan, beroleh seulas senyum di bibir mereka memperhatikan orang-orang yang berlarian mencari keteduhan. Meski mau tak mau, mereka bertiga terjebak di bangku angkringan karena derasnya hujan. Demi membunuh suasana yang sudah kehabisan darah perbincangan sejak tadi, masing-masing mereka lantas menghidupkan kesendiriannya. Lagi pula, tidaklah nikmat berbincang dalam suasana hujan cukup lebat dan terkadang ditegur halilintar yang kilatannya membelah langit.

Layar TV tuner memandangi Yu Mi. Meski layar TV (yang sering disebut-sebutnya TV tuner itu sebenarnya hanyalah sekotak kecil TV persegi panjang berdaya baterai beberapa biji) bersemut, tak jera pula tetap dilihat oleh Yu Mi. “Tuner” yang dimaksud Yu Mi adalah kenop untuk mencari saluran siaran TV. Begitu pun, saat pelanggannya menyengaja nyangkruk ‘duduk-duduk’ di angkringannya dan berkata, “Ana siaran bola, Yu, puter tuner e. (Ada siaran bola, Yu, putar tuner-nya.)” Begitulah konsensus arti dari kosakata ‘tuner’ yang dilazimi oleh mereka.

Sementara itu, terangguk-angguk Jan di hadapan Yu Mi. Sepiker earphone yang terselip pada dua lubang telinganya memperdengarkan lantunan lagu bukan keroncong, melainkan dangdut koplo. Batas volume suara earphone diaturnya maksimal dari gawai. Alisnya terangkat berulang-ulang tatkala Yu Mi bertanya, “Awet ora iki udan e, yo? (Bakal lama enggak ya hujan ini?)” Jan terlupa ..., matanya melihat bibir Yu Mi bergerak-gerak, sedangkan telinganya masih dalam kondisi tuli temporal. Namun akhirnya, si Mbah menurunkan alis Jan yang terangkat berulang-ulang dengan membalas tanya Yu Mi dengan jawaban: “Ora lah (enggak lah).” Kembali Jan terangguk-angguk mengikuti hentakan irama koplo dengan gawai tergenggam di tangan kiri dan telunjuk kanannya mencolek-colek genit layar gawai. Gawai multitasking-nya sesekali gemas dijentiknya untuk men-zoom in-out dan melihat foto-foto yang sudah diunduhnya dari internet. Jan termasuk salah satu dari sekian banyak orang-orang desa yang sudah melek internet. Tidak seperti bayi-bayi yang butuh waktu setahunan untuk bisa melek lalu melihat, Jan hanya membutuhkan waktu 1 bulan—untuk melek, berikut kantongnya kerontang diisap kuota. Semua itu dilakukannya demi melek teknologi mutaakhirin dan melihat keindahan dunia dari jendela global hanya dengan colekan genitnya. Walaupun, jendela global yang pertama kali disibakkannya adalah media sosial: Facebook, itu pula yang membuatnya get connected dengan Geng, tetangga desanya yang lama bekerja mendulang rezeki di Jakarta.

Jan berteriak supaya suaranya terdengar oleh telinganya bertepatan dengan teguran menggelegar halilintar, meminta Yu Mi membuatkannya segelas kopi hitam. Namun Yu Mi tak menggubrisnya sebab terkaget-kaget mendengar gelegar suara itu. Ditutup dua lubang telinganya dengan dua ujung tangkai telunjuk tangannya. Dan akhirnya, Jan pun mengaku kalah kepada sang halilintar dengan meminta Yu Mi membuatkannya segelas kopi hitam dengan isyarat menunjuk ampas hitam di dasar gelas. Yu Mi tertawa-tawa kecil atas kekalahan Jan. Meski begitu, dia cepat bergerak cekatan membikinkan segelas kopi hitam panas untuk Jan.

