Cerpen
Disukai
1
Dilihat
5,585
D 1 AM
Slice of Life

D 1 AM. Pelat nomor mobil itu kutilik-tilik hingga wajahku menjorok pada pantatnya. Saya sudah sering berjalan melintasi tanah lapang ini. Sudah sering pula saya melihat rongsokan mobil itu teronggok di pinggir tanah lapang ketika mengendarai mobil, motor, maupun berlari pada saat pagi hari, beberapa bulan belakangan ini. Namun baru kali ini saya melihat dan tahu bahwa pantat mobil rongsokan itu berpelat D 1 AM.

"Hei! Sampai sebegitunya melihat pantat," kata Wawan yang membikin kepala saya tarik kembali menjauh dari jendela mobil. "Ada yang aneh dari mobil itu?" tanya Wawan sambil memutar setir mobilnya, melaju mengikuti ruas jalan kompleks perumahan setelah berhenti sejenak di dekat pantat D 1 AM.

"Kamu enggak lihat satu hal yang menarik dari mobil itu, Wan?"

"Tidak," jawab Wawan. "Apa yang menarik dari mobil itu? Pantatnya?" Wawan membuka mulutnya lebar-lebar melepas tawa. Lalu dia menekan pedal gas agak dalam setelah keempat ban mobil yang kami kendarai selesai menindih polisi tidur.

"Bukan," tukas saya. "Pelatnya."

"Ada yang aneh dari pelatnya?"

"Ada," jawabku.

"Apa?"

"Ini Jakarta, Wan, sedangkan pelat mobil itu 'D'."

Wawan malah makin membuka mulutnya lebar-lebar. Deru mesin mobil pun perlahan-lahan mengecil dan tak lama kemudian mesin mobil berhenti tepat di sisi kiri jalan rumah Proni, kawan kami berdua.

****

Di ruang tamu rumah Proni, kami berdua puas menertawai Judoko yang merasa aneh ada mobil berpelat "D" tapi teronggok di Jakarta. Sayalah yang menceritakannya lagi kepada Proni, kawan satu kompleks perumahan saya dan Judoko.

Perkenalan kami bertiga diawali dari seringnya kami bertemu di tanah lapang itu untuk joging saat pagi di hari Minggu. Karena merasa sekompleks perumahan, kami pun lama-kelamaan menjadi akrab. Selain itu, lekat akrabnya kami juga direkati oleh bisnis. Uang. Judoko berprofesi sebagai makelar. Saya pedagang, sementara Proni memiliki beberapa usaha. Sudah sering kali kami berbisnis antara satu sama lain. Bagusnya, dari bisnis kami yang sudah-sudah, selalu berhasil menghasilkan uang yang tentunya makin memenuhi pundi-pundi rekening bank kami masing-masing. Itulah satu hal yang menjadikan kami menjadi lebih akrab, selain karena merasa sekompleks perumahan dan sehobi joging pagi.

"Mobil itu mau saya jual," kata Proni, "makanya kalian berdua aku undang ke rumah."

"Mobil rongsok itu?" tanya Judoko. Ada sebersit rasa takpercaya kudengar dari kata-katanya.

Kemudian saya pun mengatupkan mulut, berhenti tertawa dan mulai pasang mimik wajah serius.

"Aku minta tolong kalian ikut bantu jual mobil itu. Bagaimana?" Sepasang mata Proni menatap saya beberapa waktu, kemudian beralih pada wajah Judoko.

Sebelum saya hendak berbicara, Proni cepat berkata lagi, "'D 1 AM' itu nanti kubikin mengilap dulu—di bodinya, juga mesinnya diperbaiki."

Batal saya bertanya, sedangkan Proni berwajah puas karena saya tak melanjutkan bicara.

Judoko lalu bertanya lagi, "Mobil itu bagus enggak riwayatnya?"

Seperti mau menerima karyawan saja pertanyaan Judoko ini. Lagi pula jika Proni memang ingin menjual mobil D 1 AM, itu adalah haknya. 

"Riwayat apa, Ko? Lunas, bukan kreditan, dan surat-surat kendaraan semuanya lengkap," jawab Proni. "Memang baru sekitar enam bulan ini mobil D 1 AM aku parkir di tanah lapang itu."

"Maksudku, Pron, ada riwayat pernah tabrakan atau menabrak enggak, Pron."

Saya pun beralih memandangi wajah Proni, menunggu pertanyaan Judoko dijawab olehnya. Bagi saya, jawaban dari mulut Proni tentang riwayat mobil D 1 AM itu tak penting. Yang penting bagi saya adalah bagaimana mobil itu bisa terjual dan kami masing-masing mendapat keuntungan.