Sudahlah dimafhumi, bahwa ucapan orang tua adalah doa. Doa si Mbah pun diijabat Tuhan dengan lebat hujan yang berganti intensitasnya setelah dua puluh lima menit berlalu. Suasana dingin hujan rintik-rintik menggigit kulit menjadikan Yu Mi membetulkan jaketnya hingga bentuk gemulai tubuh sintalnya tampak. Sekerlingan Yu Mi melihat mulut Jan bersiul-siul tanpa suara mengusir uap panas melambai-lambai dari gelas kopinya. Senyum bergingsul Yu Mi tampak sepersekian detik saja dilanjutkan jemari kanannya memutar-mutar tuner TV untuk mengusir semut-semut itu pergi dari layar TV-nya. Tak berapa lama kemudian merekah kali kedua senyum di wajah Yu Mi diiringi gumamannya, “Naaah, pas siaran e mulai.”

“Sinetron?”

Jawaban Yu Mi hanya anggukan semringah.

Hasrat Jan untuk bercerita tiba-tiba datang. Hentakan irama dangdut koplo pun terhenti bersama dengan pendengarannya yang “kembali normal”. Namun sebelum dia berkata, Yu Mi sudah lebih dulu “menyalip” hasratnya, bertanya, “Oiyo, Mas. Jenengan kerungu berita anake Mbok Nah, tah? (Oiya, Mas. Kamu mendengar berita tentang anaknya Mbok Nah, enggak?)”

Rupanya sinetron TV yang dipandangi Yu Mi masih sering kali bersemut menjadikannya ingin berbincang-bincang mengusir bosan.

Yo ngerti lah, Yu. Wong akeh sing ngomong. Tapi yo ancane wong arep meninggal kuwi akeh sebab e. (Ya tahu dong, Yu. ‘Kan orang-orang banyak yang ngomong. Tapi ya memang orang meninggal itu banyak penyebabnya.)”

Lha terus kepiye niku sebab meninggal e anak Mbok Nah, Mas? (Lha terus bagaimana itu penyebab meninggalnya anak Mbok Nah, Mas?)”

Yen kerungu ku, yo rodo aneh—membingungkan. (Kalau dari yang kudengar, ya agak aneh—membingungkan.)”

“Aneh?”

“Yo.”

Mbingungi? (Membingungkan?)”

Yo! Lah— (Ya! Ah—)“

Piye ceritane? (Bagaimana ceritanya?)”

Iki aku dewe ento cerita ne tekan Mas Geng. De’ ne ning Jakarta sih gawe ne. Lhaaa ..., jarene, (ini aku sendiri mendengar ceritanya dari Mas Geng. Dia ‘kan bekerja di Jakarta. Naaah ..., katanya,) ‘Saya ‘kan jadi saksi mata kejadian itu. Dia dilibas kendaraan yang ngebut, padahal motornya ada di sisi kiri, loh. Memang dasar ajal. Dia terpental, helmnya lepas, kepalanya membentur aspal, ambyar isi kepalanya’.”

“Iiih! Mas-Mas, mual aku.”

Lha kepiye kowe Yu ..., jare arep ngerti cerita ne .... Iki aku kerungu dewe tekan lambe ne Mas Geng, lho. Iki ‘aneh’ ne arep diceritani opo ora? (Bagaimana sih kamu, Yu ..., katanya mau tahu ceritanya .... Ini aku mendengar sendiri dari mulutnya Mas Geng, loh. Ini ‘aneh’-nya mau dilanjut atau nggak?)”

Piye, yo? Ancane aku yo penasaran, sih. (Bagaimana, ya? Sebenarnya aku penasaran, sih.)”

Yo wis. Lha terus, Mas Geng ngomong ngene, (ya sudah. Nah, Mas Geng ngomong begini,) ‘Jan, saya sebelumnya ya enggak tahu kalau yang ditabrak itu anaknya Mbok Nah. Tapi sesudah saya ke tepi jalan dan memarkirkan mobil, saya baru tahu. Di depan mata saya melihat isi kepalanya keluar. Dia megap-megap. Saya sendiri bingung enggak tahu harus berbuat apa. Juga dua orang yang sama-sama melihat kejadian, menghampiri si korban. Enggak lama, dia berhenti megap-megap. Akhirnya saya yakin kalau si korban itu anaknya Mbok Nah. Saya cepat-cepat minta tolong kepada dua orang itu untuk membawa masuk si korban ke dalam mobil dan saya membawanya ke rumah sakit.’.”