Namun, Proni benar-benar menceritakan riwayat mobil itu. Riwayat mobil dimulai dari niat Proni yang ingin membelikan mobil untuk orang tuanya. Walaupun ayahnya tak menginginkannya, dia bersikeras membelikannya mobil. Tujuannya adalah supaya orang tuanya bisa berkunjung sendiri ke Jakarta dari Bandung untuk bertemu menantu dan cucu tanpa minta dijemput lagi olehnya. Mau tak mau, ayahnya pun kembali membikin SIM. Proni sempat terkagum-kagum melihat mobil pemberiannya bernomor pelat D 1 AM yang dipilih oleh ayahnya ketika pertama kali ayah-ibunya berkendara mengunjungi keluarga Proni di Jakarta—mengunjungi kompleks perumahan ini.

"Begitulah riwayat mobil D 1 AM," ujar Proni hendak menutup tuntas cerita.

Namun tanggapan Judoko bukanlah anggukan sebagaimana kepalaku yang terangguk-angguk setelah Proni hendak menutup cerita. Dia bertanya lagi, "Mobil itu sudah pernah mengalami kecelakaan atau belum, Pron?"

Suasana ruang tamu Proni pun seketika hening.

Cerita Proni yang panjang berbusa-busa barusan seakan-akan menguap begitu saja. Rupanya Judoko hanya butuh jawaban "pernah/tak pernah" dari riwayat tentang mobil itu 'kecelakaan; menabrak atau ditabrak'.

Lantas, saya ambil alih suasana hening dengan ikut pula bertanya, "Kenapa sih kau ini, Ko?"

Masih hening; Proni belum menjawab pertanyaan Judoko, begitu pula saya pun belum mendapatkan jawaban dari Judoko.

Akhirnya saya berkata, "Masak kau tidak percaya sama Proni sih, Ko?"

Proni beralih pandang menatap saya. Sebentar kemudian, dia tersenyum tipis diiringi gelengan kepala seraya bertanya, "Bagaimana, mau bantu?" Setelah itu dia mengambil kudapan dari wadah kaca di atas meja ruang tamu rumahnya, mengunyah kudapan itu lalu memandangi Judoko.

"Oke," jawabku cepat. Ini peluang. Takboleh saya sia-siakan. "Oke ya, Ko?" Kutepuk-tepuk bahu Judoko tanpa merasa perlu menunggu jawaban darinya.

****

Sebenarnya ketika di ruang tamu rumahku waktu itu, aku tahu mengapa Judoko menanyakan riwayat mobil D 1 AM milikku. Sebagai makelar, pertanyaan Judoko kuanggap wajar. Namun bagiku, menceritakan riwayat mobil itu secara detail, bisa jadi membuat Wawan dan Judoko ragu lantas enggan untuk membantuku.

Delapan bulan pun berlalu setelah pertemuan kami bertiga di ruang tamu. Sekarang mobil itu sudah laku dibeli oleh orang Bandung. Meski sebelumnya butuh usaha keras dari kami bertiga menawarkan mobil itu melalui internet juga melalui jaringan relasi-relasi kami, tetap saja mobil itu ditawar di bawah harga pasarannya. Namun kemudian aku merasa ada segumpal sesal di hati, sebagaimana ketika aku mengetahui apa alasan Ayah sehingga memilih nomor pelat untuk mobil itu 'D 1 AM'.

Sebagaimana kecelakaan 18 bulan lalu yang pernah dialami oleh ayah-ibuku sepulangnya mereka mengunjungi keluargaku di kompleks perumahan itu, begitu pula kecelakaan serupa juga dialami Judoko dan Wawan di Tol Cipularang setelah mengunjungi rumah orang tuaku di Bandung. Aku mengundang mereka berdua sebagai ungkapan rasa terima kasih atas bantuan mereka yang berhasil menjual mobil berpelat nomor D 1 AM.

Namun di luar dugaanku, ternyata ayah menceritakan kepada mereka berdua bahwa mobil D 1 AM pernah mengalami kecelakaan di Tol Cipularang. "Tabrakan beruntun," jawab ayah ketika Wawan bertanya apa penyebab kecelakaan itu. "Waktu itu jelang magrib dan hujan rintik-rintik." Sementara, Judoko membisu seketika.

Memang, akibat musibah tabrakan beruntun itu, mobil D 1 AM yang dikendarai ayah dan ibu tidak terlalu rusak parah. "Namun entah bagaimana," ayah melanjutkan bercerita, "tiba-tiba ada mobil oleng melaju cepat dan keras menabrak bodi samping kiri mobil di depan mobil D 1 AM kemudian merangsek hingga kedua mobil itu ringsek akibat berbenturan setelah menghantam pembatas jalan tol."

"Aku baru ingat sekarang," lirih Judoko berkata dari kursi roda yang kudorong berjalan perlahan-lahan keluar dari TPU usai prosesi pemakaman Wawan.

"Ingat apa, Ko?"

"Sebelum terjadi kecelakaan itu, Wawan menyalip 'D 1 AM'."

Seketika segumpal rasa sesal menyesak memenuhi rongga dadaku.

Ayah ingin dikunjungi kalian, Pron, bukan mengunjungi. Ujaran ayah waktu itu mengiang-ngiang kembali dan berkelindan sesal di dadaku.

Ayah ingin diam—dikunjungi, bukan D 1 AM. (©)

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)