“’Aneh’ e ndi? Wong megap-megap yo kok aneh. (’Aneh’-nya mana? Orang megap-megap kok aneh.)”

Yo ‘kan kowe Yu ..., saiki ngene, ana opo ora wong sing arep niatan mate’? (Tuh ‘kan kamu itu, Yu ..., sekarang begini, ada enggak orang mau mati berniat dulu?)”

Yo ora yo. (Ya enggak ada.)”

Lha, bukti ne anak e Mbok Nah wis niatan arep mate’—piye? Diijabat maning. Aneh toh? (Loh, buktinya anaknya Mbok Nah niatan mau mati—bagaimana itu? Dikabulkan pula. ‘Kan aneh?)”

Bunuh diri (?). Wong ditabrak montor kok bunuh diri. Iku jenenge kecelakaan Mas e. (Bunuh diri (?). Orang ditabrak kendaraan kok bunuh diri. Itu namanya kecelakaan, Mas.)”

Lha rika duwe Facebook ora, Yu? (Nah, kamu punya Facebook, Yu?)”

Ora. Aku ngertine yo TV tuner. (Enggak punya. Aku tahunya ya TV tuner.)”

Lah! Sinetronan ae. Sek, tak buka alamate yo. (Yah! Nonton sinetron saja, sih. Sebentar ya, saya buka alamatnya.)”

Lho Mas, Facebook ono alamate tah? Sek-sek, opo hubungane ‘niat arep mate’’, karo alamat Facebook, Mas Jan? (Loh Mas, Facebook ada alamatnya juga, ya? Sebentar-sebentar, apa hubungannya ‘orang niat mau mati’ dengan alamat Facebook, Mas Jan?)”

Angel aku yoan njelasne. Wis meneng dilut cangkem e Yu. Iki iseh loding. (Sulit juga aku menjelaskannya. Sudah, jangan banyak bicara dulu kamu, Yu. Ini masih loding.)”

“Ooh ..., glinding,” canda Yu Mi.

Lambe-mu, Yu-Yu. Loding. El.o.ding. Jeding. (Mulutmu, Yu-Yu. Loding. El.o.ding. Jeding.)”

Pretlah rika, hahahaha. (Pretlah kamu, Mas, hahahaha.)”

Jan menyerahkan gawainya kepada Yu Mi. “Iki, diwoco. (Ini, dibaca.)”

“Entah saya harus menyesal dan mohon ampun kepada Tuhan, atau bagaimana. Garis jalan nasib mengantarkan saya sampai pada titik nadir ini. Saya bukan wanita nakal, tapi kenapa saya harus mengalami kejadian menyakitkan seperti ini. Hancur sudah hidup saya. Apalagi janin yang sedang saya kandung, sudah makin berumur dan tumbuh subur. Saya ingin aborsi! Tapi saya takut dosanya tak terampuni. Lantas saya harus bagaimana? Semua ini bukan salah saya. Janin ini sah dari pernikahan sah saya juga. Tapi .... Segalanya sudah terjadi, telanjur terjadi.”

Lah, Ndak ada tulisan ‘bunuh diri’ ne, Mas. (Yah, enggak ada tulisan ‘bunuh diri’-nya, Mas.)”

Pinter kowe Yu. Mbingungi toh? (Pintar kamu Yu. Membingungkan ‘kan?)”

Jenengan sing ngomong e mbulet. Ra dong aku ne. (Mas itu ceritanya jelimet. Bikin aku enggak mengerti.)”

Sek-sek, nyruput kopi sek. (Tunggu sebentar, saya minum kopinya dulu.)”

“....”

Jan mengambil gawainya dari tangan Yu Mi lantas menjentik, mencolek layar gawainya, lalu menyerahkannya lagi kepada Yu Mi. “Iki Yu. Iki foto ne sopo? (Ini Yu. Ini foto siapa?)”

Ndi? (Mana?)”

Iki. (Ini.)”

O iyo. Iki ‘kan gambar anak e Mbok Nah. (O, iya. Ini ‘kan gambar anaknya Mbok Nah.)”

Lha iyo. (Ya iya.)”

Dadi sing nulis iku mau de’e? (Jadi yang nulis tadi itu dia?)”

Iyo. Status e iku mau. (Iya. Tadi itu statusnya.)”

Mas, status e wis rabi ‘kan, kok woro-woro ne nang Facebook? Ra ngundang-ngundang wong deso kene barang. (Mas, status dia ‘kan sudah menikah, kok kasih pengumumannya di Facebook? Orang-orang desa sini enggak diundang pula.)”

Jan kembali mengambil gawainya dari tangan Yu Mi lantas menjentik, mencolek layar gawainya, lalu menyerahkannya lagi kepada Yu Mi. “Duh, jidatku bonyok, Yu, ape njelasne awakmu. Wis ojo takon soal Facebook e. Woco iki ae maning. Iki. (Duh, jidatku bonyok, Yu, bagaimana caranya bikin kamu mengerti. Sudah, jangan tanya soal Facebook-nya. Baca ini saja. Ini.)”

Lha ..., kepijit, Mas. Dadine bali nang tulisan sing akeh ‘status-status’ kuwi. (Yah ..., salah tekan, Mas. Jadinya kembali ke tulisan yang banyak ‘status-status’-nya itu.)”

Lha piye kowe, Yu. Yo wis, geret ae nggo jempolmu mengisor. Iku nang halaman propil e de’ ne, kok. Woco status sing paling atas. (Ya bagaimana sih kamu, Yu. Ya sudah, tarik saja ke bawah pakai jempolmu. Itu halaman profil dia, kok. Baca status yang paling atas.)”

Yo-yo, iki tak geret yo. Wis. Tak woco yo siki. (Ya-ya, ini sedang saya tarik. Sudah. Saya baca sekarang ya.)”

Yo woco en, ben rika paham, sepaham-paham e. (Ya dibaca, supaya kamu paham, sepaham-pahamnya.)”

“Mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada para polower dan teman-tem—“

Mandeg-mandeg sek. Lha status e kok seje? Mau dudu iku tulisan e. Yo wis, woco sek ae lah. (Setop-setop sebentar. Statusnya kok beda ya? Tadi bukan itu tulisannya. Ya sudah, baca dulu sajalah.)”

Yo iki tulisan sing paling atas, Mas. Tak woco maning ya (Ya ini tulisan yang paling atas, Mas. Saya bacakan lagi ya). ..., kepada para ppp—follower dan teman-teman Facebook. Saya udah meninggal, nih, ditabrak bus ngebut yang ugal-ugalan. Untungnya ada Mas Geng, tetangga desa yang punya hati seputih salju, mau nganterin saya ke rumah sakit juga nganterin jasad saya pulang ke desa. Alhamdulillaah, saya sudah selamat trus dikuburkan di desa. Terima kasih, Mas Geng.”

Oalah, Geng guuemmmblung!”

Yu Mi bingung, sedangkan Jan menoleh pada si Mbah usai mengumpat.

Mbah, kok meneng baen (Mbah, kok diam saja)?”

Ra pa-pa (enggak apa-apa), Jan.”

Si Mbah, sebagai orangtua, wajarlah dia memelihara kerinduan kepada Ji, buah hatinya. Waktu merindu ini semakin menyayat ketika dia memandangi sepeda kumbangnya yang basah. Terkenang-kenang dia akan wajah Ji ‘kecil’ di boncengan sepedanya tertawa riang lima belas tahun lalu. Gerimis juga kini, di kedua sudut bola matanya. Hanya sesaat saja.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